Hanz menarik diri saat melihat Violet yang keluar dari rumah beratap genting berwarna merah itu. Entah kenapa, tubuhnya refleks bersembunyi di balik pepohonan yang ada di dekat jalan dan berusaha agar tidak terlihat oleh gadis itu. Padahal, sejak tahu alamat rumah kakek Violet, cowok itu menyiapkan diri untuk datang dan menyerahkan hadiah yang dibuatnya sejak berhari-hari lalu.
Violet jelas tidak ingin diganggu karena cewek itu tidak membalas pesan Hanz. Dia hanya menjawab singkat telepon Hanz dan Asami juga mengalami hal yang sama. Hanz sempat menghubungi Rosie dan gadis itu bilang kalau Violet memang tampak pendiam sejak pulang dari rumah sakit. Katanya, secara fisik Violet memang membaik tapi secara psikis, gadis itu belum pulih sepenuhnya. Violet masih menjalani konseling di rumah sakit dan kadang-kadang berjalan-jalan sendiri di sekitar rumah.
Sudah satu bulan sejak kejadian itu berlalu dan Asami membawa banyak perubahan saat menemukan pembuat dan penyebar video yang mempermalukan Violet. Banyak orang menghapus video itu dari akun media sosial mereka dan klarifikasi bantahan gosip menyebar di sana-sini, meninggalkan Casey dalam hujatan karena melakukan cyber bullying dan kejahatan siber. Hukumannya pun sudah diputuskan.
Selain skors dari sekolah, Casey diturunkan dari kandidat kontes Ratu Musim Semi tahun depan dan itu membuatnya meraung-raung. Tak cuma itu, Hanz mendengar dari teman satu geng yang menyebar gosip ke penjuru sekolah kalau uang saku Casey dipangkas separuhnya dan harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga selama dua bulan. Bahkan, pihak sekolah menyiapkan hadiah lain: membersihkan toilet sekolah saat cewek congkak itu kembali ke sekolah lagi.
Hanz bisa melihat banyak orang tersenyum puas. Casey memang bukan favorit di sekolah dan banyak yang sudah disakiti cewek itu. Sementara, Dave seperti tikus yang terpojok dan lebih banyak diam. Dia turut terseret dan proposal sekolahnya untuk mendaftar beasiswa universitas pun ditangguhkan. Hanz tak ambil peduli dan memilih menjaga jarak karena masih marah akan sikapnya.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Hanz?”
Suara itu nyaris membuat Hanz melompat kaget. Cowok itu menoleh dan mendapati Ms. Jane yang membawa kantong-kantong belanjaan. Wanita itu mengenakan kardigan berlapis mantel tebal dengan wajah dan hidung memerah karena udara dingin.
“Kenapa nggak langsung masuk? Violet ada di rumah, kok. Yuk,” ajak Ms. Jane dan Hanz tidak mampu menolak.
Pemuda itu bisa melihat pandangan Violet yang kaget sekaligus bertanya-tanya. Gadis itu mendadak bangkit dari kursi rotan dan menuruni tangga kayu perlahan. Tubuhnya dibalut selimut kotak-kotak tebal dan rambutnya tampak sedikit berantakan. Hanz lega karena Violet kelihatan jauh lebih baik dari yang terakhir dilihatnya di rumah sakit.
“Duduklah dan aku akan membuatkan minuman. Teh atau kopi?”
“Nggak perlu repot-repot, Ms. Jane.” Hanz melirik Violet dan mendadak merasa gugup. Violet, sebaliknya, kelihatan tenang meski tidak bisa menyembunyikan kekagetan.
“Kopi saja kalau begitu. Dan teh untukmu, Vi?”
“Makasih, Mom,” ujar Violet sambil mengawasi ibunya yang menghilang ke dalam rumah. Gadis itu kemudian menunjuk kursi, memberi isyarat pada Hanz agar pemuda itu duduk.
“Kenapa bisa tahu aku tinggal di sini?”
“Rosie yang kasih tahu,” sahut Hanz singkat sambil berusaha membuat dirinya nyaman di kursi rotan berlapis bantalan bersarung motif tribal warna hitam putih. Cowok itu bisa melihat bekas perban tipis yang dibebat pada lengan Violet. Hati Hanz mendadak perih, sadar kalau meskipun Violet tampak normal seperti gadis lainnya, dia sudah mengalami hari-hari berat sampai ingin mengakhiri hidup.
“Ah.” Raut Violet berubah seolah paham. “Ngomong-ngomong, makasih, ya. Rosie bilang kalau kamu juga datang ke rumah sakit menemaninya waktu itu.”
Hanz mengangguk lalu tidak ada yang bicara selama beberapa saat sampai Ms. Jane keluar dengan nampan. Wanita itu meletakkan cangkir-cangkir di meja, berbasa-basi sebentar dan segera masuk lagi. Seolah tahu kalau ada hal penting yang ingin dibicarakan tamu dan putrinya.
“Apa kamu sudah merasa lebih baik?” tanya Hanz setelah bimbang sejenak.
Violet tidak langsung menyahut. Gadis itu melipat kedua tangan di lutut dengan mata memandang lurus ke arah jalan. Tampak menerawang seolah sedang memikirkan sesuatu.
“Kenapa kamu peduli, Hanz?” tanya Violet kemudian. Suaranya terdengar datar dan tanpa emosi tapi justru itu yang membuat Hanz merasa kaget.
“Tentu saja karena kamu temanku,” jawab Hanz tanpa ragu. “Memangnya apa lagi?”
Violet mendengus lalu tertawa kecil. “Benarkah?”
Hanz terdiam dan mengamati Violet. Sekilas, gadis itu memang tampak baik-baik saja tapi dari sikap defensif dan mata yang enggan memandang Hanz, pemuda itu tahu kalau Violet masih merasa sakit hati dengan apa yang terjadi pada dirinya. Dijahati cowok yang disukai, dipermalukan teman-teman sekolah dan juga masalah dengan orang tua. Seorang remaja belasan tahun harus memikul semua itu. Tidak heran kalau Violet merasa tak tahan.
Hanz menarik napas panjang kemudian menarik benda dari dalam jaketnya. Violet mau tak mau menatap gelang yang dikeluarkan cowok itu. Gelang kulit berbentuk kepang dengan bandul perunggu berbentuk kupu-kupu yang cantik.
Perlahan, Hanz berpindah lebih dekat ke Violet dan diam-diam lega karena cewek itu tidak menjauh. Hanz membuka pengait gelang dan menarik lengan Violet dengan lembut. Pemuda itu memasangkan gelang dan menatap mata Violet yang menyorot hampa.
“Apa kamu nggak mau bertahan meski hanya ada satu orang yang menginginkanmu tetap hidup?” tanya Hanz, kembali menunduk dan melihat bandul itu berguling di atas bekas-bekas luka. Beberapa tampak jelas, sementara yang lain halus. Hanya Violet dan Tuhan yang tahu, berapa kali sudah gadis itu jatuh terpuruk dan berusaha untuk bangkit sendirian.
“Apa?” Violet mendongak dan akhirnya melihat Hanz.
“Kamu itu berharga dan pantas untuk bahagia,” ujar Hanz lagi. “Jadi, jangan berpikir untuk bunuh diri lagi. Nggak ada seorang pun yang sendirian di dunia ini. Nggak ada yang pernah benar-benar sendirian.”
Violet menunduk dan melihat gelang yang kini melingkari tangannya. “Benarkah begitu? Tapi kenapa aku selalu merasa kesepian?”
Hanz mengembuskan napas pelan. “Itu karena kamu nggak jujur pada diri sendiri. Kamu selalu sibuk menganggap dirimu nggak berarti sampai-sampai nggak memperhatikan sekitar. Seperti sekarang. Kamu pikir, kenapa aku mau repot-repot datang ke sini?”
“Kenapa memangnya?”
“Karena aku menyukaimu, tentu saja,” Hanz bisa merasakan wajahnya memerah saat mengatakan itu.
“Begitu?” Violet tersenyum tipis, tapi wajahnya kembali muram. “Sampai berapa lama?” lanjut gadis itu dengan nada letih. “Sampai berapa lama perasaan itu bertahan, Hanz?”
Hanz terlalu kaget saat mendengar Violet bertanya seperti itu dan terdiam. Violet menggelengkan kepala kemudian bangkit dari kursi. Cewek itu memegang gelang di pergelangan dan tersenyum. Senyum yang bagi Hanz tampak seperti dipaksakan.
“Maaf, Hanz. Aku yang sekarang ini nggak bisa percaya pada perasaan seperti itu. Orang tuaku juga pada awalnya saling cinta tapi apa yang terjadi? Mereka saling menyakiti dan pada akhirnya juga melukai anak-anak mereka. Ayahku menolak kehadiranku padahal dia seharusnya jadi lelaki nomor satu yang paling sayang padaku. Bagaimana aku bisa percaya pada hati manusia yang mudah berubah?”
Hanz beranjak dari kursi dan nyaris terantuk meja ketika berusaha menghadang Violet yang membuka pintu rumah. Ekspresi Violet yang terluka membuat hati Hanz merasa perih sekaligus tidak adil.
“Vi, aku tahu kamu mengalami hal yang berat dan untuk itu, aku ingin berada di sampingmu. Begitu juga dengan Asami. Kami benar-benar ingin berbagi suka dan duka denganmu.”
Sejenak, Violet mematung. Lalu gadis itu berpaling dan wajahnya tampak sedih. “Aku berterima kasih, tapi itu mungkin sia-sia saja.”
Kening Hanz berkerut. “Apa maksudmu?”
“Segera setelah aku pindah dari negara ini, kalian mungkin akan melupakanku.”