Senin, 15 Agustus 2022 adalah hari yang membuatku gelisah sampai kesulitan tidur. Ya, persidangan hari ini adalah persidangan perdana yang akan dihadiri oleh Ayah, Nona Tika, dan dokter yang menangani penyakit Ayah Nona Tika sebagai saksi. Meskipun kami sudah mempersiapkan diri namun tetap saja ada perasaan takut dan cemas karena belum pernah ada yang memiliki pengalaman berhadapan dengan pengadilan. Awalnya, petugas security melarang hewan peliharaan untuk masuk namun Dokter Joshua berhasil menyembunyikanku di balik tas yang ia bawa. Hatiku menjadi berdebar tidak karuan mendekati ruang sidang.
Teman-temanku turut menemani persidangan hari ini. Begitu pun Agung, Doni, dan Silvia. Bu Alisha tidak dapat hadir karena harus mengurus keperluan untuk penghargaan karya novel kami di Thailand. Begitu Majelis Hakim memasuki ruangan, semua hadirin diharuskan untuk berdiri. Setelahnya, Majelis Hakim mempersilahkan seluruh hadirin untuk duduk.
Tok! Tok! Tok!
Palu diketuk 3 kali tanda persidangan dimulai sejak hari ini. Ketua Majelis Hakim meminta supaya para terdakwa dihadirkan ke ruangan sidang. Pihak yang ditetapkan sebagai terdakwa adalah Bastian, seorang rekan investornya kalau tidak salah namanya Edie, dan notarisnya yang bernama Tulus. Edie dan Tulus terlihat sangat kesal ketika melihat kami namun Bastian malah menunjukkan ekspresi sebaliknya. Ia menatap Ayah dengan sedih sesaat sebelum duduk di kursi pesakitan. Setelah menyatakan kesesuaian identitas terdakwa, Jaksa Penuntut Umum membacakan dakwaan terhadap terdakwa.
“Yang Mulia, berdasarkan isi dakwaan pada salinan, berikut saya bacakan berdasarkan poin-poinnya saja. Satu tahun lalu, Terdakwa Edie yang merupakan seorang pebisnis mengajak Terdakwa Bastian bekerja sama untuk memberikan bantuan dana kepada masyarakat yang ingin memulai usaha bisnis. Mereka secara sadar sengaja menyasar orang-orang awam yang belum memiliki pengetahuan dan pengalaman bisnis. Para korban terpedaya dengan iming-iming akan dibantu pengurusan legalitas, tidak segan-segan mengeluarkan biaya yang cukup besar atas dasar kepercayaan terhadap loyalitas para terdakwa. Terdakwa Tulus selaku notaris yang bekerja untuk firma tersebut bertugas untuk membuat seolah-olah legalitas itu nyata dan legal di depan hukum. Korban yang terpedaya tidak akan menyadari bahwa mereka telah ditipu dan memindahkan kepemilikan menjadi milik para terdakwa. Hingga para terdakwa menghilang begitu saja tanpa adanya bantuan dana pendirian usaha yang dijanjikan. Aksi yang berlangsung selama satu tahun itu, telah membuat dua orang client menjadi korban. Bahkan salah satu client sudah meninggal dunia karena shock ketika penipuan itu terkuak.”
“Saudara terdakwa didakwa dengan Pasal-Pasal dalam Undang-Undang tentang perbuatan curang, pemalsuan surat, dan meninggalkan orang yang perlu ditolong. Apakah Terdakwa Edie, Terdakwa Bastian, dan Terdakwa Tulus mengerti? Ada tanggapan?”
“Mengerti, Yang Mulia. Selebihnya kami serahkan kepada Penasihat Hukum.”
“Baiklah kepada Penasihat Hukum apakah ada tanggapan terkait dakwaan yang dibacakan?” tanya Ketua Majelis Hakim kepada Penasihat Hukum.
“Ada Yang Mulia. Kami akan mengajukan nota keberatan, Yang Mulia.”
“Apa Anda sudah mempersiapkan nota keberatan?”
“Belum Yang Mulia. Kami minta waktu 7 hari untuk mempersiapkannya.”
