Read More >>"> Tumpuan Tanpa Tepi (Chapter 37) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumpuan Tanpa Tepi
MENU
About Us  

BAHAGIA, sedih, kecewa-serangkaian emosi yang menghidupi manusia.

Ergantha pernah bahagia, kala dewasa yang ia panggil Mama menawarkan indahnya dunia. Memberikan senyum terindah sampai dengan keluarga terbaik yang pernah ia miliki. Tapi itu dulu, disaat bernafas hal yang paling mudah untuk dilakukan. Kini, untuk berpijak saja, Ergantha tak tahu harus bertumpu pada apa.

Semenjak kepergian Mama-Papa dan Pati berubah. Dimulai dengan Papa yang selalu bekerja tanpa jeda, memasang wajah benci begitu melihat Ergantha. Lambat laut, Pati ikut berubah, menjadi remaja dengan pergaulan seronok, kemudian di bawa pergi oleh almarhumah Eyang untuk berbenah. Tersisa Ergantha yang berumur 10 tahun. Tercekik dan tersiksa oleh kondisi.

Para dewasa-mereka itu kejam, bagi Ergantha saat berumur sepuluh tahun. Mereka si dewasa mengaku berkuasa dan mengekang jiwa yang tengah mencoba tumbuh.

Sampai dengan Ergantha bertemu Adzkan. Laki-laki yang tak menatap rendah kepada siapapun. Laki-laki yang dapat ia kategorikan sebagai seorang pelindung, penengah dan penenang.

Mungkin Ergantha akan membangun impian barunya, seperti menjadikan Adzkan tempat satu-satunya berlabuh. Dimulai dari lebih mendekat ke dalam zona lingkungan Adzkan-menetap di Bandung, hidup di lingkungan yang religius.

"Coba dulu selama satu tahun. Kalau kamu enggak betah disini, Mas bakalan bebasin kemanapun kamu mau."

Ergantha menatap bangunan arsitektur di tengah-tengah asrinya udara sejuk. Tidak buruk, pikir Ergantha begitu Pati mengantarkan sampai ke daerah Pesantren Al-Bara Fathurrahman. Salah satu pesantren yang pendirinya Ustadz Budi dan Opa Hamzah. Tempat dimana dulunya Ibu Dryl mengajar para santriwati.

"Jarak dari sini ke rumahnya kak Jwa, enggak jauh, kan?" Ergantha memastikan.

"Dua puluh sampai tiga puluh menit, jaraknya sama kayak kamu mau ke Kampus Bina Karya." Kata Pati memaparkan. "Ke Panti Buk Menik juga cuma butuh sepuluh menit."

"Kalau bosen di Pesantren kamu bisa main ke Panti ataupun ke rumah Najwa. Tapi harus izin sama Ummu Fatih dulu. Kegiatan di Pesantren juga harus kamu ikuti. Pelajaran Sirah sampai akhlak juga bakalan ada setiap Minggunya."

"Iya, iya! Aku udah hafal sama aturannya." Gerutu Ergantha.

"Kamu yakin serius masuk Pesantren?"

"Emang aku masih bisa nolak setelah sampai disini!"

"Ya enggak bisa lah!" Sangsi Pati. "Inget, jangan malu-maluin Mas yang udah minta izin ke Ustadz Budi dan Ummu Fatih. Jangan main kabur-kaburan juga." Ergantha memutar bola mata, malas mendengar ocehan Pati.

Setidaknya Ergantha lega, ia tak benar-benar harus mendekam 24 jam di dalam pesantren ini. Ia masih bisa leluasa membuka jilbab di saat keluar dari arena pesantren. Dikala waktu yang lain ia akan pergi mengunjungi Adzkan, Najwa dan Anak-anak Panti.

Pesantren tak seburuk itu, Ergantha mensugesti diri.

"Mas kayaknya enggak bisa nemenin kamu lama-lama. Hari ini nikahannya Najwa sama Makkih." Langkah Ergantha mendadak terhenti diikuti oleh Pati.

"Biar Mas aja yang hadirin, kamu disini aja. Ummu Fatih udah nungguin di ruangan beliau."

"Aku mau ikut!" Seru Ergantha bersikeras.

"Tha, nikahannya Najwa digelar di rumah sakit." Ergantha mengernyit tak paham. "Pak Kurniawan koma udah jalan dua Minggu."

Apa Adzkan baik-baik saja. Terbesit kekhawatiran dalam diri Ergantha.

"Ya udah ayok!" Ergantha memutar arah, berniat kembali ke dalam mobil.

"Ummu Fatih udah nunggu, Tha."

"Tapi aku mau liat kondisi Pak Kurniawan sekaligus acara pernikahan kak Jwa!" Ergantha kekeh tak ingin kalah.

Pati mengguyur rambut kebelakang, Ergantha memang keras kepala. "Oke, kamu ikut tapi kita temui Ummu Fatih dulu."

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Ergantha memikirkan Adzkan dan Najwa secara bergantian. Kalau bukan dari Pati mungkin Ergantha tak akan tahu Pak Kurniawan yang seumuran dengan Papa itu mengidap kanker stadium akhir. Pak Kurniawan terlihat bugar disaat usia mencapai setengah abad.

Memasuki ruang kamar inap Pak Kurniawan, Ergantha disuguhkan dengan pemandangan Adzkan yang tengah memeluk Najwa erat. Tak banyak yang bersuara namun tangisan pilu Najwa seakan mengabarkan berita duka. Pak Kurniawan pergi disaat pernikahan anak perempuannya baru saja terlaksana beberapa menit yang lalu.

Najwa mengenakan gamis berwarna putih dengan riasan tipis beserta mahkota sederhana di atas jilbab yang ia kenakan. Sedang Makkih mengenakan Jas hitam tanpa pernak-pernik lainnya. Beberapa perawat melepaskan alat bantu pernapasan yang ada pada tubuh Pak Kurniawan. Seketika tubuh Najwa lemas tak sadarkan diri.

Melihat Najwa, Ergantha jadi teringat saat ia kehilangan Mama. Kehilangan yang terasa seperti merenggut sebagian nyawa. Ergantha paham perasaan tercekat itu seperti apa. Najwa menikah dan kehilangan di waktu yang sama. Tak ada satupun kata yang dapat menghibur selain memahami rasa sakit itu sendiri.

"Aku boleh duduk disini?" Tanya Ergantha membuka suara. Duduk berjarak satu kursi di samping ruang tunggu bersama Adzkan.

Pati tengah mengurus administrasi kepulangan jenazah Pak Kurniawan, dengan Makkih yang tengah menunggu Najwa di ruang inap sedang tak sadarkan diri.

"Ada yang pernah bilang, minum air putih itu sehat." Ergantha memberikan air mineral kepada Adzkan yang membuat segurat senyuman tipis muncul di wajah tampan itu. Kantong mata yang memperlihatkan kualitas tidur tak terjaga itu menganggu pemandangan indah di wajah menawan Adzkan.

"Mas Adzkan...Baik-baik aja?" Tanya Ergantha ragu. Pernyataan klise yang Ergantha sendiri sudah tahu jawabannya seperti apa.

"Bohong kalau saya bilang iya." Adzkan tersenyum kecut.

"Aku punya cerita dari seorang anak kecil berumur delapan tahun." Ergantha bersuara mencoba terlihat menenangkan duka Adzkan.

"Anak itu kehilangan dunianya waktu umur delapan tahun. Di umur sepuluh tahun dia kehilangan semuanya...Ayah, dan saudara satu-satunya pergi dengan jiwa yang enggak lagi sama."

"Sejak saat itu, si anak buat kesimpulan, kalau sejatinya dia memang terlahir enggak punya apa-apa."

"Saya tidak bisa membayangkan seberapa besar rasa sakit kehilangan di usia belia seperti anak yang kamu ceritakan itu. Ibu saya yang meninggal di saat pembagian raport SMA saja, terasa seperti tak nyata."

"Kayaknya, rasa sakitnya sama—yang namanya kehilangan, enggak ada yang tanpa luka." Adzkan mengangguk, menyetujui ucapan Ergantha.

"Aku enggak bisa bilang semuanya bakalan baik-baik aja buat menenangkan seseorang yang kehilangan... Pernyataan itu cuma bawa harapan palsu. Kenyataannya, enggak ada orang yang bisa baik-baik aja setelah melalui fase kehilangan."

"Senang mendengar kamu tidak lagi membandingkan kehidupanh orang lain—sudah bisa mengambil hikmah dari serangkaian kejadian." Ergantha tersenyum mendengar pujian sekaligus sindiran halus itu.

"Kamu sudah ke Pesantren?" Tanya Adzkan mengalihkan duka mendalamnya. Mereka berbicara tanpa melihat satu sama lain.

"Habis ketemu Ummu Fatih aku langsung ikut sama Mas Pati kesini."

Adzkan mengangguk tanpa kembali melayangkan pertanyaan. Membuka botol minuman dari Ergantha, kemudian meneguknya. Suasana kembali sunyi. Biasanya Ergantha akan lebih cerewet atau Adzkan akan melemparkan pertanyaan sarkas untuknya. Namun kini, hening lebih banyak tercipta.

"Kesedihan itu milik semua orang, tangisan juga bukan pertanda kelemahan." Ergantha memiringkan badan menatap Adzkan.

"Laki-laki nangis bukan berarti maskulinitasnya ternodai." Sambung Ergantha yang kembali membuat segurat senyuman tipis tercipta dari bibir Adzkan.

"Selain bertingkah anarkis, ternyata kamu juga pandai menghibur orang yang berduka." Seru Adzkan balik menatap Ergantha dengan senyuman tipis dan tatapan sendu.

"Aku cuma enggak mau orang-orang yang ku sayang memendam luka... Jadi, jangan sedih terlalu lama."

"Saya usahakan, Ergantha."

Mereka bertatapan cukup lama, sampai Adzkan memutuskan pandangan lebih dulu. Ada sebuah perasaan hangat ditengah gersangnya pikiran yang menimpa.

Lagi-lagi Ergantha menempati posisi yang tak seharusnya disinggahi dalam diri Adzkan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags