AKAN ada satu dua perubahan ketika manusia mengalami fase kehilangan. Seperti merayakan dengan cara yang berbeda dan meratapi dalam rasa yang sama. Mungkin, menghargai satu dua kepemilikan yang singgah menjadi atensi lebih menarik untuk diulik. Sebab, kehilangan memang memberi luka sekaligus pengajaran berharga.
Ergantha tersadar bahwa semua pilihan hidup yang ia pilih tak pernah benar-benar membuatnya puas. Ia kerap mencari pengalihan diluar rumah atau bersenang-senang dengan ribuan hal sesat seperti alkohol dan club' malam, nyatanya itu tak benar-benar membantu. Jika dipikr-pikir, selama ini hidupnya tak bertumpu dengan benar. Hidup dalam tumpuan tanpa tepian bagaikan hidup di pinggir jurang, penuh resiko yang akan berujung pada penyesalan.
Luka batin dan luka pengasuhan memang berangsur pulih secara bertahap meski tak seluruhnya terobati. Namun kini Ergantha menemukan solusi. Takdir yang berjalan harus ia hadapi dengan sedikit lebih berani. Ia tak akan menjadi pecundang yang mencari pelarian lagi.
Keadaan Pati yang sadar dari koma, membuat Ergantha mulai mencoba belajar menghargai takdir yang tengah berjalan. Tak peduli bentuknya seperti apa ia akan belajar, selagi menautkan harapan kepada Sang Pemilik Semesta. Kondisi Pati yang membaik membuat Ergantha menghubungi Adzkan. Ergantha pikir, Adzkan yang mengetahui kondisi Pati bisa mengurungkan niat untuk pergi, sayangnya ia itu tetap pada pendiriannya. Laki-laki itu mengunjungi Pati beberapa jam sebelum keberangkatannya menuju Singapure.
Adzkan bercengkerama bersama Pramana sebentar, kemudian berpamitan kepada Pati. Melihat hal itu membuat Ergantha berinisiatif mengikuti Adzkan sampai ke luar parkiran. Setidaknya ia harus melakukan usaha terakhir agar dapat di kenang meskipun mungkin ini pertemuan terakhir mereka.
"Mas Adzkan!" panggil Ergantha berlari kecil.
Adzkan memandang heran Ergantha yang tengah mengatur nafas di depannya. "Barang saya ada yang ketinggalan?" tanyanya
"Ini..." Ergantha mengulurkan sebuah paper bag kepada Adzkan. "Kenang-kenangan buat Mas Adzkan," lanjut Ergantha begitu menetralkan nafas yang ngos-ngosan.
"Saya rasa ini terlalu berlebihan," kata Adzkan begitu melihat jam dengan merek ternama di dalam paper bag.
"Hadiahnya enggak mengundang fitnah, karena aku juga kasi Kak Najwa persis seperti yang Mas Adzkan terima," mendengar itu Adzkan terkekeh geli.
Ergantah cukup mengenal laki-laki ini. Mana mau ia menerima hadiah dari seorang perempuan secara sembarang. Sudah pasti karena takut mengundang fitnah dan memberi sebuah harapan.
"Kalau begitu izinkan saya memberikan kamu ini," Adzkan mengeluarkan sebuah sapu tangan dari dalam sakunya. "Masih baru, belum pernah dipakai siapapun, meskipun nlainya tidak sebanding dengan jam tangan yang kamu berikan. Kenang-kenangan dari saya ini insyaallah tidak mengundang fitnah, karena Pati dan Makkih juga pernah saya berikan secara cuma-cuma."
Ergantha memutar bola mata, 'Mengundang fitnah juga enggak apa-apa,' batinya.
"Apa ada hal lain yang ingin kamu sampaikan?" tanya Adzkan.
"Kayaknya aku beneran suka sama Mas Adzkan..." kata Ergantha dengan suara mengecil sejenak mengambil jeda. "Tapi lupain aja. Aku mau berterima kasih karena sudah mau jadi tumpuan aku selama ini,"
Adzkan menatap Ergantha dengan tatapan yang Ergantha sendiri tak bisa jabarkan. Ingin rasanya Ergantha mengakui bahwa tatapan itu tatapan tak ingin merelakan meskipun itu hanya perandaian Ergantha semata. Cukup lama saling berpandangan sampai dengan Ergantha berdehem melarikan pandangan ke sembarang arah. Adzkan yang tersadar mengusap lehernya tak nyaman.
"Jangan menjadikan saya sebagai tumpuan kamu, Ergantha. Saya hanya manusia, dan manusia itu bukan tempat untuk bertumpu."
"Apa itu artinya aku juga enggak akan pernah bisa bergantung kepada Mas Adzkan?"
"Saya rasa kamu sudah tahu kepada siapa kamu harus bertumpu dan kamu pasti lebih tahu siapa yang paling berhak kamu tempatkan sebagai harapan."
Ergantha tersenyum getir. Pada akhirnya perasaannya hanya tarik ulur tanpa ada sambutan yang sama. Perasaan ini hanya berjalan pada satu sisi. Meski begitu, Ia menyukai Adzkan yang berhasil merusak mimpi sesaatnya. Ia menyukai Adzkan yang selalu memberikan pandangan positif perihal takdir yang selalu ia tentang. Ia juga menyukai Adzkan yang menyukai perempuan lain. Rupanya, Ergantha menyukai Adzkan sejadi-jadinya.
"Kalau begitu, izinin aku berterima kasih karena Mas Adzkan sudah menjadi perantara untuk aku bisa menemukan tumpuan," seru Ergantha memberikan senyum terbaiknya.
"Terima kasih kembali karena sudah terlahir sebagai Ergantha," balas Adzkan yang juga memberikan senyuman terbaiknya.
Bagi Adzkan, mereka harus berpisah meski dalam orbit yang sama. Apapun diantara mereka harus dihentikan sebelum dirinya semakin jauh mendayung untuk mendekat. Baik ia dan Ergantha harus memiliki ruang sebelum menjemput takdir yang sama.
Sedang bagi Ergantha, ini perpisahan yang singkat, membekas dan pedih namun akan ia simpan dengan perasaan yang paling hangat. Perjumpaan yang sejatinya dimulai dari ketertarikan menjelma menjadi sebuah romantika tanpa aksi. Ergantha dengan segenap perasaan yang hancur akan kembali memantaskan diri meski mungkin mereka tak bisa berakhir bersama.
Adzkan, laki-laki yang menghantarkan Ergantha pada tumpuan bertepi, laki-laki yang nantinya akan selalu Ergantha sisipkan dalam memori ingatan dan mungkin, hanya sampai disana. Sebab Tuhan, adalah satu-satunya tumpuan nyata yang selama ini ia cari, satu-satunya tumpuan bertepi yang Ergantha butuhkan.
THE END