Rumah di jalan Ikan Patin itu diselimuti rasa duka. Bendera kuning dipasang di atas pagar. Banyak orang berpakaian hitam-hitam mengunjugi rumah bernomor 4 tersebut. Terlihat 1-2 ucapan bela sungkawa berbentuk karangan bunga berbaris rapi di sepanjang depan rumah. Tenda yang biasanya dipakai untuk acara pernikahan dipasang di depan garasi rumah untuk para pelayat berteduh. Tidak sedikit orang-orang yang duduk di dalam tenda menangis sambil mengusap air matanya. Itu karena Bu Lastri adalah orang yang sangat baik dan juga sosok yang bersahabat kepada siapa saja.
Almarhumah Bu Lastri selalu perhatian kepada tetangga-tetangganya. Tidak hanya kepada warga di sekitar rumahnya, kerabat jauh maupun dekat tidak lupa beliau pedulikan. Kepada tetangga dan kerabat saja beliau perhatikan dengan sangat, apalagi terhadap keluarganya. Sayangnya, beliau meninggalkan dua orang belahan hidupnya untuk kembali ke sisi-Nya.
Hari sudah gelap dan terlihat seorang lelaki tua renta menyalami satu-persatu pelayat yang berniat untuk pulang. Setelah semua tamu sudah pulang, lelaki tua itu berjalan pelan menuju barisan tempat duduk di bawah tenda. Beliau disana hanya duduk termenung dengan kepala tertunduk. Lelaki itu bernama Pak Bagus, suami sekaligus belahan hati pertama Bu Lastri.
Tidak lama berselang, seorang laki-laki menghampiri Pak Bagus yang sedang duduk sambil mengusap punggungnya. Dengan suara pelan, dia mengajak ngobrol Pak Bagus.
“Yuk masuk Pak. Malem-malem gini di luar gak bagus buat kesehatan bapak.” Laki-laki itu adalah Angkasa, putra satu-satunya dari pasangan Pak Bagus dan Bu Lastri, sekaligus belahan hati kedua Almarhumah.
“Iya bentar ya Sa. Ibumu mungkin sebentar lagi pulang. Biasanya kan ibumu jam segini ngaji di masjid depan komplek.” Kata-kata yang terucap dari mulut Pak Bagus sempat membuat kaget Angkasa.
Dengan nada pelan, Angkasa membalas ucapan ayahnya “Pak ibu udah gak ada. Ibu udah pulang ke rahmatullah.”
Mendengar ucapan Angkasa, Pak Bagus tersadar dan beranjak dari kursinya. Dengan berjalan pelan masuk ke dalam rumahnya, Pak Bagus diikuti Angkasa sambil merangkul pundak ayahnya tersebut.
Tidak heran Pak Bagus bereaksi seperti itu. Beliaulah orang yang paling terguncang karena kepergian Bu Lastri. Cinta sejati yang menemaninya selama hampir 50 tahun itu pergi dan tak akan pernah kembali. Selama di rumah sakit, Pak Bagus tidak pernah meninggalkan Bu Lastri lebih dari 6 jam. Selama di rumah sakit, Pak Bagus tidak bosannya menggenggam tangan Bu Lastri yang terbaring lemas di atas kasur. Pensiunan akuntan itu siang dan malam berada di rumah sakit setiap hari demi menunggu kesembuhan cinta sejatinya.
Di dalam rumah pun Pak Bagus hanya bisa terbaring di atas kasur sambil melamun melihat langit-langit kamar. Angkasa yang melihat kondisi ayahnya itu hanya bisa pasrah karena tidak ada yang bisa dia lakukan. Dari belakang, seorang wanita menyapanya.
“Mas, bapak enggak kenapa-kenapa kan?” kata wanita itu kepada Angkasa. Wanita itu adalah Rani, istri dari Angkasa.
“Insyaallah gak kenapa-kenapa. Ya walaupun keadaan bapak sekarang lebih parah dari kemaren-kemaren. Ya kita berdoa sajalah Ran.” Jawab Angkasa kepada Istrinya.
“Pah eyang kok diem aja di dalem kamar? Sakit ya?” ujar Rangga, bocah berusia 5 tahun sekaligus anak dari Angkasa dan Rani.
“Rangga, eyang lagi sedih. Eyang juga lagi capek. Jadi jangan diganggu dulu ya.” Dengan nada lembut Angkasa mengajak Rangga untuk tidak mengganggu eyangnya.
“Yaahhh padahal udah lama pah eyang enggak main sama Rangga.” Mendengar kata-kata polos Rangga, Angkasa hanya bisa tersenyum melihat anaknya yang sedikit cemberut.
Sebelum Bu Lastri jatuh sakit, Pak Bagus selalau menemani cucunya Rangga bermain. Mulai dari mengajak jalan-jalan sampai bermain sepak bola di halaman belakang. Karena mereka semua tinggal dalam satu rumah, maka waktu bermain Rangga bersama kakeknya selalu tersedia. Namun, semua pun berbalik 180 derajat sejak Bu Lastri masuk rumah sakit.
