“Halo, selamat pagi Tuan Hermawan. Maaf saya meninggalkan HP di kamar. Melihat panggilan masuk sudah 3 kali sepertinya ada berita penting. Apa yang bisa saya bantu?” tanya Dokter Joshua kepada Ayah yang sudah 3 kali membuatku terbangun karena panggilannya itu.
[Selamat pagi, Dok! Ada yang ingin saya sampaikan. Anda ingin dengar berita baik atau berita buruk dulu?]
“Sepertinya yang buruk dulu. Apa terjadi sesuatu dengan Anda?” tanya Dokter Joshua. Mendadak aku menjadi khawatir dengan kesehatan Ayah.
[Cuaca hari ini dan besok cerah. Saya sudah memeriksa perkiraan cuaca dan dipastikan tidak akan turun hujan. Jadi bagaimana kalau hari ini kita pergi berpiknik ke gunung? Jadi besok kita bisa mengadakan ibadah dengan tenang. Healing tipis-tipis.. hehehe”]
“Jadi kabar buruk itu hanya prank? Hmm.. Itu ide yang bagus, Tuan. Sepertinya Jasumin juga sangat menyukainya.” jawab Dokter Joshua.
Mee-o-uww (Tentu saja.), anggukku sambil melemaskan tubuhku yang kaku.
“Lalu, apa kabar baik yang ingin Anda sampaikan?” tanya Dokter Joshua lagi.
[Itu inti dari acara hari ini. Jadi kalian cepatlah bersiap-siap. Saya sudah menyewa satu Hiace untuk menampung rombongan karyawisata hari ini.]
“Semendadak ini? Anda mengundang berapa banyak orang?”
[Ada 11 orang peserta. Semuanya kesayangan Rachel yang baru saya kabari pagi ini, hehehe... Tambahan dua helper dan satu sopir. Kita akan berangkat pukul 10 dari rumah saya ya. Jangan lupa bawa baju tebal dan perlengkapan menginap! Sampai berjumpa nanti!] Tut.
“Huft.. Untung saja persiapan kita tidak sebanyak itu. Nah mari kita bersiap!” Dokter Joshua langsung menarikku yang masih bermalas-malasan di kasur. Padahal aku masih ingin tidur lebih lama lagi.
Pukul 10.00 peserta karyawisata yang digagas Ayah secara mendadak, sudah tiba. Ada Robin dan Anya, Andrew dan Cecilia, Agung, Doni, Silvia, dan Bu Alisha-ah. Semesta sepertinya sengaja mengumpulkan orang-orang kesayanganku hari ini karena tahu hari terakhirku akan tiba. Senang rasanya. Mereka semua memakai baju hangat dan membawa perlengkapan menginap seperti tenda. Para pria sibuk mengangkat dan memasukkan barang-barang bawaan ke dalam mobil dibantu dua orang helper sedangkan para wanita membantu menyiapkan perbekalan yang diperlukan. Setelah semua persiapan dilakukan, kami pun berangkat.
Aku duduk di baris kedua di dekat jendela bersebelahan dengan Ayah dan Dokter Joshua. Baris ketiga diisi oleh Bu Alisha-ah dan Silvia, baris keempat diisi Anya dan Cecilia, dan baris kelima diisi Robin, Andrew, Agung, dan Doni. Mood-ku kembali membaik dengan menikmati hijaunya pemandangan pegunungan. Aku senang melihat pemandangan alam. Namun ketenanganku tidak bertahan lama karena peserta di setiap baris ingin merasakan memelukku yang lucu dan ‘gemoy’. Menurut mereka buluku sangat lembut dan terawat. Semua orang memuji kepiawaian Dokter Joshua dalam merawat hewan peliharaan. Mendengar pujian tidak masuk akal itu, hanya membuat aku dan Dokter Joshua malu.
Sekitar 2,5 jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Bukit Perkemahan. Datang lagi ke tempat ini setelah 20 tahun berlalu membuatku bernostalgia. Bedanya, kali ini aku mengunjunginya bersama Ayah dan teman-temanku. Hari ini aku mau berjalan sendiri dan tidak ingin digendong. Jadi aku sudah berpesan kepada Dokter Joshua agar mengingatkan yang lainnya supaya membiarkanku sendiri. Awalnya, Dokter Joshua tidak meyetujuinya karena takut aku terjatuh atau terkena benda tajam, namun karena aku bersikeras akhirnya ia mengizinkan asal aku tidak berkeliaran terlalu jauh.
Ada satu lokasi yang menjadi favoritku waktu masih kecil dulu. Ya, ada sebuah bangku kayu dengan pemandangan gunung dan kegiatan paralayang. Sewaktu kecil aku sampai harus memohon kepada Ibu agar diizinkan naik paralayang. Nyatanya sampai hari ini aku belum kesampaian dan hanya bisa memandanginya saja. Bangku ini juga tidak banyak berubah hanya beberapa sisinya sudah ditumbuhi lumut. Aneh rasanya duduk disini kembali dalam wujud seekor kucing.
“Di sini pemandangannya indah kan, Jasumin? Putriku juga senang sekali duduk disini.” Suara Ayah mengejutkanku yang tengah melamun.
MEOW! (AYAH!)
“Apa kamu juga ingin naik paralayang itu? Sampai hari ini aku merasa bersalah karena Rachel belum pernah naik itu meski sudah memohon-mohon pada Ayah Ibunya.” Ayah menghela napas sangat dalam.
Meow? (Anda mengizinkannya?)
“Tentu! Ayo naik paralayang itu bersamaku.” Ayah mengulurkan tangannya padaku. Aku pun melompat memeluk Ayah. Tidak percaya keinginanku untuk naik paralayang terkabul.
Semua orang melarang keputusan Ayah yang ingin naik paralayang bersamaku. Bahkan para pria berebut untuk menggantikannya demi keselamatan. Namun Ayah bersikeras dirinya baik-baik saja dan kalau tidak dimulai sekarang, umurnya malah akan bertambah tua. Dokter Joshua-lah yang paling cerewet mengurusi keamanan perlengkapan yang kami gunakan. Aku menggunakan belt khusus yang diletakan di dada Ayah. Dan penerbangan perdanaku menggunakan paralayang dimulai!
Wah, indahnya! Aku bisa melihat dengan jelas semua pemandangan dari atas sini. Bahkan semua teman-temanku hanya seperti pohon-pohon kecil yang tertutup awan.
“Indah ya Jasumin? Seandainya Rachel bisa ikut merasakannya.” Teriak Ayah kepadaku. Ya di ketinggian seperti ini, suara kita harus keras supaya terdengar. Namun aku adalah seekor kucing yang peka suara jadi suara Ayah malah terdengar seperti lengkingan.
Mee-o-uww (Aku adalah Rachel, Ayah. Aku senang Ayah mau menuruti keinginanku naik paralayang. Walaupun sekarang aku berwujud Jasumin, aku tetaplah Rachel putri kecilmu.)
“Ya, setidaknya mengajakmu terbang hari ini sudah sedikit membuatku lega. Untung saja di helm ini sudah terpasang kamera. Jadi liburan hari ini akan terdokumentasi dengan baik. Jadi say hi Jasumin!”
Mee-o-uww!
Angin hari ini sangat bersahabat. Begitu pun dengan sinar matahari yang sengaja mengurangi intensitas teriknya sehingga udara dingin tetap kami rasakan. Ayah mampu mengontrol paralayang dengan stabil seirama dengan arah angin. Tanpa terasa sudah 30 menit kami melayang-layang di udara dan kami berhasil mendarat dengan sempurna. Seorang helper yang mendokumentasikan kegiatan paralayang, memfoto kami berdua selama proses pendaratan. Dokter Joshua berlari menyusul kami dan mengakui selama 30 menit dirinya tidak tenang melihat kami melayang-layang diatas.
“Om, Anda benar-benar pemberani sejati. Robin saja hanya gemetaran ketika aku juga ingin terbang.” gerutu Anya yang disambut gelak tawa semua orang.
“Bagaimana kalau kita makan? Perut kami lapar om!” rajuk Doni yang akhirnya diikuti semua orang disana.
“Pas sekali, dagingnya sudah matang. Ayo kita makan bersama!” ajak Bu Alisha kepada yang lainnya. Seperti yang lainnya, aku juga ikut mengantre mengambil santapan lezat. Alih-alih mengantre, semua orang rela memberiku urutan pertama untuk mengambil seporsi daging panggang lezat ini. Aku tidak peduli. Inilah keistimewaan yang kudapat setelah melalui berbagai masalah. Jadi mari nikmati hari ini sepuasnya dengan kawanan daging yang menanti untuk kulahap.
Acara makan-makan ditutup dengan terbenamnya matahari. Para pria sudah selesai mendirikan tenda dan para wanita membersihkan sisa wadah setelah makan. Aku yang bagai ratu ini hanya duduk-duduk santai menikmati indahnya senja hingga matahari tenggelam sepenuhnya. Menyenangkan sekaligus mengharukan. Agung dan Doni mempersiapkan api unggun karena udara malam sangat dingin di pegunungan. Tiba-tiba Ayah mengumpulkan semua orang mengelilingi api unggun.
“Terima kasih kepada rekan-rekan yang sangat dicintai putri saya untuk mau hadir dalam karyawisata yang saya buat mendadak ini. Tujuan saya mengumpulkan kalian adalah untuk menyampaikan suatu kabar bahagia. Dan saya minta Jasumin untuk maju di sebelah saya mewakili putri saya, Rachel Hermawan. Sini Jasumin!” Ayah melambaikan tangan ke arahku.
Aku berjalan ke depan dan berdiri di samping Ayah. Tiba-tiba Bu Alisha maju dan meletakkan sebuah mahkota di atas kepalaku. “Mari kita ucapkan selamat kepada penulis jenius kita yang sudah mengantarkan novel kompilasi pertamanya sebagai pemenang di The S.E.A Write Award, Rachel Hermawan! Kepada ketiga penulis, Agung, Doni, dan Silvia dipersilahkan maju dan berfoto bersama.” ajak Bu Alisha. Helper segera memfoto dan mendokumentasikan. Ayah tidak henti-hentinya menyeka air mata bahagia.
Prok.. prok.. prok
“Jadi karya Rachel dan rekan-rekannya berhasil mendapat penghargaan di S.E.A Write Award? Kata adikku, penulis yang berhasil mencatatkan namanya disitu adalah penulis hebat se Asia Tenggara!” ujar Cecilia bangga.
“Selamat Tuan Hermawan! Selamat Bu Alisha! Selamat kepada Rachel, Silvia, Agung, dan Doni!” ujar Dokter Joshua diikuti yang lainnya sambil saling berjabat tangan. Mimpiku menjadi penulis terkenal akhirnya terwujud! Walaupun aku tidak bisa menghadiri acaranya secara langsung, namun Ayah dan rekan-rekan penulisku sudah mempersiapkan yang terbaik agar kami bisa merasakan kegembiraan ini bersama-sama. Kami berfoto bersama throphy penghargaan dan malam ini menjadi kenangan tak terlupakan seumur hidupku.
“Kamu senang Jasumin?” tanya Ayah sewaktu berada di dalam tenda.
Meow! (Ya!)
“Aku bangga pada Rachel. Sampai akhir pun ia tidak berhenti untuk membuat Ayahnya bisa terus tersenyum. Meskipun ia tiada, namun karya-karyanya tidak akan pernah mati. Besok mari kita antar kepergian Rachel dengan senyuman. Nah, tidurlah. Selamat malam, Jasumin!” Ayah menyelimutiku dan memelukku hingga aku tertidur.
Meow! (Selamat malam, Ayah!)