“Kamu yakin tidak mau pergi ke rumah sakit? Lukanya memang tidak parah, tapi sebaiknya kamu ke sana dan berobat dengan benar. Tadi hanya pertolongan pertama, kamu mengerti?”
Violet menggeleng tanpa menoleh. Dia memandang keluar jendela, memerhatikan beberapa cowok sedang bermain sepak bola tanpa memedulikan udara musim dingin yang nyaris membuat beku. Cuaca memang cerah dengan matahari bersinar terang dan langit juga tampak bersih. Namun, tetap saja suhunya membuat badan menggigil. Violet merasa lebih nyaman di ruang klinik ini. Sepi dan hangat.
“Baiklah. Pastikan kamu ke apotek dan minta obat ini. Jangan lupa untuk membersihkan lukanya dan ganti perbanmu setidaknya dua kali sehari. Mengerti?”
Violet mengangguk, lagi-lagi tanpa menoleh. Cewek berambut cokelat gelap yang dipotong pendek sebahu itu merasakan tatapan dokter sekolah—Miss Sonya—di belakangnya. Mungkin dokter itu ingin bertanya lebih jauh soal luka di tangannya.
“Kamu sudah boleh kembali ke kelas nanti. Saya harus mengurus beberapa hal dan—”
“Bolehkah saya tinggal di sini sebentar? Saya merasa pusing,” ujar Violet, kali ini menoleh dan memandang penuh harap pada Miss Sonya.
Wanita dengan badan langsing yang dibungkus kemeja biru dan celana panjang putih itu mendesah. Tampaknya, dia merasa tidak tega sehingga membolehkan Violet untuk istirahat di klinik sampai merasa lebih baik setelah meninggalkan resep obat dan segelas air.
“Kalau kamu tidak kuat pulang sendiri, panggil saya, ya?” Miss Sonya berhenti di depan pintu lalu berpaling sejenak kepada gadis di ranjang itu dan berkata, “Kalau kamu membutuhkan tempat bicara, kamu boleh bicara padaku.”
Violet mendongak dan melihat wajah ramah si dokter sekolah yang menyiratkan kekhawatiran.
“Saya tahu, Miss. Terima kasih,” ujar Violet, bersyukur dalam hati saat Miss Sonya tak berkata apa-apa lagi dan mengawasi sampai pintu klinik tertutup rapat. Cewek itu merebahkan diri di ranjang dan menarik selimut sampai dagu. Dia bisa mendengar suara riuh rendah samar-samar dari keramaian di luar gedung sekolah, juga suara halus pemanas ruangan. Anak-anak lain pasti masih istirahat dan menunggu jam pelajaran berikutnya sambil makan siang atau menghangatkan diri dengan minuman panas di kafetaria.
Sambil menatap langit-langit ruangan, Violet teringat kejadian tadi. Saat sekelompok cewek masuk ke toilet perempuan dan kelihatan kaget berat ketika ada darah menetes-netes dari wastafel. Mereka memandang bingung pada Violet yang berdiri mematung di depan kaca kamar mandi. Cermin itu nyaris berantakan dengan bagian yang retak dan terlepas. Seorang dari mereka berteriak dan mengundang perhatian anak-anak lain ketika Violet bergegas pergi dari sana. Gadis itu berusaha menutupi tangan dengan jaket tapi darah yang menetes-netes di lantai membuat orang-orang di koridor terperangah. Petugas pembersih pasti bakal mengomel saat melihatnya dan entah apa yang bisa dikatakan orang-orang soal darah itu.
Violet sudah siap untuk gosip yang akan menyebar besok dan sedikit menyesal sudah bertindak gegabah. Tidak bisa mengontrol amarah menjadi kendala terbesar di kehidupannya belakangan ini. Ditambah tingkah menyebalkan dari sekelompok cowok yang selalu berbisik-bisik saat dirinya lewat, Violet merasa bisa meledak kapan saja. Gadis dengan bibir pucat itu mengeluarkan tangan dari dalam selimut dan mengangkatnya. Dia memandang perban yang membebat telapak tangan dan merasakan sedikit rasa nyeri.
Aneh, pikir cewek itu. Padahal saat melakukannya, aku tidak merasakan apa-apa.
Violet meringis dan tersenyum getir. Membayangkan saat tinjunya menghantam mirat dan membuat benda itu retak. Meski kulit tangannya robek dan hangatnya darah mengalir turun ke jari-jari, Violet tidak merasakan sakit atau perih.
Tapi, belakangan ini, aku memang tidak merasakan apa-apa.
Gadis itu menurunkan tangan dan berguling ke arah jendela. Dia lupa menutup tirai dan kini cahaya matahari menembus kaca, membuat silau mata. Tadinya, dia ingin beranjak dan menutup kerai tapi akhirnya tidak jadi. Entah kenapa, rasa hangat dari sinar matahari itu justru membuat nyaman. Perlahan, Violet merasa kantuk mulai menerpa dan dia nyaris tertidur saat pintu terbuka.
Spontan, Violet bangun dan membalikkan badan. Seorang anak lelaki yang terlihat seusia dirinya, masuk dan tampak mencari seseorang. Dia memakai kaus Polo merah dibalut jaket parka dan denim hitam.
“Miss Sonya nggak ada, ya?” tanya cowok itu saat menyadari kalau ada orang lain di klinik. Suaranya rendah dan dalam, sebanding dengan penampilannya yang terkesan cuek dan kaku. Dia menaikkan kacamata berbentuk kotak yang melorot di hidung dan berjalan lebih dekat ke meja kerja Miss Sonya.
Violet mendadak merasa kesal karena cowok itu sudah membuatnya terjaga. Rasa nyaman dan kantuknya tiba-tiba hilang begitu saja.
“Lagi keluar.”
“Ah, kalau begitu aku cari saja sendiri.”
Cowok berambut medium dengan warna madu itu membuka lemari kaca, memandang label-label dengan saksama, sementara Violet melipat kedua lengannya di dada.
“Harusnya kamu tunggu sampai Miss Sonya kembali.”
Anak lelaki itu tidak menanggapi dan menarik salah satu kotak karton berwarna oranye. “Aku cuma butuh plester luka. Lihat?”
Pemuda itu menyibak poni dan memperlihatkan luka yang tampak seperti goresan di dahi. Tadinya, Violet kira anak itu bakal segera pergi setelah mendapat apa yang diperlukan tapi dia malah berjalan ke wastafel dan memandang dirinya di cermin.
Violet masih diam saat cowok itu membasuh luka dengan air, mengeringkan dengan selembar tisu dan merekatkan plester di atas luka. Setelah merapikan rambut, dia berpaling dan tampak memandang tangan Violet yang dikebat perban. Refleks, gadis itu menyembunyikannya di bawah selimut dan memalingkan wajah.
Cowok itu tidak mengatakan apa-apa dan beberapa detik kemudian, Violet mendengar pintu menutup. Gadis itu mendesah lega dan kembali berbaring. Dia memejamkan mata dan tertidur.
Kalau Miss Sonya tidak kembali ke klinik sekolah dan menyuruhnya pulang, mungkin Violet mau saja berbaring di ranjang itu sampai besok. Dia beranjak dari tempat tidur ogah-ogahan dan mengendap-ngendap menuju gerbang agar tidak ketahuan teman-teman sekelasnya, lalu naik bus dan pulang.
Langit sudah berubah gelap saat Violet tiba di depan rumah. Bangunan berlantai dua itu kelihatan sepi dan suram dengan lampu penerangan di teras yang temaram. Violet menyusuri jalan masuk sambil merogoh saku rok, menemukan kunci rumah lalu memutarnya di lubang pintu dan mendapati kalau belum ada siapa-siapa di dalam.
Tangan Violet menggapai sakelar lampu lalu melepas sepatu. Saat melihat ruang depan, gadis itu menarik napas panjang. Kekacauan tadi pagi sempat terlupa dan kini dia harus segera membereskannya sebelum ayahnya pulang.
Violet meraih celana pendek, kemeja dan kaus kaki yang tumpang tindih di sofa, meletakkannya di keranjang plastik berwarna hijau cerah lalu naik ke lantai dua menuju kamar adiknya, Rosie.
Setidaknya, kamar gadis yang saat ini duduk di kelas dua SMP itu masih lebih baik. Buku-buku berada di tempat yang seharusnya, tidak ada remah-remah kue di atas ranjang dan komputer dalam keadaan mati.
Violet melongok ke pengait pakaian yang terpaku di dinding dan memilah-milah baju. Dia mengambil kaus dan sepasang kamisol lalu keluar dari kamar Rosie. Cewek itu mengucir rambutnya sebelum turun ke ruang cuci dan membagi pakaian untuk dimasukkan ke mesin. Saat kotak besar berwarna putih itu berdengung dan mulai bekerja, Violet kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Tidak banyak yang bisa dimasak dalam waktu singkat jadi Violet mengeluarkan bahan-bahan salad dan menggoreng ayam beku siap saji. Dia memotong-motong tomat dan daun selada di atas papan sambil sesekali menengok ke penggorengan. Tepat ketika semuanya sudah siap, suara mobil ayahnya terdengar di halaman. Tidak lama kemudian, terdengar pintu depan dibuka dan sepatu-sepatu dilepas. Dentum-dentum langkah yang sudah dikenal Violet menggema di penjuru rumah.
“Aku capek banget,” ujar Rosie yang muncul di ambang dapur dan bergegas menghampiri lemari es. Napas gadis itu sedikit tersengal dan masih ada keringat yang mentes di salah satu pipi.
“Latihan?” tanya Violet, berusaha terdengar wajar sambil menyembunyikan tangan yang diperban ke balik celemek. Rosie mengangguk sambil menenggak jus jeruk dari karton. Cewek berbadan bongsor dengan rambut tergerai sampai pinggang itu mengembalikan kotak jus dan naik ke lantai dua setelah menyambar semangkuk salad dari atas meja.
Mr. Moon—ayah Violet—melintas dengan muka tampak letih. Pebisnis yang bekerja di kantor pusat di Bristol itu membawa tas kantor hitam dan beberapa kertas menyembul keluar seolah ingin bebas. Mr. Moon melepas dasi sembari terus berjalan dengan jas kelabu tersampir di lengan.
“Makan malamnya sudah siap,” ujar Violet ketika melihat ayahnya tidak masuk ke ruang makan.
“Kalian makan saja. Aku tidak lapar.”
Dan Mr. Moon menghilang ke ruang kerja sementara Violet menatap hampa pada mangkuk salad yang tersisa dan ayam goreng di atas meja makan, kelihatan menyedihkan. Mendadak, selera makannya hilang. Dia mulai membungkus piring berisi ayam dalam warna cokelat keemasan itu dengan plastik dan meletakkannya di lemari es. Violet menarik kursi dan duduk dalam diam. Hanya suara renyah selada yang dikunyahnya yang memecah keheningan.