Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumpuan Tanpa Tepi
MENU
About Us  

KEGIATAN di Pesantren dimulai sejak jam 4 subuh, diawali sholat tahajud dan sholat subuh berjamaah. Membaca Al-Qur'an setiap pagi dan setelahnya Ergantha akan pergi berkuliah. Jangan tanya raganya selelah apa. Kegiatan yang membuat raganya tak henti bekerja seperti tengah membangun pondasi agar tak mencari bir dikala penat. Enam bulan berada di Pesantren, tiga bulan juga Alkohol tak pernah tersentuh.

 

Mengambil kopi kalengan dalam lemari pendinginan. Menempati tempat duduk yang langsung berhadapan dengan jalan raya. Minimarket ini sepeti tempat ternyaman untuk Ergantha melepas penat. Tak jarang ia juga berharap agar bisa bertemu dengan Adzkan. Menyesap dengan sekali teguk, ekspresi Ergantha masam tak suka. Kopi, tak sesuai dilidahnya.

"Sekarang kamu berubah haluan jadi pecinta caffein?" tersenyum sumringah semangat Ergantha terasa terisi.

"Mas Adzkan ngapain disini?" Ergantha berbasa-basi.

"Makan siang." Adzkan menunjukkan onigiri dan kopi kaleng yang baru saja ia beli.

"Mas Adzkan sesibuk apa sampai makan siang di minimarket."

"Saya baru pulang dari luar kota, jadi hanya sempat ganti baju dan harus mencari makan siang yang paling instan agar bisa tepat waktu sampai Bengkel." Adzkan menjelaskan menarik kursi disamping Ergantha. "Gimana di Pesantren?"

"Capek!" Ergantha merosotkan bahu, menghela nafas. "Tiap hari aku harus bangun sebelum subuh, belum sama tugas kuliah, belum juga sama pelajaran tambahan di Pesantren. Rasanya aku lebih sibuk dari DPR!"

Tertawa kecil, Adzkan membuka onigirinya. "Tapi kamu betah?"

"Lumayan, jauh lebih baik daripada harus perang urat sama Papa."

"Setelah enam bulan disana sepertinya membuat kamu resign mencari Bir," sindir Adzkan melihat Ergantha yang tengah memegang kopi.

"Kalau kata Ummu Fatih, dosanya lebih besar daripada manfaatnya."

"Jadi sekarang sudah tahu, surah mana yang mengharamkan khamar?"

"Al-Maidah ayat 90...Sesungguhnya minuman keras, berjudi, berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan," tutur Ergantha meneguk kopi, kembali memasang wajah masam begitu lidah mencecap. "Aku sampai hafal saking seringnya Ummu Fatih ngulangin hal yang sama."

Enam bulan berada di Pesantren, dunia yang Ergantha tempati terasa berbeda—bangun pagi dengan kegiatan spiritual. Enam bulan juga ia mendengar Ummu Fatih memberikan kuliah tentang larangan minuman Khamar di dalam Al-Qur'an.

"Yang ini tidak sepahit kopi kamu." Adzkan menukar kopi kaleng miliknya dengan Ergantha.

"Ini juga enggak enak!" seru Ergantha begitu mencicipi kopi kalengan dari Adzkan—hampir tak ada bedanya.

"Lidah kamu mungkin tidak cocok dengan kopi jenis apapun. Jangan dipaksakan kalau kamu tidak suka."

"Tapi semua orang dewasa sepantaran Mas Adzkan dan Mas Pati selalu minum caffein. Temen-temen seumuranku juga mulai belajar buat minum kopi."

"Kamu mau ikut-ikutan, supaya dianggap dewasa?" Adzkan mengeryit, berniat mendebat stigma dewasa dalam pikiran Ergantha.

"Kalau bisa, kenapa enggak—kelakuan orang dewasa memang begitu, kan... Melakukan hal-hal yang terbilang membosankan."

"Membosankan tapi membuat kamu tertarik dalam dunia mereka," bibir Adzkan menarik seulas senyuman.

"Meskipun ngebosenin, seenggaknya dewasa itu punya privilage untuk dipercaya. Dapat wewenang tanpa harus diatur ini dan itu."

"Dunia orang dewasa tidak semenarik itu, Ergantha. Mungkin, nanti setelah kamu berada dalam fase dewasa, ada saat-saat ingin kembali menjadi anak kecil, kembali menjadi remaja yang tak perlu risau akan banyak hal."

"Masa kecilku terlalu kelam buat diulangi. Masa remaja yang tersesat juga apa bagusnya buat dirindukan... Enggak ada yang menarik selain menjadi dewasa yang keren."

Jika ada yang bertanya apa yang menarik dari diri Ergantha, sudah jelas karena sifat lugas dan rasa penasaran yang selalu berapi-api. Sosok perempuan beranjak dewasa dan keras kepala ini, seperti memberi alarm peringatan kepada Adzkan. Bahwa Ergantha bukanlah anak kecil yang bisa dianggap adik lagi, bukan juga seorang remaja yang butuh uluran tangan.

Ergantha beranjak dewasa dengan pesona yang berbeda.

Menghabiskan onigiri, harusnya tak berlangsung lama. Tapi Adzkan butuh waktu lebih lama hanya untuk sekedar mendengar isi kepala Ergantha yang beraneka ragam. Saling mengomentari satu sama lain, dengan menikmati langkah para pengunjung minimarket yang berlalu-lalang—seperti salah satu pengisi daya ditengah dunia yang sibuk.

"Kamu tahu arti dewasa itu seperti apa?" Adzkan mengigit potongan terakhir onigiri.

"Bijak, bertanggungjawab dan berumur 20 tahun ke atas." Jawab Ergantha lugas. Menjabarkan pengetahuannya yang pendek.

"Dewasa itu bukan hanya perihal umur... Dengan mampu mengendalikan emosi dan bisa bertanggung-jawab, seseorang sudah bisa dianggap dewasa—Menjadi dewasa bukan hanya perihal kamu bebas melakukan apapun."

"Seenggaknya menjadi dewasa berarti memiliki akses untuk menentukan pilihan hidup. Seperti kebebasan yang enggak dimiliki sama remaja kayak aku." Ergantha berargumen.

"Memang apa artinya kebebasan untuk kamu?"

"Enggak dikekang!"

"Apa perempuan yang memilih untuk berjilbab artinya mereka tidak memiliki kebebasan—apa laki-laki yang memilih untuk tak bersentuhan dengan lawan jenis juga sebuah bentuk kekangan?" Ergantha terdiam sebentar, memikirkan jawaban atas pertanyaan Adzkan.

"Konteksnya beda kalau itu," protes Ergantha. Padahal ia tengah membicarakan kebebasan yang tak ia miliki tanpa sangkut orang lain.

"Mereka yang berjilbab, ranahnya sudah masuk ke pilihan mereka sendiri, sama seperti laki-laki yang membatasi diri, bukan berarti mereka tidak memiliki kebebasan." Kata Adzkan menjelaskan. "Pilihan mereka tadi, sebagai bentuk cinta kepada Sang Pencipta." Ergantha mengangguk mencoba memahami ucapan Adzkan.

"Bagaimana dengan anak-anak Panti yang memilih untuk memaafkan orangtua mereka—apa itu juga sebuah pilihan?" Adzkan kembali bertanya.

"Itu juga pilihan!" jawab Ergantha percaya diri.

"Memilih untuk memaafkan Papa kamu juga sebuah pilihan?"

"Ya kalau itu—" Ergantha menjeda, menyadari Adzkan membuat analogi untuk menyindir. "Mas Adzkan sengaja ya!"

Adzkan lantas tersenyum puas, "Kebebasan yang kamu sebenarnya ada di kamu, Ergantha. Kamu yang mengekang rasa dendam itu sendiri, kamu juga yang bisa melepaskan dengan memafkan semua kesalahan Papa kamu."

Ergantha menghembuskan nafas kasar, menyender ke kursi. Pembicaraan perihal luka batin dari Papa tak pernah berakhir baik. Sudah lama tak bertemu Adzkan, Ergantha tak ingin suasana menjadi kalut. Jadi ia memilih diam.

"Kamu tahu apa yang Nabi Musa pinta ke Allah saat tengah harus menghadapi Fir'aun?"

"Minta ke Allah supaya Fir'aun tenggelam dengan tongkat ajaib Nabi Musa." Adzkan menggeleng.

"Nabi Musa saat itu mana tahu kalau tongkat yang dia pegang bisa membelah lautan."

"Minta ke Allah supaya Fir'aun mati dengan tragis." Ergantha mencoba lagi.

Adzkan tertawa, "Terkesan kejam."

"Ya terus apa?!" Ergantha tak suka tebak-tebakan yang harus menguras pikiran. Tapi diskusi dengan Adzkan menciptakan suasana romantisme dalam khayalan Ergantha.

"Nabi Musa berdoa ke Allah supaya hatinya dilapangkan untuk menghadapi Fir'aun, setelah itu baru berdoa agar ia dimudahkan melawan Fir'aun." Adzkan menjelaskan setelah tawanya reda.

"Kita sedang membicarakan perihal ridho, Ergantha. Dimana analogi yang kita bahas hanya seputar mencari ridho Allah yang berasal dari sebuah rasa cinta."

"Intinya, apa-apa harus cari ridho Allah, kan..." Ergantha menyimpulkan. Imannya tak setinggi para penghuni surga, ilmunya juga tak ada seujung kuku dari para santriwati di Pesantren.

"Belajar mencintai Allah, Ergantha... Itu PR pertama kamu—Kedua, cintai takdir dari Allah."

"Apa manusia kayak aku masih bisa  cinta ke Allah?" ragu-ragu Ergantha bertanya.

"Cinta ke manusia saja kamu bisa, kenapa sama Allah tidak bisa."

Romantisme yang terjalin melalui diskusi seperti sebuah nuansa hangat dalam musim semi. Seperti sebuah alunan bahasa cinta untuk Ergantha seorang. Jika candu terhadap alkohol hal yang tak disukai Tuhan, apa candu terhadap makhluk ciptaanNya diperbolehkan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags