Tok! Tok! Tok!
Palu telah diketuk 3 kali. Artinya, penetapan hukuman untuk terdakwa sudah sah secara hukum negara. Persidangan hari ini dilakukan sebagai sidang putusan. Ketua Majelis Hakim membacakan keputusan secara jelas untuk masing-masing terdakwa. Terdakwa dijatuhi hukuman selama 10 tahun. Mereka semua lega karena Bastian dan komplotannya mendapat hukuman yang sekiranya dapat membuat mereka jera.
Anehnya, aku malah merasa kasihan kepada Bastian. Awalnya aku ragu untuk mendekatinya, namun aku sudah membuang perasaan marah dan kecewa padanya. Aku ingin menghiburnya meski hanya sedikit perhatian yang bisa kuberikan. Aku melompat dan berjalan perlahan menjauhi rombonganku menuju ke arah Bastian yang bersiap untuk digiring kembali ke tahanan.
Meow (Bastian, ini aku Rachel. Aku senang sekaligus sedih untukmu.)
Bastian kaget dengan kemunculanku yang tiba-tiba. Sedetik kemudian ia menitikkan air mata dan sambil menahan alerginya yang sebentar lagi kambuh ia mengatakan beberapa kalimat. “Hai kucing cantik. Maaf ya atas semua yang sudah kuperbuat. Sejujurnya aku mencintai Rachel namun aku tidak berdaya dengan situasi yang kuhadapi. H-HACIH! Aku bersyukur atas hukuman yang kudapat. Tolong, sampaikan permintaan maafku untuk semua orang terutama kepada Tuan Hermawan dan mendiang putrinya, Rachel. Selamat tinggal!” Kemudian petugas menarik paksa Bastian dan meninggalkanku sendiri.
Hiks! Air mata sialan! Kenapa juga aku harus menangisi musuh yang sudah mengkhianatiku dan Ayah? Namun, ini benar-benar di luar kendaliku. Apalagi saat ia menyebut namaku. Bastian memang bersalah namun itu semua dilakukannya juga karena terpaksa. Namun bukan berarti aku membenarkan tindakannya. Setidaknya, Bastian sudah menerima hukuman yang bisa membuatnya jera.
Aku bersiap kembali ke tempatku semula. Namun, di belakangku, Dokter Joshua sudah menungguku. Aku pun melompat kepadanya. “Aku bangga padamu. Kamu memiliki hati yang lapang dan berjiwa besar.” Dokter Joshua memberiku tanda jempol.
Mee-o-uww! (Tidak kok! Aku tadi mengumpatinya!)
“Jangan berbohong. Tapi aku sedikit tidak senang mendengar kata ‘cinta’ untuk Rachel terucap dari mulutnya. Apa perlu aku menuntut dengan pasal pengkhianatan cinta?!”
Meow?? (Anda cemburu??)
Dokter Joshua memiringkan kepalanya dan menjawab dengan acuh tak acuh. “Mungkin?”
Dokter satu ini memang tidak bisa ditebak. Sekarang ia terang-terangan mengatakan cemburu pada seekor kucing tapi di saat bersamaan ia mendukung hubunganku dengan Bastian saat aku masih berwujud manusia. Kalau ia bersikap seperti itu, bagaimana aku harus menghadapinya?
Ayah dan Dokter Joshua sempat berbincang-bincang dengan beberapa orang seperti Nona Tika dan keluarganya, Pengacara Eza, dan Pak Inspektur. Sepertinya saling mengucapkan terima kasih. Aku digendong oleh Anya yang entah kenapa Andrew dan Cecilia suka sekali mencubit wajahku. Ketiga rekan penulisku memutuskan pulang setelah persidangan berakhir.
Ayah dan rombongan teman-temanku memutuskan untuk berziarah ke makam usai persidangan berakhir. Kebetulan Andrew dan Cecilia belum sempat berziarah setelah kedatangan mereka. Ayah naik mobil bersamaku dan Dokter Joshua, sedangkan Cecilia dan suaminya ikut semobil dengan Anya dan Robin. Ayah juga mengatakan bahwa setelah kasus ini berakhir, Nona Tika akan pindah ke luar kota karena mendapat pekerjaan yang lebih baik disana. Syukurlah, semua sudah kembali kepada situasi yang baik. Setelah menempuh 30 menit perjalanan, kami tiba di Bukit Harapan.
“Maaf ya anak-anak kalau om saat itu tidak mengizinkan kalian datang ke pemakaman. Bahkan om juga menolak kehadiran Dokter Joshua. Om takut para wartawan dan media akan ikut masuk dan malah memperkeruh keadaan.” Ayah meminta maaf setelah masing-masing turun dari mobil.
“Kami memahami situasi itu. Apalagi saat itu Bastian sebagai calon tunangan Rachel sudah mendampingi Anda dengan baik. Jadi kami tidak mempermasalahkan hal itu.” jawab Dokter Joshua.
“Ya, bagaimanapun saya sudah menganggap Bastian sebagai anak saya sendiri bahkan mengizinkannya memanggil saya ‘Ayah’. Meskipun yang ia lakukan pada akhirnya tidak baik, saya rasa ia sudah mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.”
Kami pun sampai di tempat peristirahatan wujud manusiaku. Aneh rasanya melihat makam diri sendiri untuk kedua kalinya. Tiba-tiba Ayah duduk di sebelah makam dan menangis.
“Rachel, kasus ini sudah berhasil terselesaikan dengan baik. Awalnya, Ayah merasa berat melepas kepergianmu, namun jika takdir tidak berjalan demikian maka kita tidak akan tahu suatu kebenaran. Sekarang kamu bisa beristirahat dengan tenang.”
“Rachel, maafkan kesalahanku dan Robin juga.” Robin merangkul Anya untuk menenangkannya. “Om, silahkan hukum kami sesuai keinginan Anda. Kami siap.” ucap Robin sambil meraih tangan Ayah.
“Sudahlah, nak.” Ayah balas menggenggam tangan Robin. “Saya sudah melupakan kejadian itu. Saya juga yakin Rachel pun akan melakukan hal yang sama dengan saya. Tidak ada yang tahu kalau akan jadi seperti ini. Anggap saja ini pelajaran supaya kita lebih berhati-hati ke depannya.” Anya dan Robin saling mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada Ayah dan kepada makam wujud manusiaku.
“Rachel, ini aku dan Andrew datang. Maafkan kami yang tidak bisa langsung pulang saat kecelakaanmu terjadi. Ini kunjungan pertama kami. Kami berdoa supaya kamu berbahagia disana. Jangan cemaskan kami, kami akan saling menjaga satu sama lain mulai hari ini.” imbuh Cecilia yang diikuti peletakan sebuket bunga oleh Andrew.
“Jasumin, ada yang mau kamu sampaikan?” tanya Dokter Joshua kepadaku yang berdiri mematung karena bingung harus bereskpresi seperti apa.
Meow.. mee-o-uww! (Kalian semua jangan sedih.. aku yakin Rachel sedang tersenyum melihat kalian. Ia ingin kalian semua berbahagia!), kataku sambil mengibaskan ekor.
“Apa yang dikatakan Jasumin, Josh?” tanya Andrew yang terkesima melihat ekspresi senyum Dokter Joshua saat mengusap kepalaku.
“Katanya, nonanya akan ikut sedih jika kita bersedih. Jadi ia ingin kita semua bersukacita dan melupakan semua kenangan buruk.”
“Sepertinya Dokter Joshua memang berbakat jadi penerjemah bahasa hewan. Jasumin pasti sangat bangga dengan dokter pribadinya ini.” canda Ayah yang diikuti gelak tawa kami semua. Ya, beginilah seharusnya yang terjadi. Aku ingin mereka merayakan kemenangan ini bersama mereka dengan senyuman.
“Om, bagaimana kalau kita mengadakan ibadah ucapan syukur atas selesainya masalah ini?” tanya Anya kepada Ayah.
“Ide bagus. Sekalian kita memperingati 40 hari kepergian Rachel yang sudah lama terlewat. Seharusnya 12 Agustus lalu.” ucap Ayah seraya menggelengkan kepala.
“Tidak apa, Tuan. Situasinya juga tidak memungkinkan karena kita semua sibuk mempersiapkan persidangan. Bagaimana jika 12 September besok lusa?” tanya Dokter Joshua.
“Baiklah. Saya setuju. Kalau begitu kita pulang saja sekarang agar bisa bersiap-siap.”
Cepat sekali hari berlalu sampai aku tidak menyadarinya. Berarti hari ini adalah hari ke-38 dan lusa aku harus bersiap-siap untuk pulang ke tempat seharusnya aku berada. Mendadak aku menjadi murung mengingat kebersamaanku dengan orang-orang yang aku sayangi tidak akan lama lagi. Aku senang mereka sudah bisa melepasku dengan sukacita, namun kenapa malah aku sendiri yang tidak ingin berpisah dari mereka. Mendadak aku ingin menjadi egois untuk bersama mereka lebih lama lagi meski dalam wujud seekor kucing. Namun itu adalah suatu kemustahilan, apalagi wanita malaikat itu sudah mengingatkan akan hukuman yang akan kudapatkan karena mengubah takdir kehidupanku sendiri.
“Om berencana mengadakan ibadah di rumah jam 7 malam dan mengundang seorang pemuka agama. Kalian boleh hadir jika tidak berhalangan.” Ayah menambahkan.
“Kami akan hadir, om!” Sahut mereka serempak.
Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Ayah menawarkan Dokter Joshua untuk menginap karena hari sudah malam. Namun, Dokter Joshua menolak secara halus dan meminta izin untuk pulang ke rumahnya. Ayah berpesan supaya kami berhati-hati karena ketika hujan jalanan pasti licin.
“Nah, Jasumin karena hanya tinggal kita berdua maukah kamu mengatakan yang sejujurnya penyebab mood-mu yang tiba-tiba menjadi murung ini?” tanya Dokter Joshua secara hati-hati kepadaku.
Meow (Aku hanya tiba-tiba saja merasa lelah. Aku ingin istirahat.)
“Baiklah. Tapi jika kamu merasakan sesuatu seperti kesakitan atau apapun itu segera katakan kepadaku. Ok?”
Aku mengangguk dan menyodorkan kepalaku kepadanya. Aku tidak boleh menujukkan kesedihan ini supaya Dokter Joshua tidak semakin khawatir kepadaku. Jadi aku terpaksa membohonginya dengan menujukkan mimik wajah dan tingkah laku seolah tidak terjadi apa-apa.