Yogi kembali beraksi. Menyanggah, berkomentar, berargumen memang sudah menjadi makanannya.
“Setau gue perempuan pendiam macam Wine, kalo sakit hati tuh bahaya loh. Hilangnya ngga semudah kalau Bella sakit hati.”
“Loh kok jadi gue?” Bella merespons tak terima.
“Yailah cuma contoh kali. Lanjut, Yog,” timpal Dinda. Masa bodoh dengan ocehan Bella. Akhirnya suasana kembali berjalan normal.
Yogi begitu siap melanjutkan. Dia menegapkan posisi duduknya. Mataku pun betul-betul tertambat padanya.
“Menurut gue ya … karena Wine ngga tau mau cerita sama siapa, jadinya kan bakal dia pendam terus dan itu malah ngga baik. Dan kalau model ceritanya kayak Wine tadi, gue setuju banget. Dia emang harus buka suara. Jelasin cerita yang sebenarnya. Jelasin kalau dia ngga salah. Jelasin kalau dia ngga terima dan sakit hati diperlakuin begitu sama orang-orang yang seenaknya menganggap dia demikian. Dengan begitu dia bisa tenang.”
“Aku sangat setuju dengan Yogi. Dia benar,” bisik Jeff seraya memandangku dimana aku tersenyum dengan perkataannya.
“Sekarang coba aja kalian pikir. Kalau kalian dituduh ngelakuin kejahatan, padahal kalian yakin ngga ngelakuin itu, kalian pasti bakal berusaha jelasin, 'kan? Dan dalam penjelasan kalian, mungkin juga akan ada pihak yang tersinggung karena dijatuhkan balik. Semacam konsekuensi. Itu menurut gue.”
Kami semua terhanyut dengan penjelasan Yogi. Jujur saja aku tidak berani memilih pendapat mana yang benar dan mana yang salah. Baik Gerry maupun Yogi, keduanya bisa diterima. Aku setuju dengan Gerry karena memang pada awalnya aku sendiri mengatakan acara ini konyol. Sementara aku juga setuju dengan Yogi karena aku tahu betul apa yang dirasakan Wine, sebab aku pernah berada di posisinya. Hanya saja nasibku lebih baik.
“Minta maaflah lo berdua,” tutur Dinda mengompori. Tanpa menyebut nama, kami sudah tahu siapa dua orang yang dimaksud.
“Tunggu. Bukannya tadi Wine bilang ada tiga orang ya? Satu lagi siapa?” tanya Grace.
"Emang iya? Kok gue ngga ngeh?"
"Ih, tadi waktu Wine bilang: setiap kali gue lihat wajah kalian bertiga di kelas. Itu artinya ada satu orang lagi di kelas kita."
“Cowoknya, mungkin. Siapa lagi?” celetuk Tasya.
“Jadi cowok yang dimaksud ada di sini? Wew,” timpal Adis antusias. Kembali bergelayut di lengan Eric.
“Mending pada diem dulu deh. Harusnya sekarang ini bukan kalian yang banyak ngomong.” Randa mencoba membungkam kami dengan caranya sendiri. “Silakan jelasinlah, Kev.”
Jonathan melongo. Bola matanya nyaris mencuat keluar.
“Siapa? Kevin? Oh my God, Kevin?” Tubuhnya sampai maju hanya untuk melihat Kevin yang duduk tak jauh darinya.
"Seriously?" Bella tampak tidak percaya.
Dinda mencengkeram lenganku. “Kok Randa bisa tau sih? Kan seharusnya kita yang jawab!” bisiknya dengan suara menyeramkan.
Aneh memang jika Randa bisa menjawab. Dia adalah orang yang paling cuek dengan hal semacam ini. Lebih tidak tahu apa pun dibanding aku maupun Dinda dan sekarang aku benar-benar kesal. Kesempatan mendapat hadiah kembali hilang. Sejak kapan lelaki cuek itu tahu? Sudah senang-senangnya aku dan Dinda mendapat klu dari Jeff dan langsung bisa menebak bahwa tokoh lelakinya adalah Kevin berkat nama Nadira, tapi akhirnya tetap saja gagal, karena sudah keduluan.
“Kalau cowoknya itu Kevin, jangan-jangan mantannya itu Nadira? Bahkan sekarang Kevin udah balikan sama Nadira lagi. Kasian banget Wine,” tutur Joy memasang raut wajah kasihan.
“Kok lo bisa tau, bro? Tumben," tanya Dino seolah-olah mewakiliku bertanya.
“Emangnya ada larangan untuk gue ngga boleh tau?” jawabnya ketus seperti biasa.
Padahal sedang bicara dengan teman mainnya sendiri. Namanya juga Randa. Tidak mengenal siapa yang menjadi lawan bicara, tetap saja gaya bicaranya tidak bisa dikontrol. Meski begitu, ada saja orang yang menyukainya.
“Itu karena Randa berada di kelas yang sama dengan Nadira.” Suara Jeff yang halus dan lembut tiba-tiba hadir membanting suara Randa. “Begitu pula aku. Mungkin dari sana Randa tahu, karena Nadira pernah membahasnya dengan beberapa orang di dalam kelas.”
