KEMBALI ke Jakarta dengan bising yang tak ada ubah. Lalu lintas yang padat dengan kendaraan yang tak sabaran. Entah sejak kapan, Ergantha tak suka harus kembali menapak di kota kelahirannya. Kembali berinteraksi dengan Papa, kembali pening dengan ribuan aturan yang mencekik.
Ergantha hanya menghabiskan liburan selama tiga hari di Villa. Sebab ia dan teman-temannya harus kembali dalam rutinitas baru, mendaftar di Perguruan tinggi dan mengurus pemberkasaan selama masa akhir SMA. Tak banyak namun Ergantha masih tak tahu Perguruan Tinggi mana lagi yang akan ia tuju. Tak ada yang berjalan lancar—baik percintaan, pertemanan, masa depan, sekaligus kebebasan yang Ergantha nantikan.
"Non Ergantha sama Den Pati di tunggu Bapak di ruang kerja." Ujar Bik Imah begitu Ergantha dan Pati turun dari mobil. Baru saja kembali menghirup udara Jakarta, Ergantha kembali' harus berhadapan dengan Papa. Tenaganya sudah terkuras selama di Bogor, kini emosi harus siap bertempur dengan si tuan gila hormat yang tak suka ditentang.
"Tenang, ada Mas!" Pati merangkul Ergantha membusungkan dada.
"Aku enggak tertarik bergantung sama Mas Pati!" Ergantha melepaskan rangkulan Pati berjalan lebih dulu menuju ruang kerja Papa.
Semua skenario penghakiman Ergantha bayangkan. Sialnya ia tak punya rencana menghadapi amukan dan sifat otoriter dari Tuan gila hormat di rumah. Mengharapkan Pati menolongnya pun tak akan berubah banyak. Kakak laki-lakinya ini memang hebat jika beradu argumen bersama Papa, sayangnya selalu berakhir kalah.
Perlahan Ergantha menghela nafas, menaikkan bahu agar tak terintimidasi. Tak boleh terlihat lemah di depan Papa, sugestinya.
"Kamu kayak pasukan perang kalau tegang begini." Kata Pati yang lebih dulu mengetuk pintu ruang kerja mengajak Ergantha masuk bersama.
Dahi yang berkerut dengan tumbuhnya satu dua uban mewarnai penampakkan Papa yang terbilang tua. Seingat Ergantha umur Papa tak setua itu, namun tampilan Papa kali ini terlihat sedikit menua. Satu hal yang terlupa, Papa ternyata ikut menua diikuti Ergantha yang tumbuh menuju dewasa.
"Lusa kita akan bicarakan pertunangan Ergantha bersama keluarga Harjiko Atmajaya." Ujar Papa menatap lekat kedua anaknya yang tengah berdiri di depan meja kerja.
Ergantha memejamkan mata, menggigit bibir menetralkan emosi yang ia pendam. Mungkin hanya Papa satu-satunya orang tua yang tak berempati kepada anak sendiri.
"Ergantha gagal seleksi di Melbourne, Pa... Jadi acara jodoh-jodohan itu bisa dibatalin." Pati mengutarakan pendapat.
Melepaskan kacamatanya, Pramana melihat Ergantha dengan remeh. "Sudah Papa duga... Kamu harusnya sadar diri, Ergantha. Pati, kakakmu saja tahu kemampuannya yang tak seberapa."
"Jadi apa rencana kamu, Ergantha? Sudah tahu masa depan yang kamu inginkan seperti apa?" intonasi Papa membuat Ergantha terasa diejek dan dijatuhkan sampai dengan ia mengaku kalah.
"Ergantha bakalan kuliah di Bandung, aku juga bisa menetap di sana sekaligus mengurus bengkel cabang disana," jawab Pati lebih dulu.
"Bengkelmu itu tidak pernah ada yang berkembang pesat! Menetap di Bandung sama saja bunuh diri!"
Pati tahu ia tak mungkin bisa menetap di Bandung secara permanen. Akan ada hari dimana ia tak pulang satu sampai dua bulan atau bekerja bolak balik sampai dengan menemukan orang kepercayaan baru disaat krisis biaya tengah merasuk.
"Kalau tidak siap dengan bengkel-bengkel yang tak terurus, hentikan, Pati! Belajar bisnis konstruksi di Esterland Island... Setidaknya salah satu diantara kalian bisa mengurus Esteland Island kedepannya."
"Insyallah bengkel-bengkel ku masih bisa keurus. Kalaupun harus bolak balik keluar kota setiap bulan, itu bukan masalah besar."
"Kamu tidak bisa memantau Ergantha kalau begitu."
"Aku enggak terima kalau Ergantha nikah lebih dulu," tolak Pati tak setuju, beralasan. Ia rela jika Ergantha menikah dengan laki-laki baik, bukan dengan Frans yang jelas akan membuat Ergantha semakin tersesat.
