Loading...
Logo TinLit
Read Story - Romance is the Hook
MENU
About Us  

Almira

Giliran untuk bermain sekarang ada di tanganku.

Minggu kedua bekerja di Gautama Books dan hari pertama rencana kecilku untuk membuat Reynaldo kesal dimulai. Setelah mendengar bahwa pria itu akan kembali masuk ke kantor di Hari Senin, aku langsung memulai operasi pertamaku. 

Rencana yang aku persiapkan dengan mengorbankan akhir mingguku. Tentu hasilnya akan sangat memuaskan, aku bisa mencium kemenangan di hadapanku. Aku bahkan sudah mengenakan gaun merah selutut favoritku untuk mempersiapkan perayaan keberhasilan rencanaku hari ini. My confidence of winning is oozing!

Aroma manis dari campuran gula dan kayu manis menyelimuti lantai 27 pagi ini. Lantas mata lelah para karyawan yang sedang mengalami penyakit anti Senin terbuka lebar. Mereka mengalihkan pandangan ke kanan dan kiri mencoba mencari sumber aroma menggiurkan itu. Sampai akhirnya mata mereka tertuju ke mejaku.

Lebih tepatnya ke boks coklat besar yang aku buka lebar dengan sengaja. Kepulan asap dari makanan manis yang aku buat dari subuh tadi mengundang mereka untuk mendekat. Reynaldo tak terkecuali. Aku tersenyum melihat operasi pertamaku sudah hampir berhasil.

“Ami, lo bawa apaan sih? Harum bener!” Andin menjadi yang pertama menyampirkan lengannya ke pundakku. Matanya tertuju pada deretan camilan panjang dengan taburan gula diatasnya. “Is that … churros?

Aku tersenyum pada Andin. “Help yourself! Aku masak kebanyakan tadi pagi, jadi aku bawa ke kantor aja buat bagi-bagi.”

Langsung saja Andin mengambil satu churros yang ia habiskan dalam tiga kali gigitan. Mata Luna membelalak saat ikut mendekat ke mejaku. “Lo kesambet ya waktu masak? Ini porsi buat satu kantor kali, Mi?” 

Aku tertawa kecil lalu memberikan satu churros masing-masing untuk Luna dan Nisa di sebelahku. Melihat karyawan lain yang sudah mendekat, aku lantas berkata, “Kakak-kakak yang lain boleh ambil juga. Tidak usah malu.”

“Wah… Lo terbaik. Habis ini kalau perlu bantuan dari tim gue langsung gue jadiin prioritas satu, deh!” sahut seorang pria yang kurasa berasal dari tim yang sama dengan Reynaldo. Karena kulihat target aksiku hari ini berada di belakangnya, masih berdiri kaku dengan tangan terlipat di dada. Namun mata memang tidak pernah berbohong. Karena sejak tadi ia tidak bisa melepaskan fokusnya ke deretan churros buatanku. 

Churros adalah senjata untuk melancarkan operasi pertama pembalasan dendam Almira. Aku harus berterima kasih pada Kak Felice yang dengan polosnya bercerita tentang obsesi Reynaldo terhadap makanan manis. 

“Di kantor kita ini memang kebanyakan suka makanan manis. Berhubung tingkat stress mengurus penulis dan bukunya bisa meningkat kapan saja, kita jadi selalu mencari asupan gula biar tetap semangat.” Kak Felice mengawali obrolan kami setelah sesi pitching Jumat lalu. Saat itu aku iseng bertanya karena melihat menu makan siang yang selalu dilengkapi kue berbagai macam dan selalu habis jika kita terlambar turun.

“Begitu? Saya jadi ingat kakak pernah bilang tentang obsesi tim PR dengan cinnamon rolls.” Aku mengingat kembali ucapan Kak Felice saat sesi absen onboarding. 

Kak Felice tertawa lalu tanpa sadar membeberkan informasi penting untukku. “Bukan tim PR, tapi Reynaldo. Ingat kan, cowok yang ambil boks makanan waktu itu?”

Aku mengangguk. Mana mungkin aku lupa. “Nah, dia itu terkenal karena obsesinya terhadap cinnamon rolls…Hm, dan semua makanan manis sih. Waktu kita pertama onboarding dulu, gue ingat dia selalu mengincar kalau ada camilan manis yang tersisa.”

Mataku melebar mendengarnya. 

Mentorku yang polos itu lalu menepuk pundakku. “Nggak gue sangka ternyata Reynaldo bakal bertemu saingannya memperebutkan camilan manis di kantor. Semoga aja nggak akan ada perang gula gara-gara salah satu dari kalian nggak dapat asupan manis sehari!”

Sweets War. Perang Gula. Nama yang tepat untuk operasi membuat Reynaldo kesal. 

“Mi, gue boleh nambah nggak?” Pertanyaan Andin membawaku kembali dari lamunanku.

“Boleh, silahkan.” Aku memberikan satu lagi churros untuk Andin. “Kakak-kakak yang lain sudah dapat semua? Ada yang belum dapat atau mau nambah lagi?”

Kulihat karyawan lain sudah duduk di mejanya masing-masing dan mengangkat jempol ke arahku. Tersenyum aku menatap Reynaldo yang masih berdiri kaku di sisi seberang mejaku. Saat aku melihat sedikit pergerakan darinya, aku langsung beralih memandang Andin yang masih sibuk mengunyah churros. 

“Din! Mau tambah? I have one more.” Aku sengaja membesarkan suara sembari menyodorkan churros ke arah Andin yang dengan senang hati menerimanya. 

Senyum perlahan mengembang di bibirku sebelum aku memutar badanku hingga mataku bertemu lagi dengan mata target operasiku. Alisku mengerut dan aku membuat ekspresi tidak bersalah ke arahnya membuat pria itu melengos pergi ke duduk di kursi kerjanya. Matanya masih memandang awas ke arahku. Kedua ujung bibirku terangkat lebar puas melihat ekspresi kesalnya. 

“Mi, lo baru aja buat gue nggak bisa makan siang. Kenyang banget perut gue.” 

Aku tertawa, walau dalam hati aku berterima kasih dengan nafsu makan Andin yang besar terutama jika sudah ada di hadapan makanan manis. 

Aku membuka kembali boks yang aku bawa. Diam-diam memasukkan tiga potong churros yang sebenarnya masih tersisa ke dalam kotak makan kuning. Sambil tertawa kecil, aku mengingat lagi wajah kesal Reynaldo saat mempercayai wajah polosku yang memberikan Andin porsi churros terakhir. Kalau Abuela melihat aktingku tadi, mungkin aku sudah diboyong ke teater lokal milik kenalannya. And that’s why you don’t mess with a Garcia!

Suasana hatiku kembali berbunga-bunga ketika Bu Eri datang mengumumkan lima proyek buku untuk diterbitkan dua bulan lagi. Dimana salah satunya adalah proyek penerbitan naskah pilihanku.

“Almira. Saya harap kamu bisa memberikan usaha terbaik di proyek buku pertamamu. Felice akan menemani kamu selama proyek jadi kamu bisa belajar dari pengalaman Felice. Oh ya, saya minta kamu untuk tetap mengirim laporan progress rutin lewat email. Mengerti?”

Aku mengangguk sembari mencatat arahan Bu Eri dalam notebook putihku. “Bu, untuk tim proyek ini bagaimana?”

“Kamu bisa langsung bertemu anggota tim di rapat hari ini. Actually, in a few hour. Kamu bisa cek email untuk detailnya,” terangnya diikuti anggukan kepalaku lagi. 

Aku melingkari beberapa informasi penting termasuk reminder untuk memeriksa konfirmasi Dewi untuk penyesuaian kontrak penulis yang seharusnya sudah masuk ke emailku setelah naskah dikonfirmasi Bu Eri lewat website. Bu Eri menyemangatiku sekali lagi sebelum pergi untuk rapat dengan penulis lain.

Kak Felice menghampiriku setelah aku kembali ke mejaku. “Congrats, Ami! Gue salah satu pendukung naskah lo diterbitkan.”

“Thanks, kak. Kenapa kakak jadi mendukung naskah pilihan saya?”

Ia berpikir sejenak. “Gue suka premisnya. Perempuan desa yang dipaksa menikahi tuan tanah, dipaksa merubah penampilannya menjadi standar tuan tanah itu termasuk merubah warna rambutnya menjadi pirang, dan mendapati kenyataan kalau ia adalah istri kedua si tuan tanah. Tidak sampai disana ternyata si tuan menikah terus menerus sampai berhenti di istri keenam, karena ia telah terbunuh secara misterius. Nah perjuangan si istri kedua untuk mematik semangat para istri tuan tanah itu yang menjadikannya bak api harapan untuk mereka semua.”

“Keren. Kakak masih ingat semuanya?” Aku menatap mentorku kagum sekaligus terharu karena ia masih mengingat apa yang aku sampaikan saat pitching minggu lalu.