Selama 40 hari meninggalnya Bu Lastri, keadaan Pak Bagus tidak kunjung membaik. Kegiatannya di rumah hanya duduk termenung di teras rumah. Hobinya yang setiap pagi membaca koran di teras tidak beliau lakukan. Beliaupun hanya diam termenung saat diajak main oleh cucunya Rangga. Di kamar pun beliau hanya melihat foto saat Bu Lastri masih muda. Terlihat sekali betapa kehilangannya Pak Bagus terhadap meninggalnya sang istri tercinta.
Hari itu di rumah Pak Bagus sedang diadakan 40 hari meninggalnya Almarhumah Bu Lastri. Dengan baju muslim berwarna putihnya, Pak Bagus terlihat melamun sambil membaca surat-surat Yasin bersama-sama dengan tetangga dan para kerabat. Melihat keadaan ayahnya tersebut, Angkasa semakin khawatir.
Keesokan harinya, saat Angkasa masih di kantor, tiba-tiba handphonenya berdering. Yang membuat Angkasa kaget adalah yang meneleponnya adalah ayahnya, Pak Bagus. Dengan penuh rasa khawatir Angkasa dengan segera mengangkat telepon dari ayahnya tersebut.
“Ada apa Pak kok nelfon Angkasa?”sambil berdiri dengan suara cemas dia menjawab telepon dari Pak Bagus.
“Ibumu Sa, ibumu lagi sama bapak di ruang tamu ini. Kamu cepetan pulang sekarang.” Dengan suara yang terdengar senang Pak Bagus menelpon anak tunggalnya tersebut.
Dari posisi yang tadi berdiri karena cemas, sampai posisi duduk karena lemas. Angkasa merasa bingung dengan ucapan dari ayahnya. Tidak mungkin ibunya yang sudah 41 hari meninggalkannya saat ini berada di ruang tamu rumahnya, bahkan di ruang tamu itu bersama ayahnya. Dari nada senang Pak Bagus, Angkasa yakin kalau ayahnya tidak berbohong. Dimulailah realita membingungkan berkecamuk di dalam kepala Angkasa.
Dengan segera Angkasa pulang lebih cepat dengan alasan ayahnya jatuh sakit. Sambil menyetir mobil dia menelpon Rani yang saat itu sedang ada di rumah. Dia menanyakan kepada Rani apakah ada ibunya di ruang tamu. Jawaban Rani malah lebih membingungkan Angkasa. Rani mengatakan kalau di ruang tamu Pak bagus sedang asyik berbincang dengan seorang gadis muda. Mendengar hal tersebut, hampir saja Angkasa menabrak tukang becak yang melintas.
Sesampainya di rumah, buru-buru saja Angkasa masuk ruang tamu dan membiarkan mobilnya terparkir di depan rumah. Dengan keadaan pintu ruang tamu terbuka, ia melihat ayahnya bersama seorang gadis. Mereka pun terlihat asyik mengobrol. Setelah sedikit mengobrol dengan gadis itu, Angkasa masuk ke dapur. Rani yang menunggu Angkasa di dapur pun bertanya-tanya.
“Mas siapa cewek itu mas? Kok akrab banget sama bapak dia.” Tanya Rani kepada suaminya.
“Jangan kaget ya Ran, dia itu ibu.” Jawab angkasa dengan suara dan nada yang pelan.
“Ibu waktu masih muda, persis banget sama cewek itu. Inget foto ibu masih muda yang sering dilihat bapak? Persis banget sama di foto itu.” Tambah Angkasa.
Rani hanya bisa diam mendengarnya. Dengan ekspresi bingung itu ia bertanya kepada Angkasa “Tapi mas percaya kalo cewek itu ibu?”
“Enggak lah Ran. Kalo cewek itu kesini buat manfaatin situasi, kita turutin aja maunya. Kalau mau uang, kita kasih saja. Kondisi bapak juga lagi rapuh. Jadi kita lihat aja nanti dia mau ngapain.” Jawab Angkasa dengan dengan penuh rasa tidak percaya.
Tidak lama berselang Pak Agus menghampiri Angkasa dan Rani yang ada di dapur. Beliau berniat mengajak gadis itu untuk pergi ke taman dekat rumah mereka. Karena di taman itulah, Pak Agus dan Bu Lastri sering menghabiskan sore hari mereka.
Karena khawatir dengan ayahnya dan curiga terhadap gadis itu, Angkasa memutuskan untuk ikut mereka berdua.
Selama berjalan kaki menuju taman, senyum gadis itu membuyarkan rasa curiga Angkasa. Angkasa yang awalnya tidak mempercayai gadis itu, sekarang sedang memasang wajah senyum kepadanya. Gadis itu benar-benar mengetahui hal-hal kecil yang hanya diketahui oleh Bu Lastri. Mulai dari kebiasaan jelek Angkasa waktu kecil, sampai siapa pacar pertamanya. Sore itupun mereka bertiga lalui dengan wajah bahagia di sebuah bangku taman. Di bangku taman dengan suasana sore hari itu, nampak sebuah keluarga kecil sedang bereuni kembali setelah 40 hari.
