Almira
2480 kata, 10 naskah, dan mata memerah.
Perhitungan hasil kerjaku setelah 3 jam duduk di depan laptop. Aku baru saja membuka naskah selanjutnya dan otakku mengirimkan sinyal untuk beristirahat sejenak sebelum sel abu otakku terbakar.
Memang naskah yang dikirimkan hanya berupa sinopsis cerita dan 2 bab pertama novel, tapi rasanya kepalaku sudah penuh sesak dengan berbagai genre dan alur cerita yang baru saja aku baca. Belum lagi aku harus menentukan naskah yang menurutku berpotensi untuk diterbitkan.
Menurutku 10 naskah terakhir yang aku baca memiliki daya tarik mereka masing-masing dan layak untuk disebarluaskan. Aku menutup mata sejenak mengingat kembali arahan Kak Felice. “Saat kamu menemukan naskah yang tepat, tanyakan terus kenapa naskah itu layak diterbitkan. Apakah kamu sebagai pembaca tertarik untuk mengetahui bab selanjutnya dari naskah itu? Apa tema yang diangkat unik dibandingkan dengan buku lain di pasaran?”
Satu tab spreadsheet sudah terbuka dan aku segera mencatat poin penting dari tiap naskah yang sudah selesai aku baca. Aku kumpulkan juga bagian yang menurutku adalah kelebihan atau kekurangan dari tiap naskah. Rasa penat melihat layar sebelumnya hilang digantikan dengan adrenalin yang terpacu tinggi membuat jemariku menari tango di atas keyboard.
“Ami!” jeritan tertahan memanggil namaku membuatku kehilangan fokus. Aku mendongakkan kepala kesal ke arah suara dan menemukan wajah Andin di sampingku.
“Astaga, Andin!”
“Lo… Lo kerasukan, Mi?”
Aku memiringkan kepala bingung. Luna dan Nisa di belakang Andin pun hanya mengedikkan bahu dan menggelengkan kepala saat aku menatap mereka penuh tanya.
Melihat aku yang masih belum menjawabnya, Andin kembali memanggilku lebih histeris sampai karyawan lain di barisan meja kedua memandang kami aneh.
“Ami! Sadar, Mi!”
“Hey, what’s wrong?” Aku menangkap kedua bahu Andin menenangkannya.
“Lo nggak kerasukan, Mi?” Orang-orang yang lihat juga pasti berpikir anak ini yang kerasukan. “Lo tadi udah nggal berkedip, liatin layar laptop terus itu ngetiknya keras banget sampai nggak bisa dengar gue manggil lo. Gue kira lo kesambet.”
Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya yang random padahal kita baru berkenalan hari ini. “¡Ay, no! Asumsimu aneh, Din.”
“Baguslah! Gue hampir aja pingsan ketakutan kalau ternyata lo beneran kerasukan.” Ia menghembuskan napas lega. “Eh, iya hampir lupa. Kita mau kebawah buat makan siang, ikut yuk!”
Aku melirik ke pojok atas layar laptopku dan baru menyadari jam makan siang sudah dimulai setengah jam lalu. Lantas aku mengiyakan ajakan mereka dan mengeluarkan kotak makan kuning transparan dari totebag hitamku.
“Ternyata lo bawa bekal? Masak sendiri?” Andin menggandeng lengan kananku sambil menunjuk ke arah kotak makan siang yang kubawa. Aku mengangguk.
Rupanya Andin belum selesai membahas topik hidup mandiri, karena ia mulai berceloteh tentang kehidupannya di apartemen sendiri karena orangtuanya tinggal di Bogor. Obrolannya masih berlanjut sampai kami masuk ke dalam lift turun ke lantai ruang makan. Sementara Luna dan Nisa, yah, mereka hanya melirik sesekali ke arah Andin dan aku lalu fokus ke ponsel mereka lagi.
Sampai denting lift sampai di lantai 26 berbunyi, Andin baru selesai menceritakan tentang Ayah dan Ibunya yang sibuk bekerja sehingga tidak pernah membawa bekal sendiri. Sepertinya ia tipe yang suka berbicara tentang semua hal bahkan ke orang yang baru ia kenal.
“Eh, by the way, berarti lo nanti nggak ikut antri sama kita?”
“Oh, Aku…ikut antri juga.”
“Lho, terus kotak ini isinya apa?” Andin memandangku heran, begitu juga dengan Luna dan Nisa yang terlihat melirikku penuh rasa ingin tahu.
“Well, ini burrito. Aku bawa dua, sih. Tapi aku juga penasaran sama rasa menu makan siang hari ini,” jawabku santai. Porsi makan dua tortilla berisi daging ayam cincang, bawang bombay dan selada itu mungkin hanya bertahan sampai dua jam setelah mereka masuk ke perutku. Setidaknya aku harus makan nasi juga, kan?
Ketiga temanku masih terdiam memandangku horor sebelum Andin mulai terbahak. Di waktu yang sama pintu lift terbuka dan lenganku langsung ditarik menuju antrian katering di ruang makan.
“Wah… haha, keren juga porsi makan lo!” seru Andin menepuk pundakku dari belakang.
Yah, silahkan menyalahkan Abuela, alias nenek dari keluarga Papa, yang mencekoki aku dengan makanan tiap setiap dua jam sekali saat aku berkunjung ke rumahnya di Buenos Aires. Hasilnya kapasitas lambungku bertambah membuat Mama menyuruhku untuk rajin berolahraga, meski pun dia juga melakukan hal yang sama persis dengan Abuela.
“Memang aneh, ya?”
Andin menggeleng, “Nggak, malah kita jadi senang ngajak lo makan bareng. Kita terlalu sering bergaul sama perempuan fanatik diet, jadi porsi makanan mereka minim. Alhasil tiap kali kita hangout, gue minder gara-gara gue habis makan satu piring sedangkan mereka cuma habis setengahnya.”
Dua wanita di depanku juga mengangguk antusias membuatku menghela napas lega.
Luna berbalik ke arahku, “Pokoknya lo nggak usah sungkan makan banyak di depan kita. Hari ini gue berencana mau coba semua menu di katering kantor.”
“Me, too…” sahut Nisa yang sekarang sudah mengambil piring dan menyendok nasi dengan semangat. Sepertinya Nisa yang pendiam bisa berubah ceria di hadapan deretan lauk yang menggugah selera.
“Jangan terlalu banyak…” celetukanku membuat mereka melirikku kaget. Aku tertawa kecil melihat reaksi mereka, “Karena kalian juga harus coba burrito buatanku!”
“Ah, Ami! Jangan bikin kaget, dong!” rengek Andin diikuti dengan anggukan lega dua teman di depanku.
This is fun. Setelah dua tahun mendekam di rumah dan hanya melakukan pekerjaan freelance, interaksi dengan orang baru menjadi hal yang menyenangkan. Terutama kalau karakter kita sudah cocok, seperti yang aku rasakan terhadap tiga teman baruku ini.
“Woww! Ini enak banget, bumbunya meresap ke dalam dagingnya dan masih juicy, juga!” pekik Andin setelah ia melahap burrito yang sudah aku potong menjadi bites size.
Aku tersenyum bangga melihat ketiga temanku menikmati hasil masakanku. “Syukur deh kalian suka. Besok-besok aku bawain masakanku yang lain deh, tapi ya… aku bisanya yang simpel aja.”
Luna membelalakkan matanya. “Lo beneran masak sendiri?”
Aku mengangguk tersipu sambil memainkan garpu di atas piring yang tadinya berisi nasi rendang. Lantas mereka bersahut kagum dan memasukkan satu suapan burrito lagi ke mulut mereka.
“By the way, gue penasaran. Dilihat-lihat lo ini pengagum serba-serbi Latin ya? Dari Burrito terus beberapa kali gue denger lo bicara pakai bahasa asing yang gue assume kalau itu adalah Bahasa Spanyol.”
