Read More >>"> Tumpuan Tanpa Tepi (Chapter 45) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumpuan Tanpa Tepi
MENU 0
About Us  

KEHILANGAN sosok perempuan yang paling dicintai seperti mimpi buruk yang ingin dikubur dalam-dalam. Istri sekaligus ibu dari anak-anak yang tak dapat ditandingi dengan apapun. Tak ada kata yang tepat mengabarkan duka dari arti sebuah kehilangan. Sedih, perih, sesak—ketiga simbol kehilangan itu bahkan tak bisa menjabarkan bagaiman runtuhnya dunia Pramana.

Harus hidup di tengah kenyataan kehilangan sang istri. Berjuang dalam titik kewarasan yang hampir tak berbentuk. Pati dan Ergantha, satu-satunya alasan Pramana dapat berdiri kembali. Anak-anak yang ia cintai dan kasihi tanpa alasan.

Pramana sadar, luka lebih dulu tumbuh dalam jiwa kedua anaknya. Ia yang terlalu lama mengabaikan Pati, hingga anak laki-lakinya hampir menjadi pecandu. Ia yang enggan memandang anak perempuannya sebab terlampau mirip dengan mendiang sang istri, hingga Ergantha menjadi si pembuat onar.

Pati yang mulai beranjak remaja, menjadi pemuda penuh ranjau. Melakukan hampir segala macam kenakalan remaja. Melarikan diri ke rumah Eyang sampai pulang dalam keadaan mabuk. Hal ini membuat Pramana memutuskan Ergantha dan Pati harus dididik secara terpisah.

Keputusan yang ia pikir sebuah solusi, nyatanya menjadi boomerang yang secara perlahan meledak tanpa pasti. Berakibat pada Ergantha, anak perempuan satu-satunya menjadi sosok yang kehilangan arah.

Memang apa yang bisa dilakukan seorang Ayah disaat sang anak tak lagi menatapnya dengan hangat selain menunjukkan kekuasaan yang ia miliki. Menjadikan sifat otoriter dan tak ingin dibantah sebagai tameng bahwa ia bisa berhasil membesarkan kedua anak-anaknya.

Sekali lagi, keputusan yang Pramana bentuk bukanlah sebuah solusi. Kembali menorehkan luka yang kian mendalam.

Pramana selalu terbayang jika saja saat itu ia pulang lebih awal, mungkin sang istri tak akan mati sia-sia hanya karena menyelamatkan Ergantha yang akan tenggelam. Mungkin kedua anaknya akan lebih terarah, mungkin Ia dan Ergantha tak akan dihantui rasa bersalah. dan mungkin ia tak akan kehilangan dirinya sendiri.

Tujuh tahun silam, Pramana kehilangan segalanya—Istri, anak dan dirinya sendiri.

****

Ergantha menghabiskan liburan semester dengan mengunjungi Pati di rumah sakit. Sudah tiga hari semenjak di Operasi Pati belum sadarkan diri. Terpasang gip di kaki dan tangan, dengan kepala yang berbalut perban. Tak ada lagi raut jenaka dan jail yang terpahat.

"Kapan kamu kembali ke Bandung?" Tanya Papa yang tengah sibuk memeriksa dokumen. Laki-laki paruh baya ini masih menjadi pekerja yang tak kenal waktu dengan rutin mengunjungi Pati di jam makan siang.

"Lusa." Kata Ergantha membenarkan infus.

Hening, terdengar lembaran yang di bolak balik tak sabar dari Papa dengan Ergantha yang sibuk dengan ponsel. Mereka hanya berbicara seperlunya tanpa basa-basi untuk mengisi hampa.

"Sudah makan?" Tanya Papa bernada datar. Ergantha mengerjap, butuh waktu untuk menjawab pertanyaan Papa.

Kapan terakhir kali Papa menanyakan hal remeh seperti ini...

"Kamu sudah makan?" Tanya Papa sekali lagi.

"Belum laper." Balas Ergantha singkat.

"Manusia butuh makan, bukan menunggu kapan ingin untuk makan." Papa menatap Ergantha, melepaskan berkas dokumennya.

Menghela nafas, Ergantha beranjak dari kursi. Ia tak ingin berdebat lebih jauh dengan Papa.

Ergantha tak benar-benar pergi mencari makanan. Ia hanya duduk di luar ruangan Pati di rawat. Menatap jendela yang langsung terhubung menuju halaman rumah sakit. Menerka takdir apa yang tengah menunggunya di masa depan.

"Sudah makan?" Ergantha terperanjat, memegang dada syarat akan kekagetan.

Melihat sosok laki-laki disebelah kiri  yang duduk berjarak dua bangku dari tempat Ergantha, kupu-kupu yang tengah berduka seakan kembali mengepakkan sayapnya.

"Mas Adzkan mau jenguk Mas Pati?" Ergantha bertanya.