“Berarti dari tadi lo juga tau dong, Jeff?”
Jeff tersenyum. “Aku hanya tahu Nadira ada di dalam cerita ini. Lelaki dan orang yang menulis ceritanya aku tidak tahu.”
“Cie Randa dibela Jeff," goda Eca tertawa tertahan.
Ucapan Eca sangatlah tidak penting, mengganggu, dan tidak tahu situasi. Akibatnya, tanpa berpikir panjang kepalan tangan Randa langsung mendarat keras di kepala temannya itu.
Danu tampak pusing berdiri untuk memimpin acara yang kenyataannya baru berjalan dua cerita dari total lima cerita. Beberapa kali jarinya terlihat mengusap-usap dahi.
“Oke kalau gitu, Kevin mau ngomong sesuatu?” tanya Danu pada akhirnya. Pasti tidak terpikir olehnya jika acara ini akan mengarah pada arah yang salah. Melenceng jauh dari perkiraan.
Saat ini kami haus dengan penjelasan Kevin. Namun, lelaki berkulit putih itu hanya mengunci mulut sambil menatap sayu api unggun. Sekilas kulihat Vino membisikkan sesuatu padanya, lalu diakhiri dengan tepukan pada punggung. Semacam penyemangat, mungkin.
Setelah sekian menit menunggu, akhirnya Kevin membuka mulut.
“Jujur aja gue ngga tau apa gue seratus persen salah atau ngga.”
“Serius lo bilang begitu? Ngga punya perasaan itu namanya!” pekik Dinda dan aku tersentak.
“Dinda, tolong diem dulu ya,” lerai Danu. Sebisa mungkin menjaga suasana agar tidak sepanas sebelumnya.
Kevin pun berusaha melanjutkan. Wajahnya tertekan.
“Gue beneran ngga tau apa yang dialami sama Wine. Yang gue tau dia baik-baik aja. Kalaupun ternyata di baliknya dia betul-betul … menderita, seharusnya itu ngga perlu dilakuin, Sonya, Tere.”
“Tapi dia sama sekali ngga kita labrak,” balas Tere membela diri.
Tidak tahu kenapa aku terpancing.
“Dan Wine juga ngga nulis kalau dia dilabrak. Dia cuma bilang kalau dia tinggal tunggu waktu buat dilabrak. Dan kenapa dia bisa berpikir begitu? Karena sikap kalian yang makin menjadi-jadi ke dia,” kataku.
Detik ini pula aku sangat menghindari tanggapan apa pun dari Sonya. Namun nyatanya, dia justru diam saja.
“Pokoknya apa pun. Hal di luar itu, yang pernah kalian lakuin ke Wine seharusnya ngga perlu," lanjut Kevin. Tidak ada yang bisa dilakukan, Tere hanya bisa menunduk sambil memuntir-muntir jari.
“Sorry, Kev. Gue cuma ngga tega aja dengar cerita Nadira. Dia sahabat gue dan kalian kan pasangan yang awet banget dari kelas X. Terus tiba-tiba aja putus cuma gara-gara cewek lain.”
“Ya itu masalah gue," balas Kevin mulai meninggi. "Lo ngga berhak ikut campur. Dan masalah itu memang awalnya karena gue. Gue yang coba deketin Wine di saat gue break sama Nadira," aku Kevin.
Kali ini kami hanya berperan sebagai pendengar. Jadi ternyata benar yang diceritakan oleh Wine. Dia yang didekati, tapi dia yang justru disalahkan. Sekarang ini barulah aku merasa bahwa apa yang terjadi pada Wine tidak bisa disamakan dengan apa yang terjadi padaku dan Jeff.
“Oke, gue akuin kalau gue salah," sambung Kevin. "Gue minta maaf. Gue bener-bener ngga tau kalau Wine masih ingat masalah itu.”
“A woman's heart is a deep ocean of secrets. Quote by Titanic, by the way. Jadi menurutku tidak salah kalau kamu tidak tahu, Kevin. Tapi hal seperti itu diharapkan jangan sampai kembali terulang, karena kamu tidak pernah tahu kapan lautan akan mengamuk.”
Suasana menjadi hening. Semua pasang mata yang tadinya terpaku pada Kevin, langsung berganti arah menuju seorang lelaki yang duduk di sebelah kiriku. Tadi itu merupakan bentuk kalimat di akhir cerita yang sangat baik dan itu dilakukan oleh seorang Jeff. Spontan, tapi cukup membuat kami tertegun. Begitu terdengar damai juga menenangkan.
Aku berharap setelah ini Kevin, Tere, serta Sonya datang pada Wine untuk meminta maaf. Akan lebih baik jika Nadira ada di sini dan ikut serta, tapi hal itu jelas mustahil. Aku juga berharap semoga perasaan Wine bisa kembali tenang. Tidak perlu ada dendam yang harus dia simpan lagi, karena semuanya telah berakhir malam ini.