Paginya setelah mengumpulkan kesadaran setelah bangun, Gilbert langsung menghubungi Patricia. Beberapa orang memang tidak suka ditelpon langsung apalagi saat pagi hari, tetapi ia tidak peduli. Lagipula sekarang sudah jam delapan, gadis itu pasti sudah bangun dan beraktifitas.
Panik mulai merayapi dirinya ketika sudah tiga kali berdering namun panggilannya tidak diterima. Gilbert mulai khawatir apakah terjadi sesuatu pada gadis itu.
Gilbert bergegas bangun dari tempat tidurnya dan memutuskan untuk saraapan. Ia membuka kulkas dan menemukan sisa camilan dan susu lalu mengonsumsinya dengan cepat sembari gawai masih berada dalam genggamannya. Ia mengambil baju asal dari lemari bajunya lalu bergegas mandi.
Rencananya ia akan pergi ke kampus. Ia dan Patricia sudah menempuh semester akhir. Pasti ia sedang sibuk di kampus, entah mencari referensi atau bimbingan dengan dosen. Sebelumnya juga Gilbert sudah seringkali bertemu dengan Patricia di kampus. Jika Patricia sedang tidak ada di kampus, ia bisa bertanya langsung pada temannya.
“Halo…”
Gilbert terbatuk karena terkejut. Panggilannya yang kesebelas akhirnya dijawab juga oleh gadis itu. Sedikit merasa aneh karena sapaannya begitu datar. Ah, mungkin karena baru bangun tidur, pikirnya.
“Ah, ya halo Pat.” Gilbert merutuki kebodohannya malah terdiam sebentar.
“Oh, ah y-ya Gilbert. Kenapa?”
“Um, kamu baik-baik saja?”
Ada jeda panjang saat Gilbert menanyakan hal itu. Gilbert mengernyitkan dahinya, ia lalu memanggil Patricia lagi.
“Oh, ya, bak. Aku baik kok, Gil. Kenapa?”
Kenapa. Gilbert layaknya melupakan apa yang selanjutnya akan ia katakan. Ah, ya benar, ia harus memastikan keadaan gadis itu dengan penglihatannya sendiri.
“Kira-kira kamu sibuk, kah hari ini? A-Aku ingin bertemu, k-karena ada urusan! Ya… ada yang ingin kubicarakan denganmu… Maaf menanyakannya mendadak.”
“Maaf, Gilbert. Hari ini ada yang harus aku lakukan.”
“Beneran seharian? Kalau sore malam? Kalau besok bagaimana?”
“Maaf tidak bisa… Akan kuberitahu kalau aku senggang ya.”
Gilbert kecewa. Ia pikir ia akan melihat Patricia secepatnya. Ia kembali mengingat perbuatannya pada gadis itu. Seketika ia merasa bersalah lagi. Mungkin gadis itu memang sedang tidak ingin bertemu dengannya. Itu tidak apa. Namun, mengapa Gilbert merasa sesak.
Gilbert tidak bisa tenang jadi ia terus bersiap untuk pergi ke kampus. Setidaknya ia akan bertemu dengan teman-teman Patricia. Benar saja, keputusannya ke kampus membuatnya dapat bertemu dengan Yariana.
“Hei, kamu anak Lingkungan 18, kan?”
“Iya.”
“Apa kamu tahu dimana Patricia?”
“Maaf aku tidak tahu, dia tidak pernah terlihat dalam beberapa hari ini. Aku pernah mengirimkan chat padanya namun belum dibalas.”
Gilbert bertanya lagi pada Patricia apakah ia bisa bertemu dengannya, tetapi tidak kunjung dibalas. Selene pun tampaknya tidak ingin membantunya. Gadis itu hanya mengabaikan pesannya ketika ia bertanya mengenai Patricia. Anders seperti mengetahui sesuatu, tetapi sepertinya ada yang menahannya untuk memberitahunya.
Gilbert memutuskan untuk menunggu saja di kampus. Setelah melakukan bimbingan ia duduk dan sesekali berjalan mengelilingi kampus. Barangkali dalam waktu dekat ini Patricia datang ke kampus jadi ia dapat bertemu dengan gadis itu.
“Patricia! Patricia!”
Gilbert berseru saat ia melihat Patricia di lingkungan kampus. Gilbert memanggilnya, tetapi gadis itu tidak menghiraukannya. Ia tetap tidak mengubris panggilan Gilbert. Entah karena ia memang tidak dengar atau menghindari Gilbert. Gilbert merasa Patricia memang menhindarinya. Ia jadi merasa ragu untuk menemui Patricia langsung.
“Patrici—”
“Ah, Linda, apa kamu melihat Pak Edhi?”
“Mau bimbingan, ya?”
“Iya, aku sudah chat sih.”
