Hanz bisa merasakan tangannya berdenyut ketika jari-jari itu terkepal dan lecet. Dia bisa melihat Dave bangun dari lantai dan kelihatan tidak senang sementara Violet masih tampak ketakutan, mencengkeram sweater di dada.
“Katakan itu pada dirimu sendiri,” desis Hanz. Dia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat. Tadinya, dia kira Asami hanya terlalu histeris.
“Kamu tahu kenapa aku nggak suka sama Dave? Dia pernah membuat mabuk salah satu cewek di kelasku dan berbuat hal yang buruk. Aku khawatir kalau Violet mengalami hal yang sama.”
Itulah yang dikatakan Asami saat cewek itu menelepon Hanz. Saat itu, dia sedang dalam perjalanan dengan sepeda, menuju rumah Dave karena Evan dan Kirk mengundangnya untuk datang. Tadinya cowok itu hanya berdiri di dekat pintu, ingin memastikan apa yang terjadi saat mendengar suara Violet yang berteriak.
“Ini bukan urusanmu, Hanz. Pergilah.”
“Baik,” ujar Hanz sambil melepas jaketnya dan menyampirkan benda itu di sekeliling bahu Violet. Dia bisa merasakan kalau tubuh cewek itu bergetar hebat dan napasnya juga tersengal.
“Kami pergi dari sini.”
“Sialan. Siapa yang bilang kalau kamu boleh membawanya? Dia cewekku!”
Hanz berdiri di depan Violet saat Dave maju mendekat. “Nggak seperti itu yang kulihat. Dave, selama ini aku diam karena berpikir kalau hal-hal yang menyangkut dirimu dan cewek-cewek itu bukan urusanku. Tapi, kali ini berbeda. Kamu sadar apa yang barusan kamu lakukan? Kamu berusaha memerkosa seorang cewek.”
“Omong kosong,” sergah Dave. “Dia cuma jual mahal. Kami melakukannya atas dasar suka sama suka.”
“NGGAK!” jerit Violet. “Kamu yang memaksa! Aku sudah bilang nggak mau! Nggak mau!” Hanz berpaling dan bisa melihat Violet hampir limbung. Cewek itu kelihatan tidak kuat berdiri lagi jadi Hanz cepat-cepat memapahnya.
“Kamu dengar sendiri, kan? Sekarang, biarkan kami pergi.”
Hanz menuntun Violet keluar. Wajah cewek itu tampak acak-acakan dengan sisa-sisa air mata. Lengan Hanz terasa sakit karena tangan Violet mencengkeramnya kuat-kuat. Ketika berjalan di koridor, Hanz memutuskan untuk lewat pintu belakang karena saat ini semua orang sedang berpesta di ruang tengah. Mereka akan langsung heboh kalau melihat keadaan Violet sekarang.
Lima belas menit kemudian, Hanz dan Violet sudah tiba di rumah Asami setelah cewek itu mengirim mobil untuk menjemput. Wajahnya terlihat begitu kaget dan marah ketika melihat kondisi Violet. Hanz duduk di salah satu kursi beledu sementara Asami menemani Violet yang berselimut stola.
“Tolong minta seseorang untuk menyiapkan sup pedas sekarang,” ujar Asami ketika salah seorang pelayan masuk dan meletakkan teh dan kopi panas di meja. Pelayan berkemeja hitam itu mengangguk lalu keluar dari kamar.
“Maaf, aku ja … jadi merepotkan.”
Hanz merasa nyeri saat mendengar suara Violet yang terbata-bata. Cewek itu masih syok, gemetar dalam stola kotak-kotak dan kelihatan pucat pasi. Dia benar-benar tidak sangka kalau Dave bisa terobsesi untuk mempertahankan rekornya yang tidak pernah ditolak gadis-gadis. Dan cowok itu merinding, membayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai semuanya terlambat.
“Temanmu itu apa-apaan, sih?” teriak Asami tiba-tiba sampai mengagetkan Violet di kursinya. “Apa aku perlu panggil polisi untuk menangkapnya? Ini sudah pelecehan seksual. Dia harus dihukum!”
Hanz bangkit dari kursi dan memberi isyarat agar Asami mengikutinya keluar ruangan. Awalnya, Asami tampak menolak tapi lalu mengikuti Dave setelah memastikan Violet tidak apa-apa.
“Apa, sih?”
Hanz bersandar di tembok. “Ini nggak bisa main lapor saja. Kamu tahu apa dampaknya kalau seisi sekolah tahu?”
Asami terdiam, tampak sadar kalau dirinya tidak berpikir sejauh itu.
“Kamu tahu kalau Violet sekarang sudah rentan gosip karena masalah Casey, kan? Kalau Dave bicara macam-macam, keadaannya akan lebih buruk. Orang-orang lebih dekat dan percaya padanya daripada Violet yang lebih sering nggak main sama mereka.”
Asami mengentakkan kaki, kelihatan marah dan kesal. “Harusnya tadi aku ikut dan membawa salah satu katana, lalu menebasnya.”
Hanz terkekeh, merasa lucu karena baru kali ini melihat sisi lain Asami yang tampak seperti anak kecil sedang ngomel-ngomel. “Aku nggak sangka kamu bisa akrab dengan Violet,” kata cowok itu sambil melirik ke dalam ruangan lewat celah pintu. Violet masih menyandarkan diri di kursi, memegang selimut erat-erat.
“Dia nggak kayak yang lain. Malah ….” Asami memandang Hanz. “ … kupikir kalian mirip. Sama-sama nggak tertarik sama orang lain, sama-sama misterius. Tapi baik hati.” Asami terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Kalian juga mirip soal memendam perasaan dan menahan diri. Seperti bom waktu.”
Hanz tertawa kecil. “Makasih buat pujiannya. Terus sekarang bagaimana? Violet nggak mau pulang karena adiknya sedang mengundang teman-temannya ke rumah. Dia nggak mau bikin adiknya cemas kalau pulang dalam kondisi begitu. Lagi pula, dia juga agak mabuk. Aku bisa mencium bau alkohol dari mulutnya waktu memapahnya.”
“Dia minum?”
“Kurasa Dave yang memberikannya.”
“Si brengsek itu ….” Asami mendesis marah lalu menarik napas panjang. “Biarkan dia dulu di sini sampai tenang. Aku akan menelepon ke rumahnya dan bilang kalau dia menginap. Harusnya nggak masalah. Oh, sepertinya sup pedas sudah siap. Kamu juga makan dulu saja, Hanz.”
Cowok itu mengangguk dan mengikuti Asami yang masuk kembali ke ruangan. Dua orang pelayan menyusul sambil membawa baki beroda dengan mangkuk-mangkuk keramik putih bertengger di atasnya. Uap putih mengepul ke udara, mengantarkan aroma cabai dan bawang putih yang kentara.
“Sangat bagus dimakan di cuaca dingin begini. Ini juga bisa meredakan mabuk. Vi, kamu harus makan sedikit baru istirahat. Malam ini kamu menginap saja. Aku akan siapkan kamar tamu.”
“Tapi ….” Violet kelihatan tidak enak hati.
“Nggak ada tapi-tapian. Anggap saja ini kompensasi karena kamu pergi tanpa mengajakku.”
Hanz bisa melihat Violet tertawa meski tampak lemah. Setelah semangkuk sup pedas yang menyegarkan, Asami mengantar Violet ke ruang tidur untuk tamu yang letaknya di lantai dua. Hanz membantu memapah Violet di tangga melingkar dan berhenti di ambang pintu kayu ek yang berat, mengamati gadis berambut gelap itu perlahan naik ke ranjang dengan sokongan Asami. Sekilas, Hanz bisa melihat memar dan bekas luka dari lengan baju Violet yang tersingkap tapi dia tidak mengatakan apa-apa.
“Kalau perlu sesuatu, tekan saja bel ini. Pelayan akan datang. Kamu juga boleh meneleponku. Ponselmu kuletakkan di sini, ya.” Asami menaruh benda pipih berwarna keperakan itu di atas nakas, menyelimuti tubuh Violet sampai dagu dan menutup tirai-tirai.
“Ah, Hanz.” Violet tiba-tiba bangkit. Wajahnya masih memerah dan kelihatan syok. Dia menyelipkan sejumput rambut di belakang telinga lalu berkata, “Terima kasih banyak, untuk bantuanmu tadi.”
Hanz merasakan hatinya berjengit. Cowok itu balas tersenyum dan mengangguk lalu mundur saat Asami keluar dan menutup pintu di belakangnya.
“Nah, sekarang, bagaimana kamu akan menghadapi, Dave?”