Waktu berlalu dan aku sudah jadi mahasiswa tingkat tiga. Pengajuan beasiswaku di tahun kedua diterima dan itu sangat membanggakan orang tuaku, dan dengan demikian bantuan dana kuliah dari saudara Papa pun disudahi, meskipun itu artinya ada tambahan kegiatan selain kuliah dan organisasi di kampus maupun di asrama. Di akhir tahun kemarin, untuk pertama kalinya aku naik pesawat terbang, melayang di atas lautan, menuju pulau sebelah untuk acara gathering nasional dari pemberi beasiswa bergengsi itu.
Dengan banyaknya kegiatan tambahan, intensitasku bepergian pulang ke kampung halaman jadi berkurang. Orang tuaku tak masalah dengan itu dan selalu mentransfer uang untuk biaya asrama dan lain-lain tepat waktu. Aku hanya memikirkan seperti apa suasana rumah ketika tidak ada ketiga anak Papa-Mama di sana. Satu hal lagi yang membuat perbedaan di rumah: Papa terpilih menjadi ketua RT setelah beberapa kali menjadi calon dan belum pernah menang suara. Bukan prestasi, kalau menurut Papa, tapi lebih merupakan sebuah tugas dan kewajiban.
Aku juga berhasil diterima di Paduan Suara Mahasiswa setelah percobaan yang ketiga (setiap awal tahun aku mencoba audisi ulang!), dan seorang pemuda yang manis kelihatannya tertarik padaku. Dia juga berkacamata dan kelihatan pintar serta kalem. Mulanya dia meminta nomor ponselku dan kami mulai berbalas chat. Kemudian kami makan bersama beberapa kali. Kadang di rumah makan berkelas, kadang di angkringan, sesuai selera saja. Aku sendiri tak pilih-pilih soal makanan, karena bagiku, yang penting bisa makan; diajak makan di luar asrama saja sudah merupakan anugerah ekstra, meski kadang aku juga membayar, tak mau melulu ditraktir dan tak mau dicap memanfaatkan orang. Setelah beberapa kali hari Minggu kami macet di tahap makan bersama, dia mengajakku ke sebuah gereja dengan gedung artistik di mana diselenggarakan misa dalam bahasa tradisional. Seusai misa, dia berkata,
“Kamu tahu, Ra. Sejak kecil aku sering misa di sini. Arsitekturnya bagus, bentuknya kayak joglo sekaligus salib. Ukiran dan kaca patrinya juga indah, ‘kan? Dan kalau beruntung, mereka bahkan mengiringi misa dengan gamelan. Nah, aku punya impian, untuk suatu saat bisa membawa orang yang kucintai ke gereja ini.”
Aku tersenyum kecil, merasa berdebar sekaligus takut harapanku melambung terlalu tinggi. Tapi dia melanjutkan, masih menatap mata sipitku, yang sama-sama berada di balik lensa persegi,
“Aku bersyukur, impian itu terkabul hari ini.”
Begitulah ceritanya aku jadian dengan Markus.
Markus adalah penduduk asli Kota Pelajar dan dia juga anggota baru di PSM—sama-sama mahasiswa tingkat tiga dan kami lahir di tahun yang sama. Dia adalah putra tunggal dari keluarga yang mengelola sebuah rumah sakit swasta dari generasi ke generasi. Bukan kebetulan dia menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran—kampusnya berada persis di sebelah jurusanku dan kami bisa saling ketemuan ketika jam istirahat siang. Ketika Dian pergi ke musala untuk salat Zuhur, aku ke kampus FK untuk ngobrol dengan Markus. Setelahnya, baru aku makan siang bersama Dian.
Aku dan Markus berbagi cerita hidup masing-masing, mulai dari yang kocak, yang memalukan, sampai yang membanggakan. Pernah dia cerita bahwa waktu kecil, tiap kali tiba perayaan Tahun Baru Imlek, Markus dan sepupu-sepupunya bermain-main dengan hio—semacam dupa. Ketika tak ada keluarga besar yang melihat, mereka menjentikkan jari ke batang-batang yang sedang terbakar itu, dengan harapan, kalau hio itu cepat mati maka mereka akan segera makan. Aku tertawa sampai perutku sakit, mengingat di keluargaku sendiri tradisi perayaan Imlek tidak sedemikian kental. Aku sendiri bercerita pada Markus hampir semua ceritaku selama dua dekade ini, kecuali satu, yaitu tentang Triad Fidelia.