"Papa akan jodohkan kamu dengan Naura Husman Gumara," balas Papa sengit tak menerima alasan.
"Secepatnya kalian berdua akan menikah!" Pati memijat kening kepalanya akan meledak jika terus berdebat seperti ini.
"Oke, aku setuju kalau harus dijodohkan sama Naura Husman Gumara, tapi Ergantha enggak boleh terlibat perjodohan apapun." Tak apa Pati harus kembali berdekatan dengan hijabers yang tengah melejit di dunia maya itu. Belum tentu juga ia diterima.
Ergantha memutar bola mata, malas mendengar perdebatan Pati dan Papa memperebutkan yang bukan urusan mereka. Kehidupan memang tak pernah menjadi miliknya secara utuh. Tidak Papa tidak Pati, sama-sama hobi membuatnya terkekang.
"Ergantha juga bakalan masuk pesantren sekaligus kuliah di waktu yang sama," seru Pati. Dagu Ergantha hampir terjatuh mendengar penuturan Pati. Sejak kapan ia setuju menetap di pesantren. Ia memang mulai membaca hal-hal berbau religius—seperti Sirah dan tata cara tuntunan sholat.
Menetap di Pesantren katanya? Ergantha tak bisa! Itu sama saja hidupnya semakin terkekang.
Papa menatap Ergantha, mencari kebenaran dari ucapan Pati, "Kalau begitu, Papa akan batalkan perjodohan Ergantha dengan keluarga Harjiko Atmajaya."
Sial, sepertinya Ergantha harus mengatakan selamat tinggal kepada sebuah kebebasan. Hal yang tak pernah ia rasakan sedikit pun.
"Kenapa enggak sekalian rantai aja kaki ku biar enggak bisa kemana-mana?!" seru Ergantha mengeluarkan isi hati. Papa menggeleng mendengar penuturan Ergantha, tak tertarik.
"Papa percayakan adik kamu, Pati." Lagi, Ergantha terlihat seperti makhluk kasat mata—tak terlihat dan tak bernilai.
"Aku harap Papa mengidap penyakit kronis dan mati dalam waktu dekat!" sarkas Ergantha dengan raut menahan amarah yang akan meledak.
"Lihat kelakuan adik kamu, dia harusnya segera Papa nikahkan kalau terus seperti ini!" tunjuk Papa penuh amarah ke arah Ergantha.
"Nanti—setelah lulus kuliah, Ergantha baru boleh menikah!" tolak Pati ikut memanas.
"Sekalian aja nikahin aku sama temen Papa yang duda— Om Monata duda, kan? Duitnya banyak jadi aku enggak perlu kekurangan. Aku bisa party tiap malem!" Ergantha menantang terang-terangan. "Enggak peduli laki-lakinya siapa, yang penting tanggung jawab Papa berpindah... Itu kan inti keinginan Papa. Sekalipun calonku nantinya hobi main perempuan, sekalipun aku jadi gila setelah menikah nanti!"
Pramana menatap berang anak gadisnya yang selalu penuh dengan tatapan amarah. Ia melayangkan tamparan ke wajah Ergantha. Reflek Pati membawa Ergantha ke belakang punggungnya.
"Harusnya aku dititipin ke Panti asuhan sejak Mama meninggal! Kenapa Papa harus besarin aku dengan rasa benci! Aku enggak pernah minta di besarin kayak gini! Aku muak!" teriak Ergantha yang berada di balik punggung Pati. Ia tak bisa membendung air mata memegang pipi yang terasa kebas.
"Papa orang tua yang enggak pantes aku hormati sedikit pun, aku—" Lemparan bingkai photo memotong ucapan Ergantha. Papa melayangkan photo Keluarga mereka ke dinding dipenuhi tatapan penuh amarah.
Memejamkan mata, dengan tangan yang mulai bergetar. Ingatan Ergantha kembali menjurus pada aksi Papa yang melemparkan gelas beberapa waktu lalu. Pelupuk mata Ergantha seketika basah dengan remasan kuat yang ia berikan pada tangan Pati. Ergantha butuh pegangan, mencoba menenangkan diri, ia tak boleh terlihat lemah. Ia juga ketakutan disaat amarah tengah membakar diri.
"Keluar kalian berdua!" interupsi Papa dengan dada yang menghembuskan nafas kasar menatap Pati dan Ergantha secara mematikan.
Merasakan tangan Ergantha yang bergemetar hebat, Pati membawa Ergantha keluar bersama. Menuntun sampai Ergantha menuju kamar. Nanti, Pati akan berbicara berdua dengan Papa. Sekalipun harus dilempari, Pati tak apa, sebab Ergantha memiliki luka yang Pati tak tahu sedalam apa.
Memijit pelipis, Pati memutuskan akan membawa Ergantha ke Bandung secepat yang ia bisa.