Urung sudah niat Gilbert untuk berbicara pada Patricia. Melihat gadis itu sepertinya akan melakukan bimbingan skripsi. Biarlah Patricia melakukan bimbingan skripsi terlebih dahulu.
Ia berpikir bahwa ia akan membiarkan Patricia melakukan bimbingan skripsi. Namun ia juga mengikuti Patricia diam-diam. Sepertinya Patricia akan melakukan bimbingan di laboratorium jadi ia akan menunggu di tangga bawah.
Sekitar tiga puluh menit Gilbert menunggu, dan Patricia sudah selesai. Segera Gilbert menghadangnya dengan tampak kekanakan. Ia merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi Patricia kabur.
“Sebenarnya apa maumu?”
Eh? Gilbert berdiri mematung. Raut wajahnya yang sumringah dan kekanakan menjadi kaku. Apa yang akan ia katakan seketika tertahan di tenggorokan. Patricia enggan menghadap ke arahnya sehingga tidak tahu raut wajah gadis itu. Apakah ia merasa kesal, terganggu atau bahkan marah.
“Maksudnya?” Gilbert mencoba bertanya pelan.
“Apa maksudmu mendatangiku? Bukankah kau tidak pernah mau berkontak denganku? Bahkan kau sangat benci denganku, kan? Kau lupa ya, kau bilang tidak mau bertemu denganku?”
Gilbert hanya terdiam menatap Patricia. Ia memang berlaku seperti itu padanya. Tanpa bertanya pada Eros pun Patricia sudah tahu bahwa Gilbert tidak pernah menyukainya. Padahal ia selalu berusaha, tetapi tidak ada hasilnya. Pada pertemuan terakhirnya dengan Gilbert, pemuda itu juga malah mengatakan tidak ingin bertemu dengannya lagi.
“Kau lupa ya sepertinya? Kalau begitu akan kuingatkan lagi. Kau benci denganku dan tidak ingin bertemu denganku. Jadi aku akan melakukannya dari sekarang. Lagipula sepertinya sebentar lagi aku akan masuk ke wilayah Hades.”
Gilbert merasakan dingin merayapi bulu kuduk Gilbert. Entah apa maksudnya tapi Hades adalah dewa yang menguasai dunia bawah. Gilbert mulai memikirkan spekulasi-spekulasi terburuk.
Saat Cupid berkata ia mengambil setengah dari kehidupan Patricia. Ia tidak menyangka akan secepat ini. Ia berpikir akan dapat melihat Patricia lebih lama lagi karena ia memiliki jatah hidup yang lama.
Namun ketika pulang dari kampus, Gilbert menyaksikannya sendiri. Maut dapat hadir dimana saja, bahkan di situasi yang biasanya terlihat damai. Terdapat tanjakan tinggi di dekat jalan raya kampus mereka dan maut mengambil dua nyawa melalui jalan tersebut.
Gilbert berada di parkiran tak jauh dan ia juga menyaksikan sendiri. Bunyi decitan dan hantaman yang terdengar begitu keras dalam pendengarannya. Gaya yang sangat kencang membuat apa yang terdampak menjadi hancur dan terburai. Cipratan warna merah membuat sekeliling seolah adalah kanvas yang membuat orang mual.
Gilbert menyerukan nama Patricia karena ia melihat dengan jelas sosok gadis itu sebelumnya. Ia berlari dan berusaha memanggil Patricia. Beberapa mahasiswa dan petugas bergegas berusaha menolong korban.
Beberapa saat kemudian, yang terluka dibawa untuk diberi pertolongan. Gilbert ingin turut serta masuk untuk melihat Patricia, tetapi ia ditahan kawannya melihat Gilbert dalam kondisi tidak stabil. Bunyi sirine yang memekakkan telinga tengiang-ngiang dan menjadi penghantar hari itu.
Harga dari sebuah kehidupan adalah kehidupan itu sendiri. Lagi-lagi Eros mempermainkan hidup mereka seperti sebuah mainan. Perasaan benci mulai tumbuh dalam hati Gilbert. Ia sangat marah sampai ia harus mengepalkan tangannya dan buku-buku jarinya memutih. Ia benar-benar tidak ingin mengingat dewa itu, apalagi bertemu dengannya. Ia berharap ia tidak akan bertemu lagi dengan dewa itu seumur hidupnya.
Memang hari-hari selanjutnya ia tak lagi bertemu dengan dewa romansa itu. Ia hanya merasakan simpati dari Erotes lainnya. Ia juga dapat mendengar Anteros yang mengasihaninya.
“Sungguh malang, Gilbert. Yang berkuasa di atas langit mempermainkannya sampai seperti ini. Biarkan aku membantumu dengan bantuan Dyonisos yang membenci Eros kali ini.”