Ketika pembinaan hari Senin minggu lalu, diumumkan agar setiap kelas XII menampilkan suatu pertunjukan saat acara perpisahan sekolah. Setelah beberapa jam menghabiskan waktu untuk berunding, sekaligus telah disetujui oleh Ibu Dona sang wali kelas, akhirnya kelas XII IPA 2 memutuskan akan menampilkan semacam pertunjukan musik tradisional dengan menggunakan lagu masa kini. Sebenarnya Aldi yang memberikan ide tersebut. Dia terkadang memang memiliki ide-ide yang bagus.
Pertunjukan musik yang telah digagaskan mengharuskan kami untuk berlatih setidaknya dua kali dalam seminggu agar dapat memberikan penampilan yang menarik, yaitu ketika berlangsungnya jam pelajaran seni musik juga ketika adanya jam pelajaran yang kosong. Menjadikan ruang musik seperti ruang pribadi XII IPA 2, karena kenyataannya memang hanya kelas kami yang bolak-balik ke ruangan itu. Seperti halnya hari ini, kami kembali berlatih di jam pelajaran yang kosong dikarenakan guru Bahasa Perancis yang berhalangan hadir.
Kusudahi waktu latihan yang sudah berlangsung kurang lebih dua jam. Lama-lama telingaku mendadak tuli jika terus-menerus mendengar permainan kami yang belum seratus persen benar alias masih sumbang. Padahal ini sudah latihan yang ketujuh kalinya. Memang acara perpisahan sekolah masih terbilang cukup lama, tapi tetap saja harus ada yang namanya kemajuan. Vino dan Grace yang bertanggung jawab atas tim vokal, juga Sonya dan Zaki yang bertanggung jawab atas tim musik sampai pusing memikirkan bagaimana jadinya pertunjukan kami nanti.
“Dinda gue ke kelas duluan ya,” kataku.
Tanpa mengetahui di mana keberadaanku, Dinda merespons hanya dengan mengangkat ibu jari. Dia sedang sibuk mencoba memukul gong. Alat musik itu sangat cocok untuknya. Atau mungkin bas. Pokoknya apa saja yang besar, yang sebanding dengan tubuhnya.
Awalnya kupikir hanya aku sendiri yang akan ada di kelas, ternyata sudah ada beberapa yang kembali lebih dulu. Serentak sepuluh pasang mata langsung mengarah padaku saat aku membuka pintu.
Jelas sekali yang paling tegang adalah Vino. Dasar. Bukannya ikut mengurus latihan vokal, tapi malah seenaknya di sini dan menyerahkan semuanya pada Grace.
“Aduh Ana ngagetin aja,” ujarnya setelah itu kembali berkutat pada pekerjaan yang sudah menjadi rutinitas di setiap kali adanya pelajaran Matematika. Menyalin pekerjaan rumah. Vino memang seperti itu. Dunianya adalah musik, bukan Matematika atau ilmu pengetahuan lainnya.
“Eh awas, Ana!”
Sebuah bola mendadak menghantam kepalaku tepatnya pada bagian belakang. Memang rasanya tidak separah saat tertampar bola basket, tapi tetap saja kagetnya cukup membuatku kesal hingga kulempar balik bola itu mengarah tepat pada Aldi.
“Lo ngapain sih main bola di kelas?” protesku.
“Ampun. Ngga lagi,” ujarnya memberi cengiran kuda.
Dengan bersungut-sungut aku duduk pada kursiku. Letaknya tepat di belakang kursi Sonya dimana saat ini sudah berkumpul dua orang lelaki yang duduk sembarangan di atas mejanya. Tidak sopan.
“Lagu lain dong, please.”
Sonya meminta pada Yogi sambil setengah tertawa. Kelihatannya mereka habis menyanyikan sesuatu yang lucu. Atau justru habis menertawaiku akibat kejadian barusan? Masa bodoh. Entah kenapa hari ini aku begitu bad mood.
“Ya apa lagunya?” Randa bertanya dengan gitar sudah berada dalam pelukan.
Aku berusaha untuk tidak tertarik dengan yang sedang mereka bertiga lakukan, karena aku memiliki kegiatan sendiri, yaitu tidur. Mungkin dengan tidur sebentar suasana hatiku bisa lebih baik.
“Ampun deh, Ana jangan tidur! Lagi kenapa sih hari ini?” tanya Sonya menarik-narik lenganku. Membuat kesabaranku menipis sampai akhirnya aku mengamuk. Hanya saja amukanku masih terbilang wajar. Tidak separah Dinda.
Yogi mendekatkan wajahnya padaku. “Ngantuk banget kayaknya nih. Semalem emangnya ngga tidur?”
Spontan kujauhkan wajahku darinya. Tidak biasa dipandang begitu dekat.