“Wow, observasi yang hebat sekali lagi, Din!” sahutku kaget dengan sisi observatifnya yang tidak terduga. “Tapi yang lebih tepat adalah aku keturunan campuran Argentina dan Bali makanya masakanku kebanyakan kena pengaruh nenek dari Papa.”
Mereka terdiam menganga. Kurasa fakta bahwa aku berdarah campuran bisa mengagetkan orang yang baru aku kenal. Mungkin karena aku sudah tinggal di Bali sejak lahir sehingga logat bicaraku lebih dominan menonjolkan logat Bali.
“Iya juga, dilihat-lihat wajah lo ada bule-bulenya gitu.” Andin mencondongkan wajahnya ke arahku. “Terutama dari warna mata lo … warnanya coklat terang. Gue kira lo pakai lensa kontak. By the way, Argentina itu di Amerika Selatan, kan? Tapi orang lokal di sana berbicara pakai bahasa Spanyol?”
“That’s right. Salah satu negara di Amerika Selatan yang tingkat imigrasinya tinggi sih, termasuk dari Italia dan Spanyol. Jadinya kebanyakan orang lokal pakai dua bahasa itu untuk sehari-hari, tapi yang paling lumrah sih pakai bahasa Spanyol.”
“Wow! Gue selama ini cuma tahu Argentina sebatas negara asal Lionel Messi!”
Kini, Luna dan Nisa juga ikut mendekatkan wajah mereka untuk melihat hasil temuan Andin. Seketika meja tempat kami makan berubah menjadi pusat perhatian lantai 26 dengan pandangan heran dari orang-orang di sekitar kami.
Aku mendorong mereka pelan hingga terduduk kembali. “Oke guys, observation time is over.”
“Tapi ini keren, Mi! Gue belum pernah ketemu teman blasteran Argentina.”
Aku menggelengkan kepala melihat Andin yang saking girangnya sampai suaranya memekik tinggi dan membuat penghuni meja di sebelah kami mendelik.
“Well… Selamat! Sekarang kamu punya satu, Din.”
“Din, lo ribut banget… Kecilin dikit bisa nggak suara lo?” protes Luna lalu menutup mulut Andin dengan tangannya. “Eh, gue juga kaget banget, sih. Gue kira lo Bali tulen.”
“Haha! sebenarnya aku lebih mirip Mama daripada Papa, kecuali warna mataku ini.”
Mereka kini ber-oh ria dan membuat penghuni sebelah sekali lagi berdecak kesal. Aku meringis mendengarnya. Sorry, I guess.
“Kita balik aja, yuk. Sudah hampir satu jam kita di sini.”
“Hah? Satu jam?” Andin mendelik menggebrak meja. “Mati gue, gue ada deadline!”
Aku mengikuti Andin berjalan cepat menaruh piring kotor di dekat tempat sampah pojok ruangan. Luna menyusul ke sebelah Andin dan Nisa masih berjalan santai di belakangku.
“Lo ada deadline apaan?”
“Progress kerjaan gue, lah!” sahut Andin panik menekan tombol lift naik. “Mentor gue orangnya perfeksionis banget. Segala progress kerjaan anak baru juga harus dicek. Tertekan banget gue, padahal baru hari pertama.”
“Ya, wajar lah. Dia kan mau lihat seberapa ngerti lo sama pengarahan dia,” tukas Luna acuh diikuti anggukan Nisa. Andin menggeram pelan lalu masuk ke dalam lift.
Melihat wajah tertekan Andin, aku bersyukur mentorku tidak seekstrim mentornya.
***
“Ami, kita ada meeting koordinasi untuk proyek buku fiksi dengan semua tim hari ini. Kalian anak baru bisa ikut ya supaya lebih ngerti flow kerja kita.” Kak Felice mampir di meja kerjaku untuk menyampaikan informasi rapat sambil menaruh sekantong permen bulat warna-warni di atas mejaku. “Nih, buat lo. Welcome gift dari gue biar lo semangat kerja.”
“Thank you, Kak.” Aku melihatnya dengan mata berbinar. Mentorku yang satu ini sudah terlihat seperti malaikat dengan cahaya melingkar di atas kepalanya.
“Sure! Rapatnya sepuluh menit lagi di Ruang Melville. Bisa tolong sampaikan ke teman lo yang lain juga ya.”
“Oke, Kak!” jawabku semangat membuatnya tertawa geli dan kembali ke meja kerjanya di baris ketiga sejajar berhadapan denganku.
Segera aku mengetuk pundak orang di sebelahku–yang sayangnya belum aku ketahui namanya–lalu segera menyampaikan informasi rapat yang sebentar lagi akan dimulai itu.
Setelah memastikan informasi sudah tersampaikan ke semua penghuni meja baris kedua, aku pun mulai menyiapkan notebook dan alat tulis. Siapa tahu ada hal baru yang bisa aku pelajari nanti.
Aku melirik ke arah Luna di meja seberangku. Memberikan sinyal untuk segera bangun dan masuk ke ruang rapat yang untungnya diterima dengan baik olehnya. Ia pun mengangguk ke arah Nisa lalu melambaikan tangan agar Andin melihatnya dan berdiri bersamaan. Sementara aku memandang heran variasi sinyal yang mereka gunakan sebelum akhirnya ikut berdiri dan berjalan ke Ruang Melville.
Ruang Melville adalah ruang pertama dari jajaran ruang rapat. Ruangan yang menggunakan nama pengarang Moby Dick, Herman Melville, ini memiliki kapasitas yang paling besar sesuai dengan gambaran paus di karyanya itu. Satu meja oval berwarna putih besar berada di tengah ruangan dengan kursi yang mengelilinginya. Lalu di belakangnya juga terdapat dua baris kursi lagi yang aku asumsikan adalah tempat untuk para karyawan baru duduk.
Para ketua tim–asumsiku karena Bu Eri duduk di sekitar mereka–sudah menduduki kursi yang mengelilingi meja. Aku pun segera mengajak tiga orang yang sedang mengekor di belakangku untuk duduk di baris kedua sejajar dengan tempat ketua tim kami duduk.
Suhu di sekitarku mendingin membuatku merekatkan balutan blus abu yang sebenarnya terlalu tipis untuk membantu. Baru saja aku ingin mengusulkan untuk pindah agak menjauh dari pendingin ruangan yang berada tepat di sebelahku, gerombolan karyawan lain masuk dan memenuhi kursi di sekitarku.
“Selamat siang. Rapat akan saya mulai sekarang.” Pupuslah harapanku untuk pindah dari tempatku sekarang. Aku pun menyisipkan telapak tanganku di antara bantal kursi dan pahaku. Lalu menggerakkan pelan tubuh bagian atasku ke kanan lalu kiri. Solusi terakhirku untuk menghangatkan tubuh.
Bu Eri memulai rapat dengan menjabarkan daftar penulis fiksi yang baru saja diakuisisi dan naskah yang masih dalam proses untuk diterbitkan. Ia kemudian juga meminta rangkuman progress dari tim desain grafis untuk jumlah illustrator in-house yang bisa dipakai di proyek beberapa bulan kedepan dan tim pemasaran untuk rencana budget promosi buku. Beberapa kali ia mencatat penyampaian dari perwakilan tim sebelum melanjutkan pembicaraan tentang target jumlah naskah baru yang akan menjadi proyek selanjutnya untuk tiga bulan kedepan. Aku berusaha mengingat apa yang Bu Eri sampaikan. Berhubung tanganku hampir membeku tiap kali mencoba menulis topik yang dibicarakan dalam rapat.