“Sudah kubilang gue pendukung berat naskah pilihan lo! Gue juga sudah ngobrol sama penulis waktu gue proses kontrak awalnya, sih. Orangnya kelihatan baik.” jawabnya terkekeh. “Oh ya, kita ke ruang rapat sekarang, yuk! Di Jane Eyre kalau ga salah, sepuluh menit lagi mulai.”

Lantas aku mengemas notebook dan kotak makan berisi churros ke pelukanku. “Saya boleh bawa snack ke dalam kan, kak?”

Sure. Nanti ada snack juga sih, tapi kalau lo mau bawa sendiri nggak apa,” jelasnya memimpin jalan ke ruang rapat tepat di sebelah meja tim pemasaran. “Omong-omong, makasi buat churros tadi pagi, ya. Enak banget.”

Anytime!” sahutku setelah duduk di samping kursinya yang dekat dengan pintu ruang rapat. 

Ia tersenyum ingin menambahkan, namun terpotong ketika pintu kaca ruang rapat berderit terbuka. Suara ribut dari orang-orang yang kuasumsikan adalah anggota tim proyek bersamaku memenuhi ruangan. “Lo lagi, lo lagi, Fel.”

Decakan kesal yang tidak sesuai dengan image mentor malaikatku ini terdengar keras. Sosok pria berambut ikal acak–seberantakan kaus polo dan celana jins hitam yang ia kenakan–terlihat menghempaskan tubuhnya di seberang meja oval tepat berhadapan dengan Kak Felice.

“Harusnya gue yang ngomong gitu, Li. Bosen gue proyekan bareng lo terus.” 

“Mau gimana lagi, desain Abang Ali ini selalu on point kan.”

Aku mengedarkan pandanganku dari mentor di sebelahku ke arah pria dengan tampang serampangan yang memanggil dirinya Ali itu. Is there a bad blood between them?

Kak Felice memutar matanya, lalu tersenyum jail. Ia kemudian mengalihkan perhatiannya padaku. “Maaf, Mi. Kamu kaget, ya?”

“Eh… Sedikit.” 

“Duh maaf, ya. Gue sama orang serampangan ini sayangnya adalah teman akrab dari SMA.”

Oh, pantas Kak Felice terlihat santai berbicara dengannya. 

“Enak aja manggil gue serampangan! Gue punya nama, ya! Ali Hernawan, alias Abang Ali.” protes Bang Ali sebelum beralih memandangku dan menjulurkan tangannya. “Anak baru, lo boleh panggil gue Abang kalau mau.”

Aku tersenyum menyambut uluran tangannya. “Almira, tapi bisa panggil Ami saja. Salam kenal, Bang Ali.”

Kami masih bertukar obrolan saat dehaman terdengar dari belakangku. Saat aku beradu pandang dengan mata hitam tidak bernyawa itu, aku mulai mempertanyakan apakah aku sedang sial atau malah beruntung. 

“Ribut seperti biasa, Li.” Aku mulai berasumsi kalau ia adalah titisan Jack Frost, karena suhu udara langsung turun saat ia memasuki ruang rapat. Bang Ali terlihat salah tingkah dan duduk di kursinya lagi diikuti dengan tiga orang lain yang baru memasuki ruangan.

Kak Felice tertawa pelan memecah keheningan. “Kaku seperti biasa, Rey.” 

Reynaldo mengarahkan pandangannya ke arahku dan Kak Felice lalu duduk di sebelah Bang Ali. “Langsung saja dimulai. Kita bisa perkenalan dulu sebelum tim editor seperti biasa memaparkan naskah untuk proyek kali ini.”

Suaranya terdengar berbeda setiap kali membicarakan pekerjaan. Aku mengingat lagi suara bisikan mengejeknya di rapat koordinasi pertama minggu lalu dan juga perubahan saat ia berbicara sekali lagi untuk mengajukan pertanyaan. Atau perbedaan suara pria di hadapanku ini hanya perasaanku saja?

Aku tersadar dari lamunanku saat merasakan sodokan di pinggangku. “Mi, perkenalan.”

“Eh…Oh, iya. Maaf.” Aku memperbaiki posisi dudukku sebelum menatap ke seluruh orang di ruang rapat. “Almira Pradnyani. Saya yang akan bertanggung jawab untuk koordinasi dengan Dewi Lilia selaku penulis Perempuan Berambut Api. Saya mohon kerja sama kakak sekalian di proyek pertama saya.”

Tepuk tangan memenuhi ruang rapat setelah aku selesai berbicara. Aku membalas mereka dengan senyum, kecuali untuk manusia di depanku ini yang hanya diam melipat tangannya di atas meja. Sejenak pandangan kami bertemu sebelum ia beralih ke perwakilan tim yang sedang memperkenalkan dirinya. 

Jangan bilang dia dendam karena tidak kebagian churros tadi pagi! Ujung kanan bibirku terangkat. It’s just getting started. Just you wait, Reynaldo.

Satu putaran perkenalan dari masing-masing anggota tim proyek selesai bersamaan dengan datangnya konsumsi camilan ke dalam ruangan. Aku lantas tersenyum melihat menu camilan di tengah meja rapat. Tuna puff yang gurih, bukan manis. 

1 poin untuk Ami dan 0 untuk Reynaldo.

Suasana ruang rapat berubah serius ketika aku mulai memaparkan naskah Dewi Lilia. Bahkan Bang Ali, yang saat perkenalan sibuk bertepuk tangan dan bercanda, duduk tanpa suara. Suara pensil bergesekan di atas kertas terdengar dari arah Bang Ali. Mungkin ia sedang membuat sketsa cover buku berdasarkan gambaran umum yang kusampaikan. 

Kak Felice memberikanku senyum untuk meredakan rasa gugupku. Senyum yang sama terlihat di wajah Fandi, copy editor yang akan banyak membantuku untuk memeriksa proses pengerjaan naskah penulis.

Mataku kemudian bertemu dengan Mirah yang duduk di kursi tengah. Perwakilan tim pemasaran itu terlihat asyik mengunyah tuna puff sambil mencatat selama aku memaparkan garis besar isi naskah dan target pembaca yang diharapkan penulis. Brian dan Vira di sampingnya memperlihatkan wajah serius mendengarkan penjelasanku. Vira beberapa kali menuliskan catatan di tabletnya saat kami berunding tentang jumlah buku yang harus dicetak. Beberapa kali Brian menanyakan tentang selling point dan memastikan genre buku untuk disampaikan ke kontak retailer yang dimiliki tim sales. 

Aku sempat mengira Reynaldo tiba-tiba menghilang dari ruangan karena ia tidak bersuara. Sayangnya saat aku mengalihkan pandangan ke kursi tepat di depan tempatku berdiri, pria itu masih berada di sana. Piring kertas berisi satu tuna puff belum ia sentuh sama sekali. Jarinya sibuk memilin gagang kacamata dengan pandangan fokus ke depan.

“Saya akan segera melakukan penyesuaian kontrak dengan penulis dan mengatur rapat bersama dalam minggu ini.” 

Aku menutup presentasiku dan kembali ke kursiku. Kak Felice mengacungkan jempol di bawah meja yang otomatis membuatku tersenyum lega. 

Rapat dilanjutkan dengan diskusi mengenai persiapan yang bisa dilakukan secara paralel. Tenggat waktu yang pendek membuat kami harus memaksimalkan setiap detiknya dengan baik. Dari daftar retailer untuk distribusi buku, target penjualan dan stok yang harus disiapkan, rencana promosi yang sementara menggunakan data historis dari buku kategori serupa sambil menunggu penyesuaian penulis, dan bentuk promosi ke media apa saja yang harus dilakukan. 

So far, so good. Aku rasa semua anggota tim proyek pertamaku bisa bekerja sama dengan baik. Meski pun aku terpaksa mengakui hal yang sama pada Reynaldo. 

Tepat saat kedua jarum jam menyentuh angka dua belas, rapat ditutup. Anggota tim lain terlihat mengambil tuna puff yang tersisa di atas meja sambil mengobrol. Sementara aku membuka kotak makanku sambil menatap perlahan ke arah Reynaldo yang masih menuliskan sesuatu di atas kertas. 

Seakan menyadari tatapanku, ia mengangkat kepalanya sedikit. Mataku bertemu dengan mata hitam tajam yang tersembunyi di balik bingkai kacamatanya. Aku tersenyum mengambil satu potong churros dan menggigitnya perlahan. Senyumku pasti terlihat menyebalkan karena pria itu langsung berdecak kesal hingga membuat adu argumen Bang Ali dan Kak Felice berhenti.