“Gini deh. Lo mau request lagu apa? Randa bisa semuanya.” Sonya berbicara seolah-olah sedang memperkenalkan anggota kelompok musiknya yang baru padaku. “Atau lo yang nyanyi deh.”
“Gue ngga bisa nyanyi,” tampikku tak bersemangat.
“Lo sakit?” Randa tanpa diduga menunjukkan perhatiannya. ”Cepetan bawa ke UKS lah, Yog.”
Sial. Secepat itukah aku dilempar ke orang lain?
“Beneran sakit? Tenang. Kali ini obat di UKS lengkap. Lo mau obat apa aja pasti ada. Ayo gue anter.”
“Astaga gue ngga sakit, cuma ngantuk. Jadi kalau kalian mau berguna sedikit, gue minta lagu mellow aja, gimana?”
Sonya menyentikkan jari. “Ide bagus! Yogi, pilih lagunya.”
Berselang waktu beberapa detik, Yogi membisikkan sesuatu pada Sonya, lalu berganti target pada Randa. Sementara aku hanya menunggu lagu pengantar tidur apa yang akan mereka nyanyikan. Kulihat jari-jari Randa sudah siap dalam posisi, kemudian disusul Sonya yang siap bernyanyi.
Dan sialnya, setelah aku rela menunggu dengan mata yang sayu, ternyata lagu yang dinyanyikan oleh mereka bertiga adalah Bang Bang.
Orang-orang sinting ini memang ingin mempermainkanku. Tanpa melihat bagaimana reaksiku, Sonya terus saja bernyanyi. Tidak tahu malu mempraktikkan tarian milik Ariana Grande. Randa juga sama saja. Di balik wajah datar dan ketusnya, justru dia yang paling bersemangat memainkan gitar. Begitu pula dengan Yogi yang menambah kemeriahan dengan tepukan tangan.
“C’mon, Ana!”
“Bang bang! Into the room …,” seru Sonya dan Yogi bersamaan.
“I know you want it!” timpal Aldi tanpa diduga.
“Bang bang! All over you ....”
“I let you have it!” sahut Aldi lagi dengan suara melengkingnya yang sumbang.
Membuat Sonya mulai tidak fokus bernyanyi akibat setengah tertawa ketika tahu Aldi, yang sebenarnya sedang sibuk dengan peragaan teknik bolanya, tiba-tiba saja menyempatkan diri bernyanyi dengan model suara yang justru merusak lagu. Tidak jauh berbeda dengan suara Yogi. Keduanya benar-benar tidak punya malu. Bermodalkan rasa percaya diri yang tinggi, mereka tetap saja bernyanyi
Hingga akhirnya lagu benar-benar berhenti, digantikan oleh sisa-sisa tawa mereka semua. Sayangnya kelucuan itu tidak berlaku untukku. Aku tidak tahu apa yang mesti ditertawakan, sebab aku justru merasa kesal akibat tidak bisa tidur berkat kelakuan mereka.
“Ketawa dong, Ana. Ayo senyum,” ledek Sonya yang berusaha menarik kedua sudut bibirku agar membentuk senyuman, tapi dengan cepat aku mengelak.
“Lo kebanyakan main sama Dinda sih, jadinya marah-marah terus,” ujar Aldi.
“Bener tuh.”
Vino dengan cekatan langsung membenarkan ucapan Aldi. Aku berharap Dinda ada di sini dan mendengar perkataan dua lelaki ini. Aku berani jamin Dinda akan langsung melibas mereka berdua.
Sonya mengusap mata serta menepuk-nepuk pipi karena lelah tertawa.
“Oke, sorry. Kali ini beneran. Randa yang pilih lagu,” jelasnya dan aku sudah tidak peduli dengan yang mereka perbuat.
“Okay.”
Randa tampak serius berpikir sembari jari-jarinya mulai bergerak memetik senar. Tidak jelas awalnya, karena mungkin dia masih coba-coba. Anehnya, aku terus saja menyimak dan mendengarkan. Saat dia sudah cukup percaya diri dengan permainannya, aku baru sadar bahwa ternyata dia memang mampu bermain gitar.
“I'm only one, call away ....”
“Aduh, Randaa. Meleleh nih,” seru Aldi berniat meledek, tapi tidak berpengaruh apa pun pada Randa.
“I'll be there to save the day .... Superman got nothing on me. I'm only one call away … lanjut, Yog!” ujarnya mempersilakan Yogi untuk melanjutkan. Sementara Yogi yang tidak siap, langsung mengambil alih untuk bernyanyi.
“Come along with me and don't be scared. I just wanna set you free. C'mon, c'mon, c'mon. You and me can make it anywhere. For now, we can stay here for a while. Cause you know, I just wanna see you smile ....”
Dan aku benar tersenyum karenanya.