Violet mengernyitkan kening saat mendapati mobil ayahnya ada di halaman. Tidak biasanya lelaki itu ada di rumah pada saat makan siang. Sekalipun pekerjaannya tidak terpaku pada jam kantor, Mr. Moon biasanya makan siang di luar atau bermain golf bersama klien sebelum petang.
“Kenapa?”
Hanz berhenti di belakang Violet yang mendadak terpaku di jalan masuk rumah. Violet berpaling dan menggeleng. “Nggak ada apa-apa. Mau mampir? Aku bisa membuatkan kopi.”
“Aku harus kembali ke sekolah. Mungkin lebih baik aku mencari tahu apa yang terjadi. Lagi pula, harus ada yang mengatakan sesuatu tentang kejadian tadi dan—”
“Jangan!” sergah Violet dengan suara bergetar. “Ah, maaf. Aku nggak bermaksud … maksudku, nggak perlu Hanz. Biarkan saja. Nggak ada jaminan kalau kejadian tadi nggak bakal terulang meski guru-guru tahu. Kamu tahu, kan, seberapa besar pengaruh orang tua Casey? Ditambah, aku juga nggak mau hubunganmu dengan Dave makin runyam. Jadi, nggak usah. Nggak sekarang.”
Violet berharap kalau perkataannya barusan bisa meyakinkan Hanz karena saat ini, cowok itu terdiam seolah sedang berpikir. Kemudian, Hanz tersenyum sambil memasukkan kedua tangan di saku jaket. “Kalau itu maumu, baiklah. Aku pulang saja. Beri tahu aku kalau ada yang terjadi. Atau pada Asami. Aku yakin dia nggak keberatan mendengar ceritamu. Percayalah padaku, dia justru bakal marah kalau tahu belakangan,” ujar Hanz sambil terkekeh.
Violet tertawa kecil dan melambai pada Hanz yang keluar dan menghilang di tikungan lalu melangkah masuk. Saat menutup pintu, Violet terkejut karena mendapati ayahnya berdiri di ruang depan dengan mulut terkatup rapat dan sorot mata marah.
“Kenapa kamu pulang jam segini. Kenapa nggak sekolah? Dan siapa pemuda tadi?”
Violet terpana dan merasakan kepalanya mulai berdenyut-denyut. “Aku sedang nggak enak badan dan cowok tadi teman sekolahku. Dia hanya mengantar pulang.”
Wajah Mr. Moon kelihatan tidak puas dengan penjelasan putrinya, sementara Violet berdiri sambil memanggul ransel. Mendadak merasa takut dan teringat akan tamparan ayahnya kemarin.
“Dia mungkin sedang berbohong, Thomas. Anak-anak zaman sekarang tidak boleh sembarang dipercaya. Dia terlihat baik-baik saja bagiku.”
Mulut Violet ternganga saat melihat Magda keluar dari dapur. Perempuan itu menaikkan kedua alis dan memandang Violet tak acuh. Dia menggenggam gelas piala dan Violet baru memperhatikan kalau ada botol-botol mengilap dengan piring-piring berisi hidangan pendamping.
Apa mereka sedang berpesta di sini? Berduaan? pikir Violet geram.
Saat itu, Violet menyadari kalau foto ibunya yang ada di atas nakas di sebelah sofa kulit, lenyap. Violet melepas sepatu dan nyaris berlari ke meja antik itu. Foto berbingkai putih itu benar-benar tidak ada di tempatnya semula.
“Dad, ke mana foto Mom dan apa yang sebenarnya sedang kalian ….”
Saat melintas di ruang tengah, Violet melihat kotak-kotak kardus saling tumpang tindih dan mengenali salah satu gaun berenda dalam warna hijau muda bercorak bunga lili putih. Gaun musim panas kesukaan ibu Violet itu menjuntai keluar.
“Kenapa barang-barang Mom ada di sini?” tanya Violet setelah membuka beberapa kotak. “Dad nggak bisa seenaknya membuang barang-barang milik Mom.”
“Tentu saja bisa, Sayang,” Magda muncul dan membuat Violet mulai merasa jijik. Penampilannya yang menor dengan kesan angkuh seolah berhasil menyingkirkan ibunya, mulai membuat Violet marah.
“Lagi pula, wanita itu, kan, nggak di sini lagi. Aku butuh ruang di lemari jadi, yah … barang-barang bekas seharusnya dibuang, kan? Kenapa membesar-besarkan hal sepele? Kalau nggak dibuang, kamu juga bisa menjualnya. Aku bisa bantu.”
Violet merasakan darahnya menggelegak. Denyutan di kepalanya berubah seperti dentuman dan yang disadari gadis itu adalah wajah Magda berubah pucat ketika dia menyerangnya. Gelas yang sedang digenggam wanita itu jatuh dan pecah berderai di lantai setelah cairan berwarna merah membasahi pakaian Magda.
“Apa kamu gila? Ini kasmir asli!”
“Kamu yang gila! Seenaknya membuang barang-barang Mom. Memangnya kamu siapa?” Violet mencengkeram kerah baju Magda. Hanya sesaat karena tangan Mr. Moon mencengkeram lengan putrinya kuat-kuat dan menyentaknya sampai Violet jatuh terduduk.
“Vi! Apa-apaan kamu?”
“Thomas, sepertinya anak ini nggak bisa dikendalikan. Dia berani berbuat seperti ini pada calon ibunya yang baru. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana jadinya gadis ini kalau nggak dikasih pelajaran,” pekik Magda sambil memandang bajunya yang berubah warna.
“Vi, minta maaf!” bentak Mr. Moon.
Violet bangkit dari lantai dan memandang Magda dengan tatapan kebencian. “Sama wanita itu? Nggak mau! Harusnya dia yang minta maaf. Wanita nggak tahu diri! Dan apa barusan kamu bilang? Ibu? Wanita sepertimu nggak akan pernah jadi ibuku! NGGAK AKAN PERNAH!”
Kali ini, Magda menghambur, menarik jaket Violet lalu mendaratkan tangannya di pipi Violet. Gadis itu terpana tidak percaya saat merasakan cairan hangat mengalir turun ke dagunya. Kulit pipi Violet tergores cincin yang dipakai Magda. Cincin berlian yang baru diperhatikan gadis itu, melingkar di jari manis pada tangan kiri Magda.
“Dad?” Violet bersuara lirih sambil memandang ayahnya.
Mr. Moon tidak mengatakan apa-apa dan membuang muka. Lelaki itu menarik Magda keluar dari ruang tengah sementara Violet terantap di lantai dengan kotak-kotak kardus di sekelilingnya yang memandang bisu. Violet lalu melihat ke penjuru rumah yang kali ini justru membuatnya merasa hampa dan kedinginan.
Sekali lagi, pipinya terasa sakit, demikian juga hatinya. Violet berusaha menahan air mata ketika darah menetes di pakaiannya, meninggalkan noda gelap. Tangan kurus gadis itu meraih gaun milik ibunya, mencengkeramnya kuat-kuat sambil membayangkan apa yang akan dilakukan wanita itu kalau melihat Violet disakiti seperti ini. Oleh ayahnya sendiri.
Aku sudah nggak punya tempat lagi di sini. Aku nggak punya tempat untuk kembali lagi ….