Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumpuan Tanpa Tepi
MENU
About Us  

RIUH, gemuruh diantara puing-puing suara hujan yang tengah berjatuhan. Matahari tengah berganti dengan rembulan. Pekatnya malam hadir di tengah udara yang berhembus.

Ergantha melarikan pandangan menatap jendela rumah sakit, ia kembali ke dalam ruang rawat Pati dengan Papa yang masih bekerja membolak-balik dokumen. Baru kali ini Ergantha melihat penampilan Papa saat bekerja. Kerut dahi dengan wajah menukik tajam syarat akan fokus. Mungkin kehadirannya juga tak disadari.

Rasanya tak tenang setiap kali ia harus pulang dengan Pati yang masih memejamkan mata. Banyak prasangka buruk yang akan hadir jika Ergantha berada dalam jarak jauh. Ia tak pernah suka dengan keberadaan Pati, tapi ia lebih tak kuasa jika Pati benar-benar tak ada.

Darah yang mengalir membuktikan bahwa sekental apapun benci yang ia tanam, akan ada sebuah perasaan hangat yang susah dijabarkan.

"Pa..." Ergantha memanggil hati-hati. Duduk di sofa yang bersebrangan begitu melihat Papa menutup dokumen terakhir.

Papa melepas kacamata, menelisik Ergantha dengan tatapan tajam, "Kenapa?" Tanyanya.

"Aku mau lihat keadaan Mas Pati sampai siuman, setelah itu baru aku akan ke Bandung." Kata Ergantha meminta izin.

Pramana ingat jelas ekspresi ketakutan Ergantha yang hanya terlihat disaat istrinya terkapar di rumah sakit. Dulu, saat ia mengurung Ergantha tak pernah sekalipun Ergantha memasang wajah ketakutan, sekalipun di kurung dalam ruang bawah tanah tanpa penerangan. Kini wajah anak perempuannya tak jauh berbeda, tak tenang dengan wajah datar yang dipaksakan.

"Pati akan baik-baik saja..." Kata Papa seolah menenangkan.

"Papa juga bilang begitu, saat detik-detik Mama ninggalin semuanya."

Hening sejenak, dengan pikiran mereka masing-masing. Sakit yang sama dengan penjabaran yang berbeda.

"Bukan salah kamu..." Kata Papa datar, menatap langit-langit atap rumah sakit. "Meskipun hari itu Mama tidak menyetujui ajakan berenang di Pantai bersama, dia tetap akan pergi-karena Tuhan lebih sayang sama Mama kamu lebih dari Papa."

Baru kali ini Ergantha mendengar Papa berucap tanpa ada guratan tajam dan menghakimi.

"Mama kamu itu, mungkin akan memarahi Papa jika tahu anak-anak kesayangannya tidak berhasil Papa didik." Ujar Pramana tersenyum kecut membayangkan keluarga hangatnya yang dulu.

"Mungkin Papa akan diberikan tatapan paling menjengkelkan, atau mungkin Mama kamu tidak mau melihat Papa lagi." Ergantha tahu, Papa sangat mengasihi Mama melebihi apapun.

"Dan aku bakalan ngadu ke Mama semua hal buruk yang aku simpan sendiri." Balas Ergantha seakan bersikap acuh.

"Tidak ada orangtua yang akan senang melihat anak perempuannya mendekat pada hal zina." Papa berucap dengan nada tak terima untuk disalahkan sepenuhnya.

"Enggak bakalan ada anak perempuan yang bakalan cari kasih sayang di luaran sana kalau orangtuanya sudah mencukupi." Balas Ergantha menyindir, tak ingin kalah.

"Kamu pikir Papa bekerja keras demi kelangsungan hidup siapa-Hanya demi kalian berdua, sekalipun Papa tidak pernah dihormati."

"Buat apa bisa hasilin duit tapi enggak pernah ada buat anak-anak sendiri."

"Fasilitas yang kamu gunakan sampai saat ini, hasil jerih payah Papa yang tidak pernah libur sekalipun dalam keadaan sakit. Papa hanya ingin kamu dan Pati hidup berkecukupan, dan kamu dapat diihargai sebagai perempuan dengan semestinya."

"Gimana bisa dihargai sama orang-orang, kalau di keluarga sendiri aja aku enggak di hargai sama sekali."

"Kamu harus bisa menghargai diri sendiri, tanpa perlu menunggu penghargaan orang lain."

Mereka berdebat dalam intonasi datar, menyindir tanpa berapi-api. Membandingkan antara jerih payah dan luka siapa yang paling hebat. Tak ingin saling menyakiti namun ingin dipahami. Ibarat air dan api yang berharap bisa menyatu.

Hal yang paling Pramana khawatirkan adalah Ergantha. Ketika anak perempuannya pulang dalam keadaan mabuk, ketika anak perempuannya terlihat bergelut manja dengan seorang laki-laki asing.

"Papa izinkan kamu menunggu Pati sampai dia siuman." Seru Papa menutup perdebatan mereka. Berdalih mencari angin segar meninggalkan Ergantha dalam ruang rawat Pati.

Berdebat dengan Papa memang akan selalu membawa emosi Ergantha kembali tak stabil. Amarah, benci serta dendam yang tertahan seperti akan meledak jika sedikit saja emosi Ergantha tergores. Ia tak tahu apa yang membuatnya tak bisa memadamkan api yang membakar dalam diri. Terlanjur menyimpan luka dalam sebuah pengasuhan tanpa adanya rasa kasih sayang yang setimpal.

Kali ini, ada setitik perasaan lega begitu Ergantha memaparkan sedikit emosi yang ia tanam sendiri.
Ergantha memang tengah mencoba berdamai dengan luka masa kecilnya. Meski segalanya tak pernah terasa mudah.

"Tha..." Seruan lemah dari seberang tempat Pati berbaring terdengar jelas ke telinga Ergantha.

Mendekat, Ergantha memastikan suara yang ia dengar tadi berasal dari Pati.

"Suara kamu sama Papa masuk ke dalam mimpi..." Kata Pati dengan mata yang masih tertutup.

"Masih belum maafin Papa?" Pati membuka mata perlahan dengan suara yang masih melemah.

"A-aku-" Ergantha tergagap tak kuasa melihat Pati yang membuka mata. Dalam keadaan lemah tak berdaya begini, kakak laki-lakinya itu masih mencoba tersenyum tipis dengan jenaka.

"A-aaku... A—aku panggil dokter dulu." Ergantha bergegas keluar. Ia takut Pati memejamkan mata kembali.

Merapalkan doa sepanjang Pati diperiksa, Ergantha tak ingin merasakan kehilangan yang kedua kali. Kali ini Ergantha berjanji mencoba menerima hidupnya yang tak sempurna.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags