Violet memperhatikan wajahnya di cermin. Dia nyaris tidak bisa tidur semalaman dan bangun dengan muka bengkak serta mata sembap. Cewek itu mencoba menyisir rambut tapi saat tangannya menyentuh leher, bayangan Dave yang menyurukkan leher di sana kembali. Gadis berambut pendek sebahu itu refleks mundur sambil menutup mulut dan limbung di wastafel. Perutnya bergejolak dan jari-jarinya gemetar hingga sisir kayu itu terlepas dari genggaman.
Violet berpikir tentang cerita-cerita korban pelecehan seksual yang pernah dibacanya di koran, majalah dan internet. Cewek-cewek itu menggambarkan pengalaman mengerikan mereka dan trauma yang tetap mengikuti meski sudah lewat bertahun-tahun. Ada yang harus menjalani terapi kejiwaan berkelanjutan sementara ada juga yang sempat ingin bunuh diri. Sebagian besar dari mereka jadi membenci tubuh sendiri dan merasa jijik.
Violet merasa kalau mungkin itulah yang sedang dialaminya. Tanpa sadar, tadi dia mandi dan berlama-lama di bawah pancuran air hangat. Menggosok tiap jengkal tubuh dan ketika bayangan tangan serta seringai Dave melintas, dia akan menyikat tubuhnya lebih keras hingga kulit itu memerah. Mungkin Violet tidak akan berhenti kalau tak melihat lecet di beberapa bagian tubuhnya akibat menggosok terlalu keras. Dia tergugu beberapa lama di kamar mandi, menangis pelan dan berusaha menata perasaan sebelum keluar dari sana.
Saat dia turun, hanya ada Rosie di meja makan. Adiknya sudah menyiapkan roti panggang dan susu panas. Pada keadaan biasa, aroma selai jeruk yang berpadu harum pinggiran roti renyah itu akan membuat Violet merasa lapar tapi kali ini, perut cewek itu justru bergemuruh dan membuatnya mual. Dia berusaha agar tetap terlihat wajar sambil berjalan ke lemari es untuk mengambil buah. Untungnya, ada beberapa apel dan jeruk. Violet mengambil sebuah apel dan duduk di meja makan.
Rosie berpaling pada Violet yang hanya makan buah dan tampak heran. “Nggak sarapan? Roti panggangnya cukup buat kita berdua. Kamu mau dibuatkan kopi?”
Violet menggeleng dan tersenyum. “Lagi nggak begitu lapar. Mungkin karena semalam banyak makan,” kata Violet sambil menggigit lagi apelnya. Dia tahu kalau Rosie tidak percaya begitu saja tapi tidak ada waktu untuk mengobrol lebih lama. Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka berdua ke ruang depan. Rosie dijemput oleh seorang teman yang diantar ibunya, sementara Violet berjalan ke halte bus.
Sepanjang perjalanan, Violet merasa gugup, memikirkan apa yang akan dilakukan kalau dia bertemu Dave. Cowok itu tampak menakutkan dan tidak terima saat dipukul Hanz. Meski bukan Violet yang memancing keributan, secara tidak langsung dialah penyebab Dave ditonjok oleh sahabatnya sendiri.
Bus berhenti dan beberapa remaja turun mendahului Violet sampai tiba giliran cewek itu untuk keluar. Violet terpaku sejenak dan membuat beberapa anak memandangnya heran. Takut-takut, Violet mulai berjalan ke gerbang masuk dan melihat-lihat jika ada Dave atau teman-temannya di sana.
“Hei!”
Langkah kaki Violet berhenti mendadak. Tangannya mulai gemetar lagi dan dia tidak berani menoleh ke belakang sampai akhirnya seseorang berdiri di sampingnya. Perlahan, cewek itu berpaling dan hampir menjerit lega karena ternyata Asami yang muncul.
“Aku benar-benar kaget,” kata Violet ketika Asami berjalan bersamanya di tangga masuk.
“Kamu nggak mengenali suaraku? Oh, ya, bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik? Sudah minum air putih yang banyak?” tanya Asami sambil memasukkan kedua tangannya di saku jaket.
Violet tertawa kecil saat menyadari kalau sosok Asami lebih mirip seorang kakak bahkan seorang ibu daripada cewek glamor. Mengingat sikapnya kemarin, teman barunya ini memang terlihat sigap mengurus orang lain padahal dirinya sendiri dikelilingi banyak pelayan. Asami benar-benar bisa merawat seseorang dan berusaha memastikan tamunya nyaman.
Kalau saja cewek-cewek penggosip yang jahat itu mau mengenal Asami lebih dalam, mereka mungkin akan berpikir ulang untuk membenci gadis ini, pikir Violet sambil memperhatikan Asami yang membetulkan poni.
“Kalau masih merasa kurang baik, aku bisa mengantarmu ke dokter,” ujar Asami saat keduanya melintasi koridor.
Violet bisa merasakan tatapan aneh murid-murid yang melihat dirinya dan salah satu cewek populer di sekolah datang bersama. Mungkin mereka bertanya-tanya, bagaimana bisa gadis suram seperti Violet bisa dekat dengan cewek glamor macam Asami terlebih keduanya tidak satu kelas.
“Hei,” Asami menoleh pada Violet ketika tiba di kelas, “Beri tahu aku kalau terjadi sesuatu. Ya?”
Violet mengangguk meski dalam hati tidak yakin. Dia kemudian melambai dan berjalan ke kelasnya sendiri. Setidaknya, dia tidak bertemu Dave di lorong dan tidak satu kelas dengan cowok itu. Violet pikir, mungkin hari ini akan berjalan lancar. Dia hanya perlu bertahan di sekolah lalu pulang dan beristirahat lagi karena badannya juga belum pulih benar.
Saat masuk, Casey sudah ada di kelas dan duduk bersama teman-temannya yang biasa. Cewek itu memakai sweater putih longgar dengan rajutan besar-besar dan jaket denim merah muda yang kelihatan mahal. Saat menyadari kehadiran Violet, dia berpaling dan memasang ekspresi yang sulit ditebak. Violet berusaha tidak mengindahkan tatapan Casey dan berjalan terus ke bangkunya. Namun, cewek itu mendengar jelas apa yang dikatakan Casey ketika dia melintas.
“Cewek munafik. Muka dua. Bilang nggak tertarik tapi datang juga ke pelukan cowok itu.”
Tentu saja Violet paham siapa yang dimaksud tapi dia enggan menimpali. Lebih baik tidak mencari masalah saat keadaannya seperti ini. Lagi pula, bukan berita baru kalau Casey mengganggunya. Cewek itu seolah tidak ingin membiarkan Violet tenang setelah berani melawan dan bertengkar dengannya di depan umum.
Awalnya, semua berjalan lancar. Guru bahasa Inggris—Mr. Stanley yang punya rambut pirang lurus dan badan lumayan berotot—memberi tugas menulis. Violet tenggelam dalam kesibukan merangkai kata-kata sampai tidak sadar kalau guru itu pergi keluar kelas. Tidak lama kemudian, segumpal kertas muncul di meja Violet. Gadis itu mengernyit, kesal karena hampir saja membuat kesalahan karena kaget. Kertas itu tampaknya diremas sebelum dilempar. Dia membukanya dan terenyak.
Cewek jalang! Mati saja sana!
Tangan Violet kembali bergetar dan dia menarik napas panjang, pelan-pelan. Dia menyingkirkan kertas itu dan berusaha fokus pada tugasnya tapi tidak berlangsung lama. Ada benda yang dilempar dan kali ini menyentuh kepala gadis itu. Memang tidak sakit tapi cukup untuk membuat Violet kaget dan refleks berpaling. Tepat pada saat itu, Casey dan kelompoknya serempak melempar bongkahan-bongkahan kertas.
Violet terpana saking terkejut dan kertas-kertas itu berjatuhan di pangkuannya. Casey memandang cewek itu dari mejanya, bersedekap dengan sikap seolah menantang sementara gadis-gadis lain terkikik. Violet menebar pandangan ke sekitar dan menyadari tidak ada teman-teman sekelas lain yang bereaksi. Bahkan Samantha dan Judy, menunduk kelihatan takut di kursinya.
Violet tidak ingin suasana hatinya jadi semakin kacau. Dia memutuskan untuk menahan diri dan membalikkan badan. Namun, sekarang Violet tidak bisa lagi memusatkan perhatiannya pada tugas sementara Casey terus-menerus melemparkan kertas-kertas yang sudah diremas padanya. Benda-benda itu berjatuhan di meja dan di bawah bangku Violet. Keisengan Casey berhenti saat bel istirahat berbunyi. Seolah dikomando, anak-anak yang lain bangkit dengan sigap dan meninggalkan kelas dengan cepat.
Casey dan geng-nya melewati meja Violet—yang saat itu tergugu di kursi dengan badan gemetar. Salah seorang dari kelompok itu sengaja menggebrak meja Violet sampai cewek itu kaget. Setelahnya, mereka tertawa sambil keluar dari kelas.
Bahu Violet melorot begitu kelas benar-benar kosong. Jantungnya terasa berdegup keras. Kekagetannya dari kejadian Sabtu malam belum pulih dan hari ini dia kembali diserang oleh Casey. Violet melihat kertas-kertas di hadapannya kemudian membukanya satu per satu. Kata-kata mengerikan tertulis di sana.
Cewek murahan.
Dasar nggak tahu malu!
Otak udang yang super bodoh. Bagaimana kamu bisa hidup selama ini?
Apa kamu tidak punya cermin di rumah? Berkacalah dan sadari kalau nggak ada yang suka padamu! Jangan besar kepala, haha.
Violet tidak sanggup membaca sisanya. Cewek itu mulai memunguti kertas-kertas dan menjejalkannya ke dalam saku. Dia menutupi wajah dengan tudung jaket dan berjalan keluar kelas menuju kamar mandi perempuan. Setelah tiba di sana, gadis itu membasahi kertas-kertas di wastafel kemudian membuangnya ke tempat sampah.
Rasa mual dan pening kembali menghantam Violet. Cewek berkaus hitam itu menghampiri wastafel dan muntah-muntah di sana selama beberapa saat. Tanpa bisa ditahan, Violet mulai menangis. Rasa sakit secara fisik dan mental menerpanya bertubi-tubi dan Violet tidak tahu apakah masih mampu bertahan.
Dia tidak bisa menceritakan hal ini pada Rosie yang sebentar lagi akan menghadapi kompetisi cheerleading. Violet juga tidak bisa mengobrol soal ini pada ayah yang jelas-jelas tidak menginginkan kehadirannya di rumah. Pun pada ibunya, gadis itu merasa tidak enak karena wanita itu juga sedang berjuang bangkit dari keterpurukan. Sementara Asami dan Hanz, bisakah mereka mengerti? Bisakah kedua orang itu menerima teman baru yang datang dengan setumpuk masalah dan bersandar pada mereka? Bisakah dirinya percaya lagi pada orang lain?
Untungnya, Casey dan geng-nya tidak berulah lagi di sisa siang itu. Mungkin karena guru matematika mereka terkenal tajam dan sangat awas sehingga kelompok itu tidak bisa mencuri kesempatan bersenang-senang dengan melempar kertas atau benda lainnya lagi. Apa pun itu, Violet diam-diam mendesah lega. Dia hanya perlu bertahan sampai jam pulang kemudian melesat ke rumah. Baru hari Senin tapi terasa bagai seminggu bagi Violet. Dia sudah kelelahan.