Aku percaya bahwa mereka bertiga tak pernah lagi dengan sengaja menggangguku karena prinsip orang liberal, bisnisku urusanku, bisnismu urusanmu. Mereka menjalankan tugas mereka dan aku mengabaikan keberadaan mereka sembari dengan terpaksa tetap menjaga janji yang tak pernah kubuat. Bisa dibilang, aku hidup bagaikan seorang santa sejak waktu itu, karena aku selalu berusaha menjaga agar pikiranku bersih dari kamuflase—tapi mereka toh tetap muncul secara berkala. Dengan hati sedih dan kesal aku menyadari, bahwa aku hidup di tengah-tengah pencuri. Bahkan termasuk hal yang paling tidak masuk akal untuk dicuri. Salah satu temanku di kelas menunduk menatap ponselnya sepanjang jam kuliah dan si Bocah Hakim bilang dia ‘mencuri waktu’. Sungguh konyol. Bahkan temanku sendiri tidak sadar dirinya sedang diadili karena tuduhan mencuri waktu. Kalau aku yang diadili karena tidak memerhatikan dosenku saat kuliah, aku bakal menyewa pengacara sejak dahulu dan mengajukan pembelaan keras.
Tapi, Triad Fidelia jadi semakin menyebalkan bahkan sebelum aku mencapai usia dua puluh satu.
Karena mereka menghakimi Dian dengan pengadilan yang menurutku tidak adil.
*
Waktu itu adalah ujian tengah semester di semester keenam, yang menjadi enam bulan terakhir kelas-kelas kuliah diselenggarakan. Semester tujuh adalah untuk kerja praktik, sementara semester delapan hanya diperuntukkan mengerjakan tugas akhir demi mencapai gelar sarjana. Jadi, semester enam adalah kesempatan terakhir kami untuk menjaga nilai matakuliah yang berujung pada Indeks Prestasi Kumulatif agar tetap berada di rentang cum laude. Atau, mengejar nilai yang lebih baik supaya bisa masuk rentang tertinggi itu. Aku cukup bersyukur aku termasuk kelompok pertama, dan itu bukan semata-mata karena kepandaianku. Ada nama Tuhan yang kuimani setiap kali aku mendapati kesuksesan; tapi aku tidak menyangkal bahwa harga diriku membumbung tinggi tiap mendengar pujian, karena aku sendiri juga sudah berjuang keras. Di asrama aku dikenal sebagai Mata Panda saking seringnya aku belajar sampai larut malam, dan hasilnya bangun dengan bayangan hitam di kelopak mata bagian bawah. Butuh usaha keras dan banyak bedak muka untuk menyamarkannya, tapi karena kulitku terang, mata panda itu tetap saja kelihatan. Sudahlah, aku sendiri tak terlalu peduli pada penampilan dan lebih sering hanya membubuhkan lip balm tanpa warna kalau pergi ke kampus (tapi kalau pergi dengan Markus, itu beda kasus).
Kembali ke topik ujian. Aku tahu bahwa di tiap hari ujian, Triad Fidelia selalu muncul. Tapi hari itu, hari terakhir ujian tengah semester keenam, ada yang berbeda. Bukan karena aku bangun kesiangan dan nyaris terlambat masuk ruang ujian—mungkin aku terlalu memaksakan diri belajar seminggu terakhir hingga kelelahan, mungkin karena terbiasa mendengar bunyi terompet yang berisik membuatku abai dengan suara alarm ponsel sendiri (kadang aku malah merasa kalau Fidelia tidak membunyikan terompet pagi-pagi, sepertinya ada sesuatu yang kurang lengkap untuk mengawali hari). Hal yang berbeda itu memang ada hubungannya dengan bunyi terompet. Biasanya terompet si Pengingat hanya dibunyikan dengan suara pelan, ketika beberapa mahasiswa saling berbisik untuk mendapatkan jawaban. Tapi, ‘kan, tidak ada jaminan bahwa jawaban temanmu adalah yang benar, atau jawabanmu sendiri benar? Seperti yang dikelakarkan para mahasiswa setengah putus asa setengah guyon: hanya Tuhan dan dosen yang tahu jawabannya.
