"Bang Rekal abis dari mana?" tanya Reva yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Rekal.
Rekal yang sedari tadi sedang memperhatikan obat di tangannya pun langsung terkejut.
"Reva? Kenapa kamu gak ketuk pintu dulu, sih?" tanya Rekal yang agak risih.
Reva pun cengengesan, "Maaf bang... Reva mau cepet-cepet menghindar dari mamah, makanya langsung masuk ke kamar abang tanpa ketuk dulu."
Rekal pun mengangguk dan langsung melempar obatnya ke bawah kolong tempat tidur dengan gerakan yang cepat sembari berbicara dengan Reva agar Reva tidak curiga.
"Owh gitu. Emang mamah kamu itu kenapa lagi?"
Reva mendengus, "Aku di suruh ikut pergi arisan nanti malam sama mamah. Ya aku nggak mau lah, males, banyak ibu-ibu rempong yang memamerkan kekayaan mereka."
"Bener tuh, padahal yang kaya kan suaminya, merekanya mah cuman kecipratan aja," ucapnya sembari tertawa hambar.
Reva terdiam. Ia berpikir kalau mamah nya juga termasuk.
"Mamah aku juga kayak gitu ya, bang?"
"Menurut kamu?" ucap Rekal yang bertanya balik, "Tanpa perlu abang jawab, kamu pasti udah tau jawabannya, kan?"
Diam. Reva mendadak diam. Dan pada akhirnya, Reva berjalan mendekati Rekal.
"Abang"
Rekal hanya menaikkan kedua alisnya sembari memegang ponsel.
"Reva minta maaf karena kelakuan mamah yang jahat banget sama keluarga ini. Jujur, Reva juga kaget setelah tau ini semua sendiri. Reva ngerasa bersalah sama abang, karena mau bagaimana pun, Reva ini anak kandung mamah Reva yang abang benci." ucap Reva panjang lebar.
Rekal yang mendengar permintaan dari Reva pun terkejut.
"Hey.. kenapa Reva yang minta maaf? Kan Reva nggak salah, yang salah itu mamah kamu, bukan kamu, Reva." jelas Rekal.
Reva menunduk malu sembari memainkan jari-jari nya.
"Justru itu. Karena Dia mamah Reva, makanya Reva minta maaf sama abang. Bahkan kayaknya nggak cukup kalau belum minta maaf sama Almh. mamah Abang."
Rekal menghela napasnya, "Denger ya Reva! Kamu itu nggak salah, kamu nggak pernah salah disini. Yang salah adalah papah abang dan mamah kamu. Jadi, kamu nggak perlu minta maaf dengan kesalahan yang di perbuat sama mamah kamu."
"Tapi bang, karena mamah Reva, abang sama papah gak pernah akur. Mamah Reva selalu menghasut papah supaya benci dan tambah nggak suka sama abang. Dan aku tuh malu banget bang. Aku nggak bisa berbuat apa-apa supaya hubungan abang dan papah baik-baik aja."
"Sebenernya sih tanpa di hasut mamah kamu juga papah udah nggak suka sama abang. Secara kan abang adalah penyebab mamah kandung abang meninggal saat melahirkan abang."
Reva menggeleng, "Abang gak salah. Harus berapa kali sih aku bilang kalau abang gak salah? Itu udah takdir, bang. Dan lagi pula sikap papah yang membenci abang nggak akan ada gunanya, karena itu gak akan bisa ngebuat mamah kandung abang hidup lagi."
Rekal mengangguk. Jujur, berat sekali jika harus mengungkit soal kematian mamahnya.
"Iya, kamu benar. Tapi, apakah papah berpikiran sama kayak kamu? Enggak, kan? So, nggak ada gunanya kamu ngomong itu ke abang. Kalau kamu berani, silakan sampaikan itu langsung ke papah."
"Itu masalahnya. Reva belum ada keberanian yang penuh untuk ngomong kayak gitu ke papah. Karena, di mana-mana selalu ada mamah di samping papah. Aku gak bisa ngomong berdua doang sama papah," ucap Reva.
"Dan lagi pula, Reva nggak deket sama papah. Jadi susah buat ngomong," lanjutnya.
"Ya udah, gak usah ngomong. Lagian gak ada gunanya kamu ngomong kayak gitu ke papah."
"Iya sih," ucap Reva yang mendengus.
Mereka kembali terdiam. Rekal yang sibuk dengan ponselnya sedangkan Reva yang sibuk dengan isi pikirannya.
Sampai akhirnya, Reva menatap Rekal yang terlihat berbeda.
"Kok abang hari ini kayaknya pucat banget?" tanya Reva.
Rekal yang di tanya seperti itu pun langsung terkejut dan berusaha untuk menetralkan jantungnya.
