Tok tok tok
“Siapa itu, Yah, malam-malam datang kemari?” tanyaku kepada Ayah.
“Tamu Ayah. Tolong bukakan pintunya, nak.” Aneh pikirku. Ayah hampir tidak pernah menerima tamu saat makan malam. Ketika pintu terbuka, Bastian muncul dengan membawa sebotol wine dan buah-buahan.
“Selamat malam, Nona Rachel. Maaf membuat Anda terkejut.” Seketika ia menyerahkan bingkisan yang dibawanya kepadaku.
“Selamat malam. Silahkan masuk.” sapaku sedikit kaku.
“Halo, Tuan Hermawan. Sepertinya Anda sibuk. Apa yang bisa saya bantu?” tanya Bastian menghampiri Ayah di dapur.
“Tidak ada. Anda bisa berbincang-bincang dengan putri saya saja. Sebentar lagi makanannya akan siap.” Ayah memberiku kode untuk mempersilahkan Bastian duduk. Aku pun memberi arahan pada Bastian untuk menuju ruang makan. Namun, ia menolak dan malah membantuku untuk mempersiapkan peralatan makan. Awalnya, aku bingung dengan kedatangan Bastian yang tiba-tiba namun setelah melihat interaksinya dengan Ayah berarti momen ini sudah Ayah rencanakan sebelumnya. Itu sebabnya Ayah memintaku untuk memakai pakaian yang rapi dan sopan saat makan malam.
“Aromanya sedap sekali. Sudah lama saya tidak merasakan masakan rumah. Saya jadi semakin ingin segera mencicipi masakan Ayah Nona Rachel.”
“Ayah saya memang hebat dalam memasak. Terutama masakan rumahan. Saya saja sebagai putrinya tidak mewarisi keahlian itu. Hehe..” ucapku jujur.
“Begitu ya? Tidak masalah karena saya juga tidak bisa memasak. Hahaha..”
“Maaf tapi apakah Anda tidak pernah makan masakan rumah?” tanyaku penasaran.
“Hmm.. Setelah kedua orangtua saya bercerai, saya hanya diasuh oleh Paman. Paman sudah saya anggap sebagai ayah kandung. Beliau sering memasakkan makanan rumah namun sepeninggal beliau, saya selalu makan makanan instan atau beli di luar. Itulah yang membuat saya menyetujui usulan Ayah Anda untuk makan malam bersama di rumah.”
“Anda sangat hebat. Bahkan di usia yang masih muda Anda sudah memiliki pekerjaan yang mapan dan mandiri.” pujiku tulus.
“Tidak. Pekerjaan yang saya miliki pun memiliki pasang surutnya masing-masing. Jadi, saya harap Anda bisa terus semangat menjalani hidup.” Aku pun mengangguk. Seketika Ayah datang membawa seekor ayam bumbu rujak pedas dan sayur asam.
“Nah, makanannya sudah siap. Mari kita makan.” ajak Ayah.
“Jangan lupakan wine nya. Saya sudah memilih kadar alkohol yang paling ringan.”
“Saya yang akan tuangkan. Anda berdua, silahkan makan saja.” ujarku sambil menuangkan ke gelas-gelas yang sudah tertata rapi di atas meja.
“Masakan Anda benar-benar enak, Tuan Hermawan. Saya saja baru pertama kali makan ayam bumbu rujak pedas. Seperti ayam panggang tapi lebih kaya rasa. Pedasnya juga lebih terasa. Selain itu, rasa sayur asamnya segar, potongan jagung juga tidak terlalu besar. Pas. Apalagi Anda sampai menyiapkan dadar jagung kesukaan saya. Terima kasih !”
“Benarkah? Saya tersanjung mendengarnya.” ujar Ayah bangga.
“Saya yakin bisnis kuliner yang Anda bangun pasti akan sukses besar!” Bastian memberikan dua jempol untuk masakan Ayah.
Kami pun menikmati suasana malam dengan harmonis. Bastian sangat humble. Bahkan dengan mudahnya, ia mudah menyesuaikan pola komunikasi dengan aku dan Ayah. Begitu pun dari caranya memperhatikanku ketika makan. Bastian membantuku memisahkan tulang ayam supaya tanganku tidak belepotan bumbu. Itulah sebabnya Ayah sangat menyukai pria ini. Selesai makan malam, aku mencuci peralatan makan sedangkan Bastian membantu Ayah untuk membersihkan sisa noda dan membuang sampah. Meskipun memiliki jabatan tinggi di perusahaan pendanaan yang dipimpinnya, Bastian tidak gengsi untuk langsung turun tangan bersih-bersih. Padahal pasti ia punya asisten rumah tangga.
“Kegiatan apa yang Nona Rachel sukai selain menulis?” tanyanya.
“Berjalan-jalan dan makan makanan yang enak.” jawabku bangga.
“Anda suka berjalan-jalan kemana? Menikmati alam, bangunan, atau shopping?
“Saya senang menikmati alam. Biasanya inspirasi penulisan novel selalu muncul di tempat yang tenang. Bagaimana dengan Anda?” tanyaku penasaran.
“Saya suka melihat laut. Apakah Anda berpikir pebisnis tidak bisa bersenang-senang, Nona?” Ia balik bertanya karena ekspresi tidak percayaku kalau ia bisa berlibur.
“Kurasa begitu. Menurutku waktu kalian habis hanya untuk mencari profit?” tebakku.
“Tidak sepenuhnya salah. Kami sering menghabiskan waktu dengan berpergian entah di dalam atau luar negeri. Sebenarnya berlibur. Tapi ujung-ujungnya mencari profit juga. Apakah Anda tertarik untuk berbisnis, Nona?”
“Tidak. Untuk saat ini saya hanya ingin menjadi novelis terkenal.”
“Kalau begitu, saya akan menjadi support system bagi Anda.”
“…”
“Karena malam semakin larut, saya izin pulang, Nona. Tuan Hermawan saya pamit. Terima kasih atas jamuan makan malam yang sungguh berkesan bagi saya.”
“Hati-hati di jalan, Bastian.” Aku pun melambaikan tangan padanya.
“Saya juga berterima kasih karena Anda berkenan memenuhi undangan saya.” Ayahku mengantarkan Bastian hingga depan pagar. Mereka juga terlibat percakapan mengenai bisnis Ayah. Bahkan Bastian juga membantu mengarahkan langkah demi langkah hal-hal yang harus dilakukan untuk membangun usaha.
“Bastian, pria yang sangat baik, nak. Ia sangat sabar mengajari Ayah tentang bisnis ini. Bahkan ia bersedia membantu mulai dari nol. Jarang ada pebisnis yang berhati mulia sepertinya.” Mulai deh Ayah menyanjung Bastian. Ya, kurasa Bastian mampu menjadi partner bisnis yang baik untuk Ayah. Sekarang aku bisa lega dan tidak perlu curiga lagi padanya.
Ketika aku membuka pintu kamar, Jasumin mendesis sambil menatap jendela. Entah sejak kapan Jasumin mendesis. Aku menjadi parno akan adanya makhluk halus. Jadi aku sengaja menenggelamkan diriku di balik selimut dan membiarkan Jasumin sampai tenang sendirinya. Pukul 4 pagi, aku terbangun. Ide-ide untuk menulis kembali produktif di jam-jam seperti ini. Jadi aku mulai menyalakan laptop dan bersiap untuk menulis. Kulihat Jasumin sudah kembali di tempat tidur mininya dan tertidur pulas.
Pria Jahat dan Pria Baik.
Lahirlah dua anak laki-laki kembar. Mereka kembar identik dan sangat sulit dibedakan. Yang bisa membedakan hanya sang ibu. Ketika menangis, bayi yang satu akan mengeluarkan embun di balik tirai sedangkan yang lainnya mengeluarkan api. Namun sang ibu mengunci rapat-rapat rahasia ini hingga kedua anak kembarnya tumbuh dewasa. Setelah dewasa, orang-orang baru bisa melihat perilaku mereka. Yang mengeluarkan api mereka sebut si jahat dan yang mengeluarkan embun mereka sebut si baik. Pria Jahat selalu dimusuhi bahkan dikucilkan sedangkan Pria Baik disambut dengan baik. Suatu hari Pria Baik menjadi marah dan menenggelamkan seluruh penduduk desa panas itu dengan tetesan embun yang semakin lama menjadi banjir bandang. Pria Jahat yang sudah terusir dari desa menjadi marah dan menyelamatkan desa dingin dari es. Kekuatan api berhasil melelehkan es yang membekukan penduduk desa. Akhirnya, Raja menghukum mati Pria Baik dan mengangkat Pria Jahat menjadi perdana menteri atas jasa-jasanya.
Cerita fantasi ini akan menjadi karyaku yang selanjutnya setelah menghabiskan 2 jam lebih untuk menulis kerangka awalnya. Membayangkan kerangka cerita yang kubuat sudah membuat tubuhku merinding. Setelah press conference aku akan menggunakan jatah waktu liburku untuk membuat karya selanjutnya. Bukankah seorang novelis harus terus produktif? Aku menyimpan kerangka ini di flashdisk dan menaruhnya di dalam laci. Baru saja aku ingin merebahkan tubuh di kasur, tiba-tiba sosok pria penolong di pernikahan Cecilia memenuhi pikiranku. Sementara untuk saat ini aku meyakini pria itu adalah Bastian. Bahkan Bastian juga berada disana dengan momen yang tepat ketika aku terjatuh. Sayangnya Bastian lupa kejadian itu. Tiba-tiba aku merasa kecewa karena hanya aku yang ingat dan berdebar-debar. Sebuah notifikasi pesan masuk membuyarkan lamunanku.
Pengirim : Bastian
Selamat pagi, Nona Rachel. Semoga pesan saya tidak mengganggu istirahat Anda. Pagi ini saya bersama Ayah Anda akan observasi lokasi bisnis. Jika Anda tidak sibuk bisakah nanti sore kita pergi jalan-jalan di pantai? Ada pantai sangat indah yang ingin saya tunjukan pada Anda. Saya menghargai jawaban Anda.
Aku pun membalas pesan itu dengan cepat. Ah ! Inikah rasanya diajak kencan?
Pengirim : Rachel
Selamat pagi, Bastian. Tolong panggil saya dengan nama saja seperti saya memanggil Anda. Saya tidak nyaman jika hanya Anda yang bersikap formal. Baiklah sore nanti saya tidak ada kegiatan. Saya juga ingin melihat laut. Terima kasih sudah mengajak saya.
Jadi seharian ini aku hanya di rumah untuk bersih-bersih, memandikan Jasumin, dan bersiap-siap. Ini pertama kalinya aku bingung harus memakai apa. Konsep kencan pertama biasanya diawali dengan debaran tidak beraturan seperti yang aku alami saat ini. Lalu pilihanku jatuh ke terusan panjang berwarna putih yang sangat cocok membiaskan pendar matahari terbenam dan kemilau cahaya kemerahan di laut. “Jasumin hari ini aku akan membawamu melihat laut bersama Bastian. Kamu pasti senang.”
“……”
Anehnya, Jasumin tidak mengeluarkan satu pun suara. Biasanya ia akan mengeong atau mendesis ketika menanggapi sesuatu. Namun sejak tadi malam tingkahnya menjadi aneh dan seharian ini hampir diam saja. “Apakah kamu sakit?” tanyaku. Namun, suhu badannya normal, nafsu makannya juga masih baik. Mungkin Jasumin hanya kelelahan.
Pukul 3 siang, Ayah sampai di rumah dan menyuruhku segera berangkat karena Bastian sudah menungguku. Aku memasukkan Jasumin ke dalam carriage. Kami pun berangkat mejauhi perkotaan. Menurut Bastian, pantai bernama Red Beach ini dikelola menjadi tempat wisata oleh temannya baru beberapa bulan yang lalu. Namun, karena keindahan sunset yang memesona membuat pantai ini menjadi jujukan untuk prewedding photo, sekedar menikmati suasana pantai, dan beristirahat di cottage seperti di Maldives.
Awalnya, perjalanan kami berlangsung baik-baik saja sampai akhirnya, Bastian menjadi terus menerus bersin. Anehnya, Jasumin pun tidak berhenti mendesis. Aku bertanya apa yang terjadi dengan Bastian.
“H-HACIH ! Apakah carriage yang Anda bawa itu berisi kucing?” tanyanya.
“Benar. Apakah Anda alergi terhadap kucing?” aku prihatin melihat kondisinya.
“Ya dan saya malu mengakuinya pada Anda. HACIIHH !”
“Oh, maafkan saya! Saya hanya berpikir Jasumin pasti senang diajak jalan-jalan.”
“HACIHH ! Sebentar, saya akan mampir di apotek untuk membeli masker”
“Baiklah.” Aku membantunya mencari apotek terdekat di sekitar daerah tersebut.
Kami pun tiba di Red Beach. Benar saja kami diberikan area privat yang tidak bisa dimasuki orang luar sehingga kami bisa lebih leluasa untuk menikmati momen sunset. Bastian meminta maaf karena perjalanan menjadi kurang nyaman akibat alerginya. Aku juga merasa bersalah karena mengajak Jasumin tanpa berdiskusi dulu dengannya. Meskipun Bastian meyakinkan dirinya baik-baik saja, namun perasaan bersalah terus menghantuiku. Aku membiarkan Jasumin tetap di dalam carriage.
Mee-o-uww
“Maafkan aku Jasumin. Sebenarnya aku tidak tega meninggalkanmu sendirian dengan jarak yang cukup jauh dariku. Namun aku kasian melihat Bastian terus menerus bersin saat di dekatmu. Begini saja, kamu tetap bisa menikmati sunset di area ini. Jangan mendekat padaku sementara aku bersama Bastian. Ok?” Aku mengelus kepalanya sebelum menuju Bastian.
“Anda bisa membawa kucing Anda kesini. Saya bisa memakai masker.” ujar Bastian bersiap mengenakan kembali maskernya.
“Saya sudah memintanya untuk tetap disana. Maafkan saya merepotkan Anda.”
“Tidak merepotkan. Saya senang bisa menikmati sunset bersama Anda. Ah, Anda ingat janji terakhir yang kita ucapkan setelah makan malam waktu itu?”
“Untuk bertemu kembali?” tanyaku asal menebak.
“Benar. Anda mengizinkan saya untuk menemui Anda kembali. Apa seterusnya boleh seperti itu, Rachel?” Kali ini tatapan matanya menjadi serius. Ia bahkan memanggil namaku langsung. Bola matanya yang cokelat memantulkan semburat sinar kemerahan yang dramatis. Mungkin bola mataku juga memiliki efek yang sama di hadapannya. Bingung aku pun mengeluarkan pertanyaan yang memalukan.
“Apa hubungan kita ini bagi Bastian?” Ah ! Aku terkesiap mendengar mulutku bergerak di luar kontrol. Sial ! gerutuku dalam hati.
“Jika saya menganggap ini kencan kedua, apakah Anda tidak keberatan?”
“Maksud Anda?” Ternyata ia menganggap serius ucapanku. Aku berada dalam bahaya.
“Ya saya sudah jatuh hati sejak pertemuan pertama dengan Anda. Bahkan sebelum Anda mengenali saya. Saya ingin mendekati Anda secara alami dan tampaknya semesta membantu kita untuk dapat bertemu melalui berbagai kejadian.”
Ya, Tuhan cobaan apalagi ini. Pria ini terlalu sempurna untuk menjadi pacarku. Hidupnya mapan dan stabil. Kepribadiannya ramah dan hangat. Bahkan menghargai orang lain tanpa pandang bulu. Jika aku menerimanya sebagai pasanganku apakah aku menjadi terlalu serakah?
“Anda tidak perlu terbebani dengan pernyataan saya. Saya akan menunggu Anda. Jadi mari kita jalani dulu hari-hari terindah ini. Jika Anda sudah siap, silahkan beri tahu saya.”
Aku pun mengangguk. Setelah berfoto dengan latar sunset, kami pun makan malam di salah satu restoran tepi pantai. Bastian bilang tidak perlu khawatir dengan harganya. Karena pemiliknya adalah teman Bastian, sudah sering mereka saling mentraktir satu sama lain. Menariknya, restoran itu menyediakan pet area yaitu tempat untuk menitipkan hewan peliharaan sekaligus menu makanan khusus. Aku menitipkan Jasumin dan memesankan set menu salmon kesukaannya. “Restoran ini sangat bagus. Apakah Anda juga tergabung di kepemilikan sahamnya?” tanyaku penasaran karena Bastian mampu menceritakan seluk beluk restoran ini dengan detil.
“Ya tapi persentasenya kecil. Itu sebabnya saya mengetahui beberapa hal yang diperlukan dan ingin membantu Ayah Anda untuk mewujudkan impiannya.”
“Anda sangat baik. Terima kasih.” ucapku.
“Tidak perlu berterima kasih. Saya senang selama Anda juga senang.”
Pipi dan telingaku terasa panas. Bahkan Bastian mengira aku terkena demam karena wajahku merah padam. Aku izin ke toilet dan benar wajahku semerah kepiting rebus yang tadi kumakan. Bagaimana ini, aku berdebar-debar setiap kali Bastian mengungkapkan perasaannya kepadaku. Rasanya aku malu untuk bertatap muka dengannya. Setelah mengumpulkan keberanian, aku pun menuju mejaku kembali. Kuyakinkan bahwa aku baik-baik saja. Setelah selesai makan, Bastian menemui seorang pelayan dan memberikan sebuah tip kepadanya.
Aku menemui Jasumin untuk membawanya pulang. Kukira Jasumin akan menjadi riang bila bertemu teman-teman kucingnya seperti di salon Dokter Joshua waktu itu. Nyatanya, Jasumin hanya duduk termenung tanpa menyentuh set menu salmon kesukaannya. “Ada apa denganmu Jasumin? Kamu tidak mau makan? Baiklah ayo kita pulang sekarang.”
Meow !
Aku memasukkan Jasumin ke dalam carriage. Di perjalanan pulang, Bastian kembali bersin-bersin. Namun karena tertutup masker, frekuensinya menjadi sedikit berkurang. Jasumin pun diam saja dan tidak bereaksi apapun hingga kami tiba di rumah. Setelah berpamitan denganku dan Ayah, Bastian pulang.
“Nah, sekarang kita sudah sampai di rumah. Aku akan mandi dan setelah itu beristirahat.” Aku pun mengecup lembut kepala Jasumin. Dan seperti biasa ia menggelayut manja di tanganku sambil mengeong.