Jadi, hari itu, ketika terompet si Pengingat mulai berbunyi keras sekali dan tanpa putus, kukira ada yang membawa sontekan ke ruang ujian. Memang ujian yang terakhir adalah yang tersulit; aku sendiri masih mengerutkan dahi, berkejaran dengan waktu yang menipis dan lembar jawaban yang masih setengah kosong (atau sudah setengah terisi, tergantung dari sudut pandang mana yang kaupilih, optimisme atau pesimisme. Tapi itu, ‘kan, tidak relevan, karena ini ujian Imunologi Klinik, bukan Filsafat).
Sembari mencoba mencari inspirasi, kuedarkan pandangan ke arah teman-teman sekelasku dan beberapa kakak tingkat yang mengulang ujian (lumayan banyak! Berarti benar bahwa dari tahun ke tahun, matakuliah satu ini memang merupakan momok semester enam.) Mereka semua kelihatan serius dan berpikir keras. Aku mencari-cari sosok gempal si Pengingat dan terompetnya.
Itu dia, pria dengan kilt dan terompet, berdiri di belakang kursi Dian beberapa meter dariku ke arah barat laut. Mataku terbelalak ketika kulihat Dian tampak menyembunyikan sesuatu di bawah mejanya—selembar kertas yang dilipat-lipat sampai kecil, dan aku tahu detik itu juga bahwa Dian berusaha mengintip apa yang dia tulis di situ sebelum masuk ruang ujian.
“Dian!” bisikku.
Yang kupanggil mengangkat kepala dan menoleh sekilas ke arahku, ekspresinya terbagi antara kaget dan takut. Mumpung dia melihatku, kuteruskan aksiku,
‘Jangan!’ Aku menyilangkan kedua tanganku di depan wajah dan menggelengkan kepala, sambil mengawasi petugas pengawas yang sedang melongok ke luar pintu.
Dian membeku, kepalanya terteleng ke arahku. Terompet si Fidelia berhenti berbunyi dan aku cepat-cepat menunduk ketika si pengawas ujian terbatuk-batuk.
“Aku nggak ngapa-ngapain!” sangkal Dian, dengan bisikan juga.
Terompet berbunyi lagi, lebih keras. Aku melihat ke arah Dian lagi.
“Dian! Hentikan itu sebelum Fid ....” Mendadak aku berhenti.
“Sebelum apa?” desaknya. Pengawas ujian sedang pergi ke mejanya untuk mengambil air minum.
Pertanyaan itu mudah, tapi aku tak bisa menjawab. Tubuhku terasa dingin, tapi bukan karena pendingin ruangan. Aku diserang ketakutan yang amat sangat. Seolah ada sesuatu yang mengikat lidahku, atau mencengkeram jantungku, pendek kata ada perasaan mengerikan yang menahanku bicara, sampai pada tahap aku meyakini aku akan mati dibunuh kalau aku meneruskan bicara.
Aku teringat pada janjiku dan menarik napas dalam-dalam. Perasaan barusan pun lenyap, secepat dan sejanggal munculnya tadi.
“Jangan curang,” ujarku pada Dian, suaraku sangat lirih tapi jelas.
Dian melotot ke arahku. “Diam, Ra!” Suaranya meninggi.
“Ada apa, Mbak Dian?” Petugas pengawas rupanya mendengar.
“Oh, oh,” gumam Dian.
Malang nasib Dian, dia panik dan malah menjatuhkan kertas sontekannya. Sesosok anak kecil botak tanpa mata muncul di depan kelas, mulai menyanyikan lagu Are You Sleeping, Brother John? sementara darahku tersirap.
Si pengawas ujian mendekati Dian dan memandanginya dengan tatapan penuh ancaman. Dian tampak seperti orang yang bertatap mata dengan Medusa; tubuhnya kaku, mulutnya sedikit terbuka, matanya melotot nyaris tanpa kedip. Si pengawas mengambil lembar jawaban Dian, bicara dengan suara rendah, dan aku mendapati diriku menunduk, menolak melihat kejadian menyakitkan itu dengan sangat pengecut.
Hal berikutnya yang aku tahu, Dian dipanggil ke kantor dekan. Ujianku sendiri tidak berhasil kuselesaikan, tapi aku mengkhawatirkan kawanku. Begitu jam ujian berakhir, aku berlari ke kantor dekan di lantai dua dan menemukan temanku itu sedang menangis di kursi teras. Aku sudah takut dia bakalan menyalahkanku karena terlalu berisik dan membuatnya ketahuan, tapi dia terus menangis dengan pedih, bahkan kain kerudungnya ikut basah karenanya. Kupeluk dia dalam diam, bertanya-tanya kenapa aku tak pernah melihat Dian berjalan menyerong ke arah ini sampai segalanya sudah terlalu terlambat. Dian itu kalau salat selalu tepat waktu dan tak pernah kudengar umpatan kasar keluar dari mulutnya. Apa aku terlalu sibuk pacaran dan berkegiatan kampus hingga tak menyadari ada yang berubah darinya?
