DEWASA-sebuah mantra yang selalu Ergantha impikan. Bebas dari stigma remaja kecil yang tak berdaya. Kebelahan bumi mana saja ia tak perlu direcoki. Namun itu hanyalah ilusi-tak lebih dari khayalan di kepala kecil Ergantha. Belum apa-apa, ia kembali dijerat oleh aturan otoriter. Dipaksa menikah disaat jiwa dalam diri tengah babak belur. Perperangan dalam sunyi yang bahkan tak bisa ditangkis dengan sendiri. Papa, simbolisasi untuk laki-laki yang merenggut sebagian hidup Ergantha. Penuh otoriter dan kejam dalam mendidik. Kenapa bisa ia dititipkan kepada laki-laki yang bahkan tak pantas disebut cinta pertama untuk para anak perempuan.
Sial, lagi-lagi pertanyaan 'kenapa' seperti membunuh secara perlahan.
Gelak tawa yang memenuhi aula terasa menyesakkan. Beberapa sesumbar atas keberhasilan di perguruan tinggi terkemuka. Ada juga yang membanggakan satu dua impian mereka di masa depan. Sedang Ergantha, nihil! Tak ada keberhasilan, pun impian. Tak tahan dengan perasaan tercekat yang mencekik, Ergantha memilih pergi ke arah rooftop sekolah. Toh, acara perpisahan SMA tak menarik untuk ia ikuti. Berisi tawa canda teman sebaya diikuti sambutan pidato dan petuah dari para Guru.
"Ngapain Lo disini?" Tanya Ergantha kepada sosok murid teladan yang mendahului dirinya-kabur kearah rooftop.
"Kabur. Sama kayak Lo."
Adrylian Bara Argani, sosok laki-laki berseragam yang tengah menatap langit di tengah teriknya matahari. Berdiri sejajar dengan Dryl membuat Ergantha bisa melihat kehidupan mereka berdua hampir tak ada bedanya. Penuh aturan otoriter dan harus berkelakuan baik. Bedanya, Dryl sedikit menurut sedang Ergantha tak suka diatur. Tetap saja hidup mereka sama beratnya. Sama-sama menjalani peran anak SMA tanpa kuasa apapun. Memiliki segudang fasilitas namun bernafas sudah seperti hal termahal.
Elit-begitu beberapa orang menyebutnya. Jika dilihat secara dekat, sebutan elit tak pantas tersemat untuk kehidupan yang mencekam begini. Uang jajan terpenuhi, barang branded tak pernah ketinggalan. Tetap saja, kehangatan dalam bercengkrama bersama keluarga tak pernah tercipta. Makanan terasa hambar, rumah tempat kembali tak lebih sekedar dari istilah lain sebuah 'penjara.' Jadi, sisi elit mana yang perlu dibanggakan.
"Gue harus ke Jepang." Tutur Dryl terdengar tak rela. Menatap hamparan langit dengan bisingnya kepala yang tengah memberontak. "Impian gue bisa keterima di Kedokteran, disaat udah keterima berat banget harus ninggalin Jakarta."
"Sejak kapan Lo cinta banget sama kota Metropolitan." Ergantha mendengus geli.
"Cringe, ya?"
"Banget!"
Dryl tersenyum simpul, mengusap leher. Mimpinya sudah didepan mata. Satu sisi, ada perasaan tersimpan yang rasanya akan meledak jika harus berjauhan dengan Ergantha.
"Rugi kalau enggak mengitari bumi yang luas disaat kebebasan udah di depan mata," seru Ergantha. Ingin sekali rasanya ia meminjam otak cerdas Dryl.
"Gue bahkan enggak tahu bebas yang gue mau bentuknya kayak apa."
"Bebas menentukan pilihan jalan hidup, itu satu hal yang enggak semua orang punya, Adryl! Termasuk gue!"
"Resikonya gue harus ninggalin orang-orang yang gue sayang, Tha... Kehilangan itu enggak gampang."
"Sejatinya kita memang enggak punya apa-apa, kan... Lagian makna kehilangan itu udah enggak cocok buat orang-orang kayak kita. Kebebasan buat memilih jalan hidup aja nihil."
Remaja seperti mereka kadang tak berani bermimpi terlalu jauh dari harapan para tetua. Sempurna demi satu dua mimpi yang bukan milik mereka. Mimpi yang sejatinya menghidupi sekaligus mencekik.
"Temennya Mas Pati kayaknya punya andil yang besar sama perubahan drastis Lo," Dryl menatap Ergantha, mencoba mencari jawaban. Ergantha mengedikkan bahu enggan menjawab. "Segitu naksirnya sama si Adzkan?"
"Yang sopan! Dia lebih dewasa dari kita!" tegur Ergantha.
"Lebih bijak dan lebih spesial buat Lo, 'kan?!"
"Yang jelas lebih menawan daripada Lo!" Dryl mengalah, mendecih tersenyum kecut. Membicarakan Adzkan sama saja membuat hatinya tergores.
"Lo enggak mau coba masuk pesantren?" Ergantha memutar bola mata seakan merinding membayangkan dirinya terjebak dalam satu lingkungan religius. "Lo bisa belajar banyak hal,Tha, termasuk mengenai Sirah. Gue tahu karena satu-satunya yang buat Lo tertarik cuma Sirah."
Akhi-akhir ini Ergantha memang gemar mengulik sejarah Islam. Ia seperti berada di demensi yang berbeda dengan raga yang sama. Mengetahui sejarah kehidupan manusia terdahulu rasanya membuat Ergantha menjadi lebih hidup dan berwarna. Baginya, Sirah adalah satu diantara dua hal yang menarik di muka bumi ini selain daripada Adzkan.
Pesantren-Bandung-Adzkan. Mungkin sebuah relolusi terbaik sejauh ini. Jika tak tahan, Ergantha akan kabur dengan sendirinya. Terbesit sebuah ide masa depan yang mulai ia susun, yang nantinya bisa melepaskan diri dari bayang-bayang Papa.
"Gue bisa gantiin Lo ke Jepang aja enggak sih," ujar Ergantha seakan memelas menatap Dryl.
Jika bisa, Dryl akan membawa Ergantha bersamanya. Belajar banyak hal, menghabiskan masa-masa renta bersama. Namun mereka hanyalah remaja dengan kemampuan terbatas dan ilmu yang tak seberapa. Dunia terlalu kejam untuk ditempati tanpa tumpuan. Dryl tahu ia hanya anak remaja yang bahkan tak bisa mengutarakan rasa secara sembarang. Ia tak bisa menjanjikan Ergantha sebuah ikatan yang tak akan direstui Allah selain dari ikatan pernikahan. Rasa ingin memiliki terlampau hebat disaat logika tengah mencerca diri. Ergantha semakin bersinar dengan memandang masa depan bukan hanya perihal kebebasan. Sahabat yang selalu Dryl khawatirkan kini berpikir menjalani masa depan. Ergantha berubah, Adzkan mungkin salah satu penyebabnya.
Sebentar lagi, masa-masa berseragam mereka akan terlewati. Diiringi kebebasan yang sejatinya belum dipahami seperti apa dan aturan otoriter yang akan selalu ada. Pada akhirnya, mereka hanya sebatas teman dengan rasa yang tak sama.
Semoga saja dewasa yang dinanti penawar atas pahitnya masa remaja.