"Saya mengunjungi Pati sebelum kamu datang. Tadi saya hanya bertemu Om Pramana dan lupa memberikan dokumen penting perihal penutupan Bengkel." Adzkan menjelaskan. "Lusa saya berangkat ke Singapure."

Lusa Ergantha juga akan kembali ke Bandung. Itu artinya mereka tak bisa bertemu lagi. Entah dalam jangka waktu berapa lama.

"Kenapa kamu disini?" Tanya Adzkan.

"Recharge." Balas Ergantha singkat.

"Mau mendengar kisah seorang anak laki-laki yang sangat malang?" Tanya Adzkan. Ergantha tersenyum kecil, teringat akan dirinya ketika menghibur Adzkan dikala sedang berduka.

"Apa?" Sahut Ergantha berlagak penasaran.

"Pernah ada sebuah keluarga yang terlihat sempurna. Ribuan orang menyanjung betapa hebatnya bisa terlahir dalam keluarga mereka."

"Tapi banyak orang yang tidak tahu ujian apa yang di lalui oleh mereka. si Ibu mengalami kecelakaan dan meninggal, si Ayah mengidap tumor, pun meninggal," Adzkan menjeda.

"Tersisa si anak perempuan yang seumur hidupnya tak bisa lepas dari insulin dan si anak laki-laki yang tak bisa lepas dari bayang-bayang keluarga mereka."

Ergantha tahu, Adzkan tengah menceritakan keluarganya sendiri yang selalu membuat Ergantha iri.

"Seenggaknya keluarga mereka solid meskipun diuji dalam kondisi seperti itu." Ergantha bersuara.

"Tahu darimana? Memang kamu bagian dari keluarga itu?"

"Aku cukup tahu dari hasil didikan orang tua mereka. Anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang hebat."

"Pribadi yang hebat tidak terbentuk tanpa adanya ujian, Ergantha." Kata Adzkan menambahkan.

"Setiap keluarga akan selalu terkesan hebat dari luar. Kenyataannya mereka hanya sekumpulan manusia yang berjuang pada takdir yang tengah berjalan."

Ergantha tak tahu mengapa ia harus menjalani takdir yang hangat sekaligus mendingin dalam satu waktu. Ia ingin kembali menikmati masa-masa makan bersama tanpa harus tercekat. Kehangatan dalam keluarga yang selalu ia rindukan.

"Ketidaksempurnaan hidup itu memang milik seluruh manusia, Ergantha... Kita hanya menjalani takdir yang berbeda dengan takaran yang sesuai dari Allah."

"Jadi, aku harus apa untuk menyikapi takdir yang aku sendiri enggak paham ujungnya apa?"

"Cukup berikhtiar dan sisanya serahkan kepada Allah. Enggak ada jawaban yang tepat selain kamu harus berusaha menyikapi takdir dengan sebaik mungkin, kemudian berdoa meminta pertolongan kepada yang Maha Kuasa."

"Tapi aku enggak bisa selapang Nabi Musa yang berani melawan Fir'aun. Aku juga enggak bisa selapang Maryam ketika dia dikucilkan dan di tuduh berzina."

"Maryam juga berdoa agar hatinya dilapangkan. Begitu pun dengan nabi Musa... Lantas siapa kita yang hanya sebagai manusia akhir zaman bertindak sombong enggan meminta pertolongan Sang Kuasa."

Ergantha menatap Adzkan lama. Segala apapun yang terucap dari mulut Adzkan tersampaikan dengan baik di hati Ergantha. Tampan, dewasa dan menawan. Ergantha ingin menjadikam Adzkan sebuah rumah, yang mana tempat berpulang  ternyaman.

Adzkan selalu berhasil membawa Ergantha ke dalam arus untuk semakin giat menemui Allah. Seluruh lapisan elemen dalam jiwa Ergantha luluh hanya karena satu dua kata nasihat dari Adzkan.

Ergantha tak salah lagi, ia yakin perasaannya benar-benar menginginkan Adzkan sebagai tempat berlabuh. Sekalipun itu harus di tempuh dengan menikah.

"Kayaknya aku beneran jatuh cinta sama Mas Adzkan." Seru Ergantha tanpa melepaskan tatapan. "Kalau aku minta Papa buat lamar Mas Adzkan untuk aku, kira-kira bakal di tolak enggak?"

Adzkan terbatuk. Ia tengah meneguk segelas kopi kaleng dengan Ergantha yang bersuara tanpa permisi.

"Bercanda..." Kata Ergantha melarat begitu melihat alis Adzkan hampir menyatu. Ia belum sanggup di tolak.

"Tidak lucu." Balas Adzkan kembali meluruskan tatapan tanpa melihat Ergantha.

"Kalau yang tadi beneran, Mas Adzkan memang mau jawab apa?" Tanya Ergantha menggoda.

"Sudah pasti saya tolak!"

Memang kapan, Adzkan mengizinkan Ergantha berangan-angan lebih jauh...

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags