Read More >>"> Tumpuan Tanpa Tepi (Chapter 43) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumpuan Tanpa Tepi
MENU
About Us  

"KAMU beneran mau pake hijab, Tha? Enggak bakalan di lepas, 'kan?" Enam bulan berlalu dan Pati baru menampakkan diri hari ini. Menjemputnya hanya karena satu panggilan dari Adzkan.

Ergantha bisa bersabar kepada lelahnya belajar, bersabar untuk tidur hanya beberapa jam ataupun bersabar untuk menahan rasa lapar. Namun bersabar kepada keluarga sendiri, itu masih sulit. Emisi kekecewaan terlanjur menyulut, mengalir dalam setiap darah yang mengalir.

"Kamu enggak niat aneh-aneh, kan? Enggak salah ikut aliran, kan?" Ergantha menatap rintikan hujan yang masih terus bergulir dari dalam mobil tak berniat mengubris pertanyaan dari Pati.

"Kamu lagi ngambek karena enggak pernah Mas kunjungin?" Pati melirik Ergantha, mencoba membaca raut muka si adik keras kepalanya.

"Enggak usah kepedean!"

"Kamu enggak ada niatan tanyain kenapa Mas kamu yang ganteng ini enggak pernah nemuin adiknya?"

Ergantha terdiam, malas untuk mengubris. "Tha... Tanya dong!"

"Tenagaku udah terkuras banyak hari ini." Dahi Pati hampir bersatu mendengar penuturan Ergantha yang terdengar tak bersemangat. "Mas Pati sibuk sama bengkel, ya udah aku paham."

"Ngambek nih?" Tanya Pati menggoda.

Ergantha tak membalas, fokus ia alihkan kepada rintikan gerimis dengan langit yang masih mendung. Hujan dan Adzkan membuat hati Ergantha tak karuan. Kemalut dalam gundah sebab dari sebuah perasaan yang tertolak.

"Mas minta maaf." Ujar Pati bernada serius. "Adzkan Minggu ini resign, jadi harus cari Teknisi handal untuk setiap cabang dari bulan lalu. Mas juga harus nanganin berkas keuangan yang sempat di korupsi sama beberapa oknum staff."

"Kenapa?" Ergantha mengernyit menatap Pati.

"Adzkan punya pengaruh yang besar di setiap Bengkel—Teknisi sekaligus merangkap sebagai konsultan di Bengkel."

"Maksudku kenapa Mas Adzkan mau resign?"

"Om Tama minta Adzkan ngehandle perusahaan mekanik yang udah dari lama harusnya Adzkan ikut gabung."

"Om Tama partner kerjanya Papa?" Ergantha terkaget.

"Adzkan juga punya saham di perusahaan Om Tama, meskipun enggak seberapa tapi pengalamannya terbilang lumayan untuk ukuran teknisi dan konsultan mekanik. Dua tahun yang lalu dia sempat kerja di Singapure, tapi karena almarhum Apih sering sakit-sakitan dan Najwa juga punya riwayat penyakit jadi Adzkan mutusin buat balik ke Indonesia."

Ergantha tak paham, kepalanya tak bisa memuat informasi yang tak jelas begini.

"Om Tama itu adiknya Almarhum Pak Kurniawan. Tapi hubungan mereka enggak begitu baik, kecuali dengan Adzkan dan Najwa." Kata Pati menjelaskan lebih lanjut.

Hubungan Adzkan dengan keluarga yang terbilang terpandang itu terikat dekat. Satu sisi melihat kehidupan Adzkan dan Najwa yang terlampau sederhana tak menunjukkan mereka dalam naungan keluarga yang terpandang.

"Besok kita harus ke Jakarta." Seru Pati mengalihkan topik pembicaraan.

"Ngapain?" Sensi Ergantha.

Enam bulan hidup tenang tanpa gangguan Papa, harus tetap berjalan konsisten. Iman tak seberapa sudah diminta kembali ke Medan perang. Bisa-bisa emosi yang tengah berdamai hadir kembali dalam diri Ergantha.