Saat jam pelajaran terakhir berdering tanda selesai, Violet buru-buru memasukkan buku ke ransel dan berjalan cepat keluar kelas. Dia hampir berlari di sepanjang koridor dan nyaris mencapai pintu masuk ketika melihat Dave berdiri di depan kelasnya. Violet tersentak dan spontan membalikkan badan. Rasanya, hari ini dia tidak sanggup bertemu dengan cowok itu. Atau kapan pun.
Violet memutuskan lewat jalan lain dan mulai menuruni tangga. Mungkin dia bisa memotong jalan lewat kantin kemudian memutar di halaman. Violet menarik napas lega ketika tidak ada siapa pun di tempat itu kecuali petugas yang sedang membersihkan meja dan kursi. Violet melintas dengan cepat dan membuka double door dengan kaca berbentuk bulat di bagian atas dan menghirup udara banyak-banyak saat tiba di luar.
Halaman itu tidak terlalu ramai. Cuma ada beberapa anak yang sedang mengobrol, sepertinya berasal dari klub olahraga karena mereka membawa kantong sepatu bertali dan mengenakan jaket seragam berwarna biru cerah berpelat oranye. Violet menaikkan syal sampai ke dagu dan berjalan pelan sambil mengamati orang-orang di kejauhan ketika ponselnya berdering. Setelah semua ketegangan barusan, ringtone itu benar-benar mengejutkan Violet.
[Kamu di mana? Aku mampir ke kelasmu tapi ternyata sudah kosong.] Terdengar suara Asami di seberang.
“Ah,” Violet hampir lupa cewek itu. “Aku pulang duluan. Maaf tapi aku benar-benar masih nggak enak badan,” ujar Violet sambil menjauh dan lebih merapat ke dinding sekolah.
[Napasmu terdengar berat. Kamu sungguh nggak apa-apa? Kalau memang masih sakit, harusnya aku antar pulang saja. Kamu yakin bisa balik sendiri?]
Sesaat, Violet merasa ingin menangis dan bercerita semuanya pada Asami. Suara cewek itu begitu lembut dan menenangkan. Suara seorang teman yang penuh dukungan dan kepedulian. Namun, Violet takut untuk membuka dirinya lagi. Dave awalnya juga bersikap manis dan baik tapi ternyata berubah menjadi cowok paling jahat yang pernah dikenalnya. Apakah Asami tulus padanya? Atau cewek itu punya niat lain juga?
“Aku nggak apa-apa. Jangan cemas,” Violet menelan ludah kemudian mematikan sambungan telepon setelah Asami berpesan untuk mengabarinya segera setelah Violet tiba di rumah.
Violet mematung sejenak, bersandar dan memandang ke angkasa. Langit agak mendung dan tampaknya sewaktu-waktu bisa hujan. Di kejauhan, anak-anak lain tampak bergerombol. Sebagian dijemput orang tua mereka sementara yang lain berjalan bersama menuju halte bus.
Violet teringat ibunya yang suka mengantar dia dan Rosie ke sekolah dengan jip hitam. Biasanya, mereka tidak bisa berhenti mengobrol sepanjang perjalanan. Mereka akan saling tebak suhu cuaca di Inggris pada hari itu atau produk makeup terbaru yang ada di mal. Pada akhir pekan, ibu mereka akan membawa Violet dan Rosie ke Notting Hill untuk berbelanja atau sekadar minum kopi di salah satu kafe sambil bertanya tentang kegiatan sekolah dan apa yang terjadi selama satu minggu itu.
Violet mengusap air mata dan mengerutkan hidung. Hari ini, kepalanya dipenuhi dengan berbagai macam ingatan. Tidak hanya yang indah tapi juga yang terburuk.
Kalau saja otak manusia bisa seperti komputer, pikir Violet murung, aku tinggal memindahkan berkas-berkas memori indah ke satu folder dan menyimpannya lalu kuhapus kenangan buruk ke tong sampah. Hapus permanen dan mungkin dengan itu aku bakal bahagia. Aku takut tidak bisa mengingat satu hal yang menyenangkan setelah semua kejadian ini.