Hari mulai gelap, mereka bertiga pun beranjak pulang. Sesampainya di rumah, Rani dan Rangga menunggu mereka bertiga di teras. Rani merasa lega karena melihat Angkasa memasang senyum di wajahnya. Itu pertanda kalau Angkasa tidak lagi mencurigai gadis tersebut.
“Ran, tinggalin bapak sama cewek itu berdua ya. Mereka mau bernostalgia.” Bisik Angkasa kepada Rani.
“Kita ajak jalan-jalan Rangga ke mall aja mas.” Saran rani.
“Tapi ga apa-apa mas ninggilan bapak sama cewek itu berdua di rumah?” tambahnya.
Sesaat Angkasa terdiam, dan menoleh ke arah Pak Bagus dan gadis itu di ruang tamu. Sambil menoleh ia berkata “Enggak apa-apa kok, dia itu ibu.”
Tidak lama setelah Angkasa dan keluarganya pergi, Pak Bagus mempersiapkan sesuatu. Beliau mengambil sebuah radio dan sebuah kaset dari kamarnya. Dengan meminggirkan sedikit meja dan sofa di ruang tamu, terciptalah sedikit ruang kosong disana. Pak Bagus memasukkan kaset dan menyalakan radio tersebut. Mereka berdua di ruang tamu itu saling memeluk dengan posisi dansa. Satu tangan mereka saling berpegangan dan tangan lainnya saling merangkul. Radio itu memutar lagu dari seorang Ruth Sahanaya berjudul “Andaikan Kau Datang Kembali”.
Sambil lagu itu mengalun indah dengan nada pelannya, mereka berdua berdansa sambil mendengarkannya. Lagu dari Ruth Sahanaya itu adalah lagu favorit dari Bu Lastri. Raut wajah Pak Bagus terlihat senang namun juga terlihat tenang. Sambil berdansa gadis itu membisikkan sesuatu ke telinga Pak Bagus.
“Mas Bagus, sebentar lagi aku mau balik. Mas Bagus enggak usah ingat aku terus. Sekarang Mas Bagus sudah punya Rangga, Angkasa, dan Rani. Hidup Mas Bagus pasti lebih baik lagi. Ikhlasin ya mas.” Mendengar ucapan gadis tersebut, Pak Bagus semakin erat memeluknya dan tetesan air matapun mengalir dari matanya.
Sepulang dari mall, Angkasa melihat kalau gadis itu sudah tidak ada di rumah. Pak Bagus pun tidur di kamarnya sambil memeluk foto Bu Lastri. Pak Bagus tidur lelap dengan senyum merekah di wajahnya. Melihat hal itu Angkasa merasa senang.
Keesokan paginya, Pak Bagus tidak lagi melamun seperti hari-hari kemarin. Pagi hari itu tiba-tiba Pak Bagus menghampiri Rangga yang sedang sarapan di meja makan.
“Rangga, hari ini ke sekolahnya eyang yang anter ya.” Dengan wajah senyum Pak Bagus sedikit membungkuk untuk melihat dengan dekat wajah Rangga. Rangga yang sangat senang diantar sekolah kakeknya itu hanya menganggukan kepalanya saja.
Rani dan Angkasa yang berada di meja terlihat tersenyum. Melihat Pak Bagus kembali seperti dulu membuat mereka merasa senang, dan dari lubuk hati mereka berterima kasih kepada gadis misterius tersebut.
Namun, kejadian itu sudah 3 tahun berlalu. Angkasa bersama keluarganya di siang hari yang cukup terik itu sedang berdiri di sebuah pemakaman. Terlihat di batu nisan makam itu tertulis Lastri Suryodjo. Tetapi hari itu Angkasa tidak melayat ke 1 makam saja. Di sebelah makam Bu Lastri ada makam baru yang batu nisannya tertulis Bagus Suryodjo.
Pak Bagus telah beristirahat selamanya. Kini Pak bagus sedang menemani Bu Lastri di atas sana. Angkasa bersama Rani dan Rangga sedang berziarah ke makam Pak Bagus beserta makam Bu Lastri. Dan di hari itu adalah 40 hari meninggalnya Pak Bagus.
Sebelum pulang, Angkasa melihat seseorang memakai payung hitam yang berdiri agak jauh dari makam Bu Lastri dan Pak Bagus. Tiba-tiba Angkasa menghampiri orang tersebut. Angkasa ternyata mengenal baik orang itu.
“Terima kasih atas 3 tahun yang lalu.” Setelah berterima kasih, Angkasa dan keluarganya berbalik menuju mobil. Sambil melihat mereka berjalan menuju mobil, orang itu tersenyum manis. Orang itu adalah seorang gadis yang memakai pakaian perawat. Ditangannya sedang menggenggam seikat bunga anggrek yang sangat indah dan harum. Ya, gadis itu sangat mirip dengan Bu Lastri.