Mereka gantian melihatku dan Reynaldo. Aku hanya mengedikkan bahu tidak peduli dan lanjut mengunyah churros di mulutku. Ah, revenge is sweet.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Daybreak
3788      1657     1     
Romance
Najwa adalah gadis yang menyukai game, khususnya game MOBA 5vs5 yang sedang ramai dimainkan oleh remaja pada umumnya. Melalui game itu, Najwa menemukan kehidupannya, suka dan duka. Dan Najwa mengetahui sebuah kebenaran bahwa selalu ada kebohongan di balik kalimat "Tidak apa-apa" - 2023 VenatorNox
Dandelion
5835      1643     0     
Romance
Kuat, Cantik dan Penuh Makna. Tumbuh liar dan bebas. Meskipun sederhana, ia selalu setia di antara ilalang. Seorang pemuda yang kabur dari rumah dan memilih untuk belajar hidup mandiri. Taehyung bertemu dengan Haewon, seorang gadis galak yang menyimpan banyak masalah hidup.
Acropolis Athens
4792      1877     5     
Romance
Adelar Devano Harchie Kepribadian berubah setelah Ia mengetahui alasan mendiang Ibunya meninggal. Menjadi Prefeksionis untuk mengendalikan traumanya. Disisi lain, Aram Mahasiswi pindahan dari Melbourne yang lamban laun terkoneksi dengan Adelar. Banyak alasan untuk tidak bersama Aram, namun Adelar terus mencoba hingga keduanya dihadapkan dengan kenyataan yang ada.
Memories About Him
3692      1682     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...
Through This Letter (Sudah Terbit / Open PO)
4698      1393     0     
Romance
Dia—pacarku—memang seperti itu. Terkadang menyebalkan, jail, sampai-sampai buatku marah. Dan, coba tebak apa yang selalu dia lakukan untuk mengembalikan suasana hatiku? Dia, akan mengirimkanku sebuah surat. Benar-benar berbentuk surat. Di tengah-tengah zaman yang sudah secanggih ini, dia justru lebih memilih menulis sendiri di atas secarik kertas putih, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah a...
Marry
1250      626     0     
Fantasy
Orang-orang terdekat menghilang, mimpi yang sama datang berulang-ulang, Marry sempat dibuat berlalu lalang mencari kebenaran. Max yang dikenal sebagai badut gratis sekaligus menambatkan hatinya hanya pada Orwell memberi tahu bahwa sudah saatnya Marry mengetahui sesuatu. Sesuatu tentang dirinya sendiri dan Henry.
A Freedom
133      115     1     
Inspirational
Kebebasan adalah hal yang diinginkan setiap orang. Bebas dalam menentukan pilihan pun dalam menjalani kehidupan. Namun sayang kebebasan itu begitu sulit bagi Bestari. Seolah mendapat karma dari dosa sang Ayah dia harus memikul beban yang tak semestinya dia pikul. Mampukah Bestari mendapatkan kebebasan hidup seperti yang diinginkannya?
The Arcana : Ace of Wands
145      128     1     
Fantasy
Sejak hilang nya Tobiaz, kota West Montero diserang pasukan berzirah perak yang mengerikan. Zack dan Kay terjebak dalam dunia lain bernama Arcana. Terdiri dari empat Kerajaan, Wands, Swords, Pentacles, dan Cups. Zack harus bertahan dari Nefarion, Ksatria Wands yang ingin merebut pedang api dan membunuhnya. Zack dan Kay berhasil kabur, namun harus berhadapan dengan Pascal, pria aneh yang meminta Z...
Nyanyian Burung di Ufuk Senja
3239      1168     0     
Romance
Perceraian orangtua Salma membuatnya memiliki kebimbangan dalam menentukan suami masa depannya. Ada tiga pria yang menghiasi kehidupannya. Bram, teman Salma dari semenjak SMA. Dia sudah mengejar-ngejar Salma bahkan sampai menyatakan perasaannya. Namun Salma merasa dirinya dan Bram berada di dunia yang berbeda. Pria kedua adalah Bagas. Salma bertemu Bagas di komunitas Pencinta Literasi di kampu...
My Soulmate Coco & Koko
5458      1822     0     
Romance
Menceritakan Isma seorang cewek SMA yang suka dengan hewan lucu yaitu kucing, Di hidupnya, dia benci jika bertemu dengan orang yang bermasalah dengan kucing, hingga suatu saat dia bertemu dengan anak baru di kelasnya yg bernama Koko, seorang cowok yang anti banget sama hewan yang namanya kucing. Akan tetapi mereka diharuskan menjadi satu kelompok saat wali kelas menunjuk mereka untuk menjadi satu...