"H-hah? abang nggak apa-apa, kok."
Reva kembali melihat Rekal dengan seksama, "Tapi, kayaknya muka abang gak mendefinisikan baik-baik aja, sih."
"Ah cuman kecapekan, lagian abang mau istirahat nih, kamu malah masuk."
Reva langsung terkejut, "Hah? Reva ganggu dong? maafin Reva deh."
"Hmm"
"Ya udah, Reva ke kamar dulu. Kalau ada apa-apa, telepon Reva aja ya, bang." Setelah itu Reva pun langsung pergi dari kamar Rekal.
Rekal langsung beranjak dari kasur dan mengunci pintu kamarnya. Dan Ia langsung mengambil obat yang tadi Ia lempar ke bawah kolong kasur.
Lama Ia menatap obat itu.
"Gue minum obat atau enggak usah ya?" ucapnya bermonolog.
Rekal langsung memutar memori saat dokter itu berbincang dengannya.
"Penyakit kamu ini sebenarnya bisa saja sembuh. Asalkan papah kamu tidak melakukan hal yang sama lagi berulang kali."
Rekal langsung tertawa hambar, "Nggak ada gunanya gue hidup. Papah memang menginginkan gue mati, kan? Jadi, kenapa gue harus tetap hidup?"
Tapi, Rekal kembali ingat dengan Rara. Wanita yang sudah Ia jadikan sebagai rumahnya.
"Tapi, Rara gimana? Apa Rara bisa hidup tanpa gue?" ucapnya. "Ah, pasti bisa. Gue kan bukan siapa-siapanya."
Rekal sedang menghadapi masalah yang kelihatannya sangat rumit.
...
"Pokoknya gara-gara lo! Inget ya, gue gak mau lagi ngikutin rencana busuk lo itu." ucap Rere kepada seseorang yang berada di depannya.
"Why? cuman baru digituin aja udah nyerah." ucap wanita yang bernama Charmila.
Ya, sekarang sudah ada Rere, Mila dan Zia di sebuah cafe.
"Heh! awalnya gue ngikutin rencana busuk lo itu karena gue iri dengan kedekatan antara Rekal dan Rara. Tapi, setelah kejadian tadi pas di sekolah, gue langsung sadar kalau Rekal udah cinta mati sama Rara," ucap Rere.
"Dia masih aja mau ngejar Rara, padahal Rara itu udah mati rasa. Dan gue sadar kalau apa yang gue lakuin itu salah. Awalnya gue rasa ini jalan yang benar supaya gue dan Rekal bisa deket lagi kayak dulu. Tapi ternyata salah, gue akan berusaha untuk merelakan Rekal dengan orang yang dia cintai," lanjut Rere.
Mila langsung mengepalkan tangannya di bawah meja, "Gampang banget nyerah sih lo?"
"Bukan nyerah. Tapi, gue belajar ikhlas. Buat apa gue berusaha untuk dapetin Rekal, kalau Rekal aja suka sama wanita lain."
"Mencintai itu gak harus memiliki," lanjutnya.
"Gak usah sok-sok an ikhlas deh lo," ucap Zia.
"Heh tapal kuda! gue tau nih, kalian berdua sengaja ya bikin gue seolah-olah buruk di mata Rekal, supaya saingan kalian cuman Rara. Dan gue tau nih, kayaknya lo, Mil, suka ya sama Rekal?"
Mila langsung terdiam. Dan Rere menatap Mila tak percaya.
"Gila. Lo beneran suka sama Rekal?" ucap Rere yang tak percaya. "Jadi, lo sengaja jadiin gue sebagai kambing hitam? Biar gue keliatan buruk dan salah di mata Rekal, gitu?"
Rere sudah mulai naik pitam, "GILA LO BERDUA! GUE PIKIR, KALIAN MEMANG MAU BANTUIN GUE KARENA TULUS, TAPI TERNYATA ADA MAKSUD LAIN, YA?"
Mila dan Zia saling menatap. Mereka bingung harus jawab apa.
"Inget ya! gue memang awalnya ikutin rencana lo, tapi, sekarang nggak akan! Gue nyesel udah ikut rencana jahat kalian," ucap Rere.
"Dan inget ya! Kalau sampai lo ada niat jahat sama Rekal ataupun Rara lagi, gue nggak akan segan-segan buat bongkar kebusukan kalian berdua ke satu sekolah, PAHAM?!" lanjutnya.
Mila dan Zia langsung mengangguk pelan. Dan Rere pun langsung pergi meninggalkan mereka berdua.
"Gila, Rere galak juga," ucap Zia.
Zia pun langsung menatap Mila, "Lo kenapa?"
"Bener juga apa kata Rere, mencintai itu gak harus memiliki."
Zia pun terdiam.