“Hey, you okay?” suara bisikan terdengar dari baris kursi di depanku mengalihkan fokusku dari rapat. Aku mendongak namun langsung menunduk kembali setelah melihat pemilik suara. Ah, harusnya aku sudah sadar dari suara bisikannya yang terdengar familiar itu. Reynaldo.
“S…sa…saya tidak…apa.” Suara gemeretak gigiku terdengar di sela jawabanku.
Ia mengangkat satu alisnya mempertanyakan jawabanku tadi. Yah, kalau pun aku menggigil di tengah kutub utara, aku tidak akan pernah mengakuinya di hadapan pria ini. Aku tidak perlu bantuan apa lagi rasa kasihan darinya.
“Lo mau gantian tempat duduk?” bisiknya lagi.
Aku menggeleng dengan kepala tertunduk. Masih berusaha untuk menghindari tatapan matanya. Lalu aku mendengar dehaman dan suara gesekan pakaian di bantal kursi. Sepertinya dia sudah kembali menghadap ke depan, simpulku lalu perlahan mengintip ke depan. Benar saja, pria itu sudah kembali duduk bersandar di punggung kursinya dan asyik mengetik di ponselnya. Sekali lagi aku menyadari lebar bahunya yang membuatku tidak bisa melihat leluasa kedepan. Coba saja kalau dia tidak menyebalkan.
Rapat masih berlangsung dan aku tetap menggigil. Meski tidak separah sebelumnya yang aku asumsikan karena tubuhku sudah beradaptasi dengan suhu ruangan ini. Aneh, aku juga merasa tidak ada angin lagi yang berhembus dari pendingin ruangan di sebelahku. Namun segera kugubris karena mungkin itu semua hanya perasaanku karena terlalu lama terpapar dingin.
Aku kembali mendengarkan perwakilan tim pemasaran yang memaparkan laporan budget pemasaran untuk proyek promosi buku fiksi beberapa bulan terakhir yang mendasari target mereka untuk proyek selanjutnya. Lalu dilanjutkan dengan rencana tim PR yang tidak terlalu aku perhatikan karena fokusku teralihkan dengan usahaku untuk menghangatkan diri. Untungnya setelah itu pemaparan tim sales dan distribusi serta produksi tidak terlalu panjang sehingga memperpendek alur rapat.
“Baik, teman-teman. Apa ada yang masih kurang jelas atau perlu ditambahkan?” tanya Bu Eri yang baru aku sadari adalah pemimpin rapat hari ini.
Semoga tidak ada yang bertanya. Semoga rapat segera selesai dan aku bisa keluar dari ruangan dingin ini. Aku berdoa mencakupkan kedua tangan di depan wajahku.
Suara dehaman terdengar. Dekat sekali dari tempat aku duduk hingga membuatku menatap ke depan. No way! “Ya, Reynaldo?”
Pria tidak peka di depanku ini masih sempat melirik ke belakang dan menarik ujung bibirnya ke atas. Kedua tanganku sudah mengepal menahan dorongan untuk menarik kepalanya ke belakang. Jadi dia mau bermain-main di atas penderitanku?
“Saya pikir rencana podcast dari tim PR belum disampaikan. Seingat saya beberapa buku yang release di bulan ini akan melakukan publikasi melalui podcast.”
Bu Eri menepuk dahinya tersenyum. “Oh iya! Thank you for the reminder, Rey.”
Rapat dilanjutkan kembali membahas pertanyaan Reynaldo. Aku mendengus kesal karena yang ia tanyakan ternyata bukan pertanyaan asal untuk membuatku kesal. Kedua tangan yang tadinya aku cakupkan di depan wajahku kutarik mendekat ke bibirku dan mulai meniupkan udara hangat dari napasku.
“Masih bisa tahan?” bisik pria itu kini dengan nada mengejek berbeda dengan suara kaku dan berat saat ia bertanya tadi. Ia tersenyum menantang sebelum kembali memandang ke arah depan.
Oh jadi pria ini ingin menantangku. Fine, try me!