“Bagaimana dengan Penuntut Umum apakah sepakat?
“Sepakat, Yang Mulia.”
Tok!
Para terdakwa masih terikat status tahanan. Begitulah persidangan hari ini ditunda hingga 7 hari ke depan karena adanya nota keberatan dari para terdakwa maupun Penasihat Hukum. Kebetulan kami mendapat jadwal persidangan paling akhir. Teman-temanku berpamitan pulang terlebih dahulu setelah persidangan berakhir dan berjanji menghadiri sidang berikutnya. Tinggal aku, Ayah, dan Dokter Joshua. Aku menjadi semakin cemas dan ketakutan. Begitupun dengan ekspresi Ayah yang terlihat tidak tenang.
“Tuan Hermawan!” panggil Nona Tika yang berlari menuju arah Ayah. “Anda tidak perlu khawatir dengan eksepsi ini. Putusan hakim pasti bersifat positif.”
“Terima kasih, Nona. Saya juga minta maaf karena waktu itu sudah secara sengaja berteriak pada Anda dan malah menyalahkan kematian putri saya kepada Anda.”
“Jangan menyalahkan diri Anda. Sampai sekarang saya saja masih terus dihantui rasa bersalah. Seandainya saya tidak mengajaknya bertemu di hari itu.”
“Tidak, Nona. Kematian Rachel bukan akibat siapapun. Saya sudah belajar menerima takdir. Mungkin Tuhan tahu yang terbaik untuknya. Dan saya disini harus tetap tegar dan semangat agar putri saya disana tidak sedih. Jadi Nona Tika, mari kita buka lembar baru bersama-sama dan lupakan masa lalu yang membelenggu,”
“Terima kasih, Tuan Hermawan. Bolehkah saya memeluk Anda sebagai ganti Ayah saya yang tiada? Sosok Anda mengingatkan saya pada Ayah. Hiks.. saya rindu Ayah.”
Ayah pun memberi pelukan hangat layaknya seorang Ayah kepada putrinya. Dua orang yang saling kehilangan tiba-tiba bertemu dalam satu keadaan yang sama untuk saling berbagi kekuatan. Kami yang menyaksikan hal itu tanpa sadar ikut tersentuh. Apalagi bagiku. Aku juga merasakan perasaan sedih karena kehilangan orang yang kusayangi dalam waktu singkat. Setelah itu, Nona Tika pamit meninggalkan Pengadilan Negeri bersama dengan keluarganya.
Meow! (Sampai berjumpa lagi, Nona Tika!)
Aku melambaikan tangan kepada Nona Tika. Ia pun membalas lambaianku dan berpesan agar kami tidak patah semangat. Bahkan seorang anak laki-laki kecil di dalam rombongannya, juga ikut melambaikan tangan padaku. Katanya aku sangat lucu sehingga ia memaksa ingin membawaku pergi. Aku yang ketakutan bersembunyi di dalam tas Dokter Joshua sampai bocah aneh itu menghilang dari pandanganku.
Tujuh hari bukanlah hari yang lama untuk menunggu sidang lanjutan. Makanan dan grooming khusus yang diberikan Dokter Joshua, tidak bisa kunikmati dengan baik. Begitu pun dengan Ayah. Meskipun kami berada di rumah Dokter Joshua yang memiliki sarana relaksasi yang baik namun syaraf kami terlanjur tegang dan rasa cemas lebih besar menguasai kami.
“Tuan, saya mengerti Anda gelisah memikirkan sidang berikutnya. Namun, jika Anda seperti ini, Anda akan lebih mudah terserang penyakit.” Dokter Joshua menemui Ayah yang sedang duduk menatap air terjun buatan sepulang kerja. “Anda mau makan malam apa?”
“Ah, maaf saya melamun sampai tidak menyadari kedatangan Anda. Mari kita siapkan bersama saja.” Ayah cepat-cepat mengenakan celemeknya. “Kebetulan saya ingin membuat sesuatu yang enak untuk Jasumin juga. Setuju Jasumin?”
Meow! (Setuju, Ayah!)
Pagi ini persidangan lanjutan dimulai diiringi rintik hujan dan awan gelap. Meski seperti firasat buruk, aku memegang tangan Ayah dan memberinya semangat. Ayah tersenyum dan mengelus kepalaku. “Terima kasih, sayang. Pantas saja Rachel begitu menyayangimu. Saya juga berterima kasih, Dok. Saya sudah banyak merepotkan Anda.” ujar Ayah.
“Sama sekali tidak merepotkan Tuan. Saya senang bisa mendampingi Anda. Saya harap Anda bisa terus sehat agar Jasumin tidak sedih lagi.” Setelahnya, hujan turun dengan lebat. Dokter Joshua mengendarai mobilnya dengan hati-hati karena pandangan kami pun terbatas.
Tok!
“Kepada Penasihat Hukum, silahkan berikan salinan nota keberatan kepada Majelis Hakim dan Penuntut Umum.” ujar Ketua Majelis Hakim.
Setelah menyampaikan sepatah dua kata kalimat pembuka, Penasihat Hukum pertama mulai membacakan isi dari nota keberatan. “Inti dari nota keberatan yang akan saya sampaikan mewakili para terdakwa adalah sebagai berikut. Kami tidak setuju pada putusan dakwaan Majelis Hakim karena dalam hal ini Terdakwa Edie dan Terdakwa Bastian tidak pernah dengan sengaja menipu client. Client mengetahui detil setiap proses yang dilakukan dan setiap pengeluaran yang dilakukan untuk pengurusan legalitas adalah sah dan tidak ada nominal yang dilebih-lebihkan. Kepada seorang client yang meninggal, itu bukan tanggung jawab dari para terdakwa karena pada dasarnya client sudah memiliki penyakit bawaan dan itu tidak bisa dijadikan dalih untuk membebani para terdakwa. Selanjutnya, akan dilanjutkan rekan saya.”
Penasihat Hukum kedua melanjutkan pembacaan nota keberatan. “Tidak ada unsur paksaan dari para terdakwa kepada client. Para terdakwa hanya membantu dan sisanya menurut kehendak client. Salah seorang client meninggal bukan karena tindakan sengaja terdakwa. Kecelakaan itu terjadi di rumahnya dan disebabkan keteledoran sendiri. Berdasarkan fakta yang kami uraikan, kami memohon kepada Majelis Hakim untuk mengambil keputusan sebagai berikut. Pertama, menerima eksepsi dari Penasihat Hukum atas para terdakwa, kedua menyatakan dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum untuk dibatalkan atau setidaknya tidak diterima, ketiga memulihkan nama baik untuk para terdakwa, keempat membebankan biaya perkara pada negara, dan kelima memohon keputusan yang seadil-adilnya. Terima kasih, Yang Mulia”
“Penuntut Umum, apakah Anda akan mengajukan nota pendapat?” tanya Ketua Majelis Hakim.
“Tidak, Yang Mulia. Kami tidak mengajukan nota pendapat dan menolak semua eksepsi. Kami akan tetap pada dakwaan kami, Yang Mulia.”
“Setelah mendengarkan tanggapan Penasihat Hukum dan penolakan Penuntut Umum, maka Majelis Hakim akan mengambil putusan sela. Sidang skors akan dilanjutkan 1x1 jam.”
Tok!
Sidang skors kembali dilanjutkan 1 jam kemudian. Dalam sidang ini, Majelis Hakim akan memberi keputusan untuk menerima atau menolak eksepsi dari Penasihat Hukum. Jika Majelis Hakim menerima eksepsi tentu akan berakhir buruk bagi kami. Setelah memasuki ruangan, Majelis Hakim mencabut skors dan memulai kembali persidangan.
“Majelis Hakim akan memberikan jawaban atas putusan sela dan menyatakan menolak nota keberatan Penasihat Hukum secara keseluruhan dan menyatakan pemeriksaan akan dilanjutkan kembali!” Tok!
Syukurlah! seruku dalam hati. Namun, sidang hari ini harus ditunda dan dilanjutkan kembali untuk sidang lanjutan berupa penyiapan barang bukti dan pernyataan para saksi. Sidang akan dilaksanakan 7 hari kedepan.