Setelah agak tenang barulah ia bercerita. Orang tuanya bercerai sebulan yang lalu dan Dian harus bekerja setelah kuliah, membantu ibunya berjualan, agar keempat adiknya yang masih kecil-kecil bisa tetap sekolah. Dia jadi tak punya waktu sebanyak dahulu untuk belajar, waktu untuk dirinya sendiri telah direlakannya demi adik-adiknya dan ibunya, dan menyontek adalah jalan satu-satunya agar IPK-nya tetap di atas tiga setengah. Karena kalau tidak begitu, beasiswanya yang dibiayai pemerintah bisa dicabut.
Ibu Dian dipanggil oleh dekan dan kawanku ini terancam dikeluarkan oleh kampus. Menyontek memang pelanggaran yang amat berat di kampusku—padahal kenyataannya banyak yang berbuat, tapi tidak ketahuan—atau apakah sekadar berbisik-bisik minta jawaban tidak dianggap sebagai menyontek karena tidak ada bukti untuk menangkap basah?
Tapi si Pengingat Fidelia selalu meniup terompetnya saat ujian berlangsung ....
Dan aku tak bisa berbuat apa-apa selain memeluk Dian.
*
Saat aku pulang dari ujian yang berakhir dengan petaka itu, si wanita Pemberi sudah menungguku di tempat parkir asrama.
“Kau sudah melakukan usahamu yang terbaik untuk mencegah temanmu, Ashira.”
“Diam kau,” bentakku, mengunci sepedaku dengan kasar karena amarah yang membara. “Itu nggak adil.”
“Itu sudah layak dan sepantasnya,” sahutnya sambil tersenyum dingin.
“Aku benci kalian!” seruku, tapi berusaha agar tidak keras-keras, karena tak yakin apakah di sekitar situ ada orang atau tidak. “Biarkan aku sendiri, tolong. Hidupku nggak tenang gara-gara kalian.”
“Kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan,” ujar si wanita, senyumnya memudar. “Hanya saja, jagalah kesetiaanmu. Ada bencana besar yang akan segera datang.”
Aku sudah hampir ingin menganggap angin saja perkataan wanita itu saking muaknya aku terhadap tetek-bengek perihal kejujuran dan kesetiaan pada janji ini, tapi kalimat terakhirnya membuatku tercenung.
“Apa maksudmu dengan bencana besar?”
“Akan ada pencurian besar-besaran sekali lagi—seperti yang dilakukan Hitler waktu dulu. Tapi aku sendiri tak tahu detailnya, karena belum giliranku untuk berperan.”
Mendengar nama pria kejam yang legendaris itu lagi, tubuhku bergidik. Siapa di dunia zaman sekarang, di mana Perserikatan Bangsa-bangsa berhasil mempersatukan banyak negara dan pakta perdamaian telah dibuat melintasi benua, bisa berbuat kejahatan kemanusiaan seperti Hitler? Ini sudah bukan zaman perang, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia diakui di mana-mana.
“Kau bilang ‘belum giliranmu’. Apakah maksudmu, berarti pencurian besar-besaran yang satu ini masih bisa dicegah?”
Wanita itu menggeleng. “Aku tak yakin. Tapi kauamati saja kuku jari si Hakim. Mereka semuanya rapuh dan gampang patah—semuanya, kedua puluh kuku yang ada di tangan dan kakinya, kalau kau cukup perhatian, karena si Hakim tak pernah pakai sepatu. Ini seperti tanda-tanda zaman dulu, ketika Hitler melakukan pencurian besarnya terhadap orang-orang Yahudi. Matanya berair terus-menerus dan rambutnya rontok begitu banyak setiap kali dia menyisirnya.”
Pemikiran bahwa Fidelia juga melakukan hal duniawi seperti menyisir rambut tak pernah terlintas dalam benakku. Aku menelan ludah dan berjalan masuk ke asrama, sambil merasa bahwa ada awan gelap pertanda badai tergantung di langit di atasku.