"Kata Mbok Min Papa jatuh dari kamar mandi."

"Harusnya dokter yang di panggil... Lagian kalau Mas Pati mau ke Jakarta, kan juga bisa sendiri." Balas Ergantha ogah-ogahan.

"Tha..." Pati menegur. "Bakti anak kepada orang tua itu harus selalu ada, entah terlahir dari orangtua yang seperti apa."

"Ya udah Mas Pati aja yang berbakti, aku titip!"

Pati menepikan mobil, membuka jendela. Ia pikir Ergantha sudah memaafkan segalanya. Adiknya sudah lebih dekat kepada Allah, berpakaian layaknya seorang muslimah bahkan kini jarang terdengar umpatan lagi.

"Kamu mau sampai kapan dendam sama Papa..." Pati mengguyur rambut. Ia lelah dengan Ergantha yang selalu saja begini. 

"Walaupun Papa pernah salah sama kamu, kenyataan terlahir dan dihidupi Papa selama belas tahun enggak bisa kamu pungkiri... Papa memang pernah salah, tapi kamu yang dendam terus-menerus begini enggak menyelesaikan apapun!" Tegur Pati tak suka akan Ergantha yang terus mendendam.

"Ngebangun keluarga kita dari awal dan kembali hangat seperti saat Mama ada." Ergantha mencemooh Sarkas. "Itu, kan, yang Mas Pati mau? Sayangnya Papa udah enggak pernah anggap aku anak setelah Mama enggak ada!"

"Enggak ada orang tua yang enggak sayang sama anaknya, Tha. Percaya sama Mas, kalau Papa itu sayang sama—"

"Mas Pati memang tahu rasanya di kurung seharian dalam ruang bawah tanah... Dibentak di depan banyak orang dan selalu di remehkan di setiap kondisi?!" potong Ergantha emosi. "Mas Pati enggak tahu apapun yang aku alami selama tinggal sama Papa!"

"Mas Pati tahu Papa mulai menaruh perhatian sama aku kapan?!"

"Clubbing, alkohol, rokok dan pulang dalam keadaan mabuk! Cuma dalam kondisi tersesat begitu Papa baru mulai sadar sama kehadiranku!"

Tak ada yang indah dari masa anak-anak yang Ergantha miliki. Sepanjang hari ia dipandang kasat mata oleh Papa. Menuju remaja hidupnya mulai penuh pengekangan, sebab ketahuan menyimpan bir. Kemudian tak boleh ini dan itu. Awalnya Ergantha suka atensi yang ia anggap sebagai perhatian dari sosok laki-laki yang harusnya menjadi cinta pertama. Lambat laun segalanya terasa sesak.

"Terus mau sampai kapan kamu protes sama semua hal yang udah terjadi?!" Bentak Pati ikut tersulut emosi.

"Bukan cuma kamu yang berjuang sama takdir sialan ini! Bukan cuma kamu yang hidupnya paling menderita! Bukan cuma kamu yang benci terlahir dari orangtua yang enggak jago mendidik!"

Habis! kesabaran Pati sudah benar-benar tak bersisa. Papa memintanya mengurus Perusahaan keluarga, beberapa cabang bengkel miliknya harus ia tutup beberapa dan kini ia harus meladeni Ergantha yang merajuk dalam luka. Susah sekali membuat anggota keluarganya menjadi satu.

"Semua orang  berjuang dalam takdir yang mereka jalani, Tha... Ribuan manusia juga punya luka dan enggak selamanya luka itu harus disimpan!"

Ergantha melongos, mengalihkan tatapan ke arah luar mobil. Segala hal terasa rumit. Dendam, perasaan hangat, kasih sayang serta luka tercampur dalam jiwa yang tak lagi utuh. Kesal kepada takdir yang tak pernah mendukung, kepada Papa yang tak bisa di benci sepenuhnya, kepada Pati yang mengobati luka tanpa permisi.

"Besok kita tetep ke Jakarta!" Putus Pati tak ingin digugat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags