“Kudengar Casey naik pitam dan menghubungi ayahnya. Kamu tahu, kan, kalau keluarganya itu terpandang dan kaya? Salah satu pengacara top di City.”
Hans menyeruput cappuccino dan mendengar ketika Evan dan Kirk bicara penuh semangat soal cewek yang barusan bertemu dengan mereka. Kedua cowok itu langsung menyeret Hanz dan Dave ke kafe terdekat. Bahkan di sepanjang jalan, Evan memperlihatkan video pertengkaran Casey dan Violet yang tersebar di kalangan murid.
Sebetulnya, Hanz tidak suka membicarakan orang lain di belakang seperti ini. Meski tidak kenal, Hanz tahu siapa Violet. Cewek itu kelihatan muram waktu Hanz diam-diam meliriknya di klinik belum lama ini. Ditambah lagi, tidak cuma cewek tapi beberapa cowok juga menggosipkannya.
Hanz berusaha mengalihkan perhatian dengan melihat-lihat interior kafe yang didesain dengan gaya industrial. Dinding-dinding kelabu yang sekilas tampak seperti tidak dicat berpadu dengan tiang-tiang kayu dan meja-meja bulat mengilap. Seorang barista sedang membuat kopi di belakang mesin sementara cewek berusia sekitar dua puluhan tengah menerima uang dari pengunjung bermata kecil yang bicara bahasa Inggris dalam logat unik. Sejenak, Hanz ingin mengeluarkan headphone dan menyetel pemutar musik tapi itu jelas tidak sopan dilakukan saat dia sedang nongkrong bersama teman-temannya begini.
Harum kopi Sumatra yang kuat menguar di udara, berpadu dengan kebisingan dari mesin pengocok susu yang digunakan untuk membuat berbagai frappuccino di belakang konter. Antrean semakin bertambah ketika hari semakin siang seiring padatnya orang-orang yang berlalu lalang di luar kafe.
“Violet Moon benar-benar berani cari gara-gara dengan Casey. Dia bahkan membuat cewek itu ikut dihukum membersihkan ruangan olahraga. Walau nggak terang-terangan, banyak cewek di kelas kita yang mendukung Violet. Kalian tahu, kan, kalau Casey itu semacam musuh besar di kalangan murid-murid perempuan?” Kirk berdecak dengan gaya dibuat-buat, tampak belum puas membahas soal kejadian di waktu lalu.
Hanz mengerutkan kening, baru sadar kalau ternyata teman-temannya sendiri suka bergosip dan tahu banyak soal kejadian yang bahkan baru didengarnya hari ini.
“Masih tertarik dengannya, Dave?” Evan berpaling pada Dave yang sedang tersenyum pada salah satu cewek berambut pendek yang memandang ke meja mereka. Cewek bermantel biru itu kelihatan tersipu lalu berbisik-bisik dengan teman yang duduk di seberangnya.
Dave nyaris tak pernah mengabaikan cewek yang menaruh perhatian padanya. Kalau sesuai tipenya, cowok itu bakal menghampiri dan meminta nomor telepon si cewek. Kadang-kadang, Hanz merasa kesal karena sikap itu mengganggu terutama ketika mereka sedang bareng begini.
“Gimana, Dave? Kalau kamu macam-macam, bisa saja dia membantingmu ke tanah dan menghajar muka ganteng itu,” Kirk menimpali sambil terkekeh. Mungkin sedang membayangkan rupa kawannya yang babak belur karena ditonjok perempuan meski sulit karena Dave berlatih tinju.
Dave berpaling—akhirnya—lalu menyeruput kopi yang ada di depannya sambil berujar, “Violet Moon? Dia lumayan.”
Cowok itu menjilat sisa kopi pada bibir dengan santai sambil menyandarkan punggung ke leher kursi dan menyibak rambutnya ke belakang. Gaya itu biasanya membuat cewek-cewek histeris. Dave tipe cowok dengan kepercayaan diri tinggi dan tahu kalau dirinya menarik.
“Tapi ingat, reputasinya lagi nggak bagus. Sebagian cewek mengira Violet punya kelainan waktu dia kepergok memecahkan cermin di toilet siswi.”
“Justru itu,” Dave menyunggingkan senyum. Mata kelabunya tampak berkilat, seolah sedang merencanakan sesuatu. “Cewek yang sedang dalam posisi rentan karena gosip biasanya mudah takluk dengan kebaikan cowok.”
Entah kenapa, Hanz tidak suka mendengarnya. Dia biasanya tidak ikut campur meski tahu kalau Dave bisa jadi cowok yang cukup keterlaluan. Belum lama, temannya yang ingin jadi model sekaligus gitaris itu membuat adik kelas mereka patah hati. Bahkan dia juga kena getahnya karena teman si adik kelas menghampirinya sambil berteriak untuk menyeret Dave agar minta maaf. Benar-benar gangguan yang tidak perlu dan menyebalkan kalau Hanz boleh jujur.
“Bukannya kamu lagi dekat sama Jessica? Cewek dari Kingsbury itu?” tanya Hanz dengan nada seringan mungkin. Dia ingat cewek yang pernah menghampiri mereka minggu lalu saat berkumpul di daerah Kentish Town. Gadis berambut merah yang cantik dengan gaya imut dan kelihatan benar-benar jatuh cinta pada Dave.
“Sudah basi,” sahut Dave dengan nada enteng sementara Evan dan Kirk tertawa.
“Benar-benar pemain sejati. Padahal dia cantik banget. Kamu nggak sayang melepasnya?” kali ini Evan yang melirik.
“Jessica memang lebih cantik dari kebanyakan cewek di kelas kita. Sepadan dengan Casey kalau aku boleh jujur, sih,” Kirk mengangguk-angguk menimpali.
“Tapi, Violet itu nggak jelek juga, kok. Di juga jago di olahraga dan badannya bagus,” imbuh Evan.
Hanz tidak tahan lagi dengan pembicaraan yang menurutnya mulai tidak jelas ini. Dirinya sendiri tidak sedang tertarik pada siapa pun dan ngobrol soal cewek-cewek bukan alasannya pergi di akhir pekan. Cowok itu buru-buru menghabiskan kopinya. Dia bangkit dari kursi dan mengenakan jaket, membuat Dave mendongak heran.
“Mau ke mana? Bukannya kita bakal mampir ke rumah Evan setelah ini? Dia punya game baru.”
“Yeah. Kalau kamu nggak ikut, pemainnya nggak lengkap, nih. Lagian, aku sudah berencana pesan piza dan menyewa video film lama yang kamu cari.”
Hanz tidak tergoda. “Aku baru ingat kalau ada urusan,” ujarnya sambil menarik ritsleting jaket parka. Dia keluar dari kafe tanpa menoleh lagi dan bisa mendengar Evan mendengus kesal.
Harusnya aku ke Finchley saja tadi, pikir Hanz ketika menuruni tangga dan berusaha tidak menabrak orang-orang. Cowok itu terus jalan, melewati Dark Side yang kelihatan agak seram dengan eksterior bernuansa hitam, kontras dengan toko di sebelah yang mengecat bangunannya menggunakan warna kuning cerah dan motif unik.
Hanz berpikir soal Mr. Rampstead saat keluar dari Lock. Pria tua yang pernah jadi tentara di era perang itu pasti bisa membuat mood-nya lebih baik. Dia bertemu dengan Mr. Rampstead saat menjadi sukarelawan di rumah perawatan untuk orang lanjut usia tiga bulan lalu. Saat itu, Hanz membantu menggelar acara temu akrab dengan menyajikan kue-kue, mengobrol, dan membersihkan kamar-kamar bersama sekitar sepuluh remaja lainnya. Sejak bercakap-cakap dengan pria tua yang punya senyum ramah dan wajah cerah itu, Hanz rutin berkunjung setidaknya satu atau dua kali dalam seminggu.
Istri Mr. Rampstead sudah lama meninggal dan anak semata wayang mereka bekerja sebagai dokter di rumah sakit mentereng di Bristol. Jam kerja yang padat membuat putranya sangat sibuk dan menantunya sendiri sedang repot mengurus cucu kembarnya. Sejenak, Hanz pikir Mr. Rampstead akan terlihat kesepian seperti lansia kebanyakan. Namun, wajah orang yang rambutnya sudah beruban itu tampak santai saat melihat film-film lama diputar sembari mengunyah kudapan dan minum teh earl grey.
Hanz tidak tahu kapan bermula tapi saat tersadar, cowok itu menyukai waktu-waktu yang dihabiskannya bersama nenek serta kakek di rumah perawatan. Hanz merasa kalau para lansia itu punya banyak hal yang bisa mereka bagikan. Kisah-kisah masa muda yang penuh gelora, cobaan hidup yang bahkan tak terbayangkan sampai kesedihan, dan kekaguman mereka tentang masa ini.
Mr. Rampstead sendiri adalah orang tua paling bijak yang pernah Hanz temui dan sepertinya selalu punya solusi ketika remaja cowok itu mengeluh tentang suatu hal. Pria yang masih terlihat tampan dengan kerut-kerut manisnya itu adalah seorang pendengar yang baik.
Biasanya, Mr. Rampstead akan duduk di sofa sambil mendengarkan Hanz penuh perhatian. Saat pemuda itu selesai bercerita, Mr. Rampstead tidak langsung bicara. Sebaliknya, dia terlihat berpikir selama beberapa detik sembari memejamkan mata. Lalu, dengan suara yang dalam dan menyenangkan, Mr. Rampstead akan mengatakan pendapat atau nasihatnya. Hanz sangat menyukai kalimat-kalimat yang keluar dari orang tua itu karena membuatnya berpikir lebih jauh. Dan itu bukan sekadar perasaannya saja.
Hanz memutuskan untuk pulang setelah membeli cokelat panas karena langit berubah mendung. Hujan bisa turun kapan saja di London dan menggigil di luar pada cuaca seperti itu bukanlah ide bagus.
Cowok itu menyusuri pedestrian dan berdiri di halte bersama dua cewek berjaket putih dengan hiasan bulu. Saat menunggu bus, Hanz melihat Violet yang sedang berdiri seberang jalan. Cewek itu tampaknya tidak menyadari keberadaan Hanz karena sedang melihat ke arah lain. Tali dari penyuara telinga melintang di bagian depan mantel Violet dan mendadak, gadis itu berpaling ke arah Hanz.
Violet tampak kaget dan segera menyembunyikan tangannya. Hanz baru akan melambai saat cewek itu membalikkan badan lalu perg dari sana.