"DIBALIK kali, Tha, keburu gosong," peringat Arjun yang tengah menuggu daging baberque.
"Iya bawel!" Ergantha mengenal nafas kasar, ia tak pernah sekalipun bekerja berat seperti ini. Panas-panasan di depan pemanggang dengan keringat yang mengucur. Udara malam memang dingin tapi tak akan terasa jika berada di depan pemanggang.
"Switch, Tha!" Dryl menggantikan Ergantha.
"Saos tambahan baberquenya dimana, Tha?" Baru saja Ergantha duduk mengatur nafas, Frans datang mengusik. Tidak Frans, tidak Arjun sama-sama tidak tahu malu, bukannya membantu memanggang justru sibuk mengoceh dan makan sendiri.
"Di plastik yang warna putih."
"Enggak ada, Tha."
"Gue lupa beli saos tambahan kalau gitu."
"Keluar Jun, beli!" Suruh Frans kepada Arjun yang tengah merecoki Rere.
"Kang Adz! Gue titip saus baberque sama selada!" Arjun berteriak ketika Adzkan yang akan pergi melewati mereka. Merasa akrab meminta tolong kepada yang lebih tua.
"Cola sekalian, Kang!" Frans ikut-ikutan menambahi.
"Sosis juga, Adz!" Tambah Pati yang tengah sibuk menyalakan api unggun. "Tha, mending kamu ikut sama Adzkan—dia suka lupa soalnya." Ergantha mengangguk terkesan tak semangat, bergegas berdiri berlari mengambil jaket ke dalam vila.
"Saya tunggu di mobil."
"Siap, Mas!" Timbal Ergantha dari dalam vila.
"Jangan kabur Lo! Udah minta switch sama Ergantha juga." Frans menginterupsi Dryl yang terlihat akan meninggalkan pemanggangan.
"Bentar, gue perlu pastiin sesuatu."
"Kasihan Rere kalo manggang sendirian," ujar Frans menyomot daging dari pemanggangan. "Santai, Kang Adzkan kayaknya enggak tertarik sama bocah SMA. Lagian Lo enggak kalah ganteng kok sama Kang Adzkan, cuma emang auranya dia jauh lebih bikin silau." Frans nenepuk bahu Dryl dan berlalu pergi.
Dryl menahan gusar mendengar ucapan Frans. Laki-laki bernama Adzkan itu cukup membuat siapa saja menjadi silau. Entah karena sisi maskulin laki-laki dewasa yang terlihat menawan atau mungkin pembawaan religius yang membuat silau. Laki-laki itu patut diwaspai.
Berteman dengan Pati tak berarti menjamin laki-laki bernama Adzkan hal yang baik untuk Ergantha. Bagaimana jika ia berbuat macam-macam atau memanfaatkan Ergantha yang tengah menggebu-gebu. Pikiran Dryl berkecamuk, tak tenang memikirkan Ergantha.
Dryl tak tahu saja, perasaan Ergantha kini diwarnai dengan ribuan kembang api. Menembus malam dengan kendaraan yang berjalan lambat. Sudah pasti dengan Ergantha yang tak kalah berdebar senang. Letupan harapan kian menjadi satu dua potongan. Berlibur bersama seperti ini memunculkan angan-angan, bagaimana jika ia dan Adzkan pergi berlibur hanya berdua. Ergantha jadi membayangkan mereka bisa berpegang tangan tanpa celah, memadu kasih layaknya sepasang kekasih. Disisi lain benteng yang dibangun Adzkan terlalu tinggi, tak mengenal komitmen berpacaran.
Solusi untuk mendapatkan Adzkan hanyalah satu, menikah. Disatu sisi menikah jelas hal yang hanya akan membuat terkekang. Tapi menikah dengan Adzkan, Ergantha yakin tak akan dikekang perihal apapun.
Apa ia melamar Adzkan saja setelah lulus nanti....
"Besok pagi saya ke Bandung." Adzkan membuka suara, meruntuhkan angan-angan yang tengah Ergantha susun.
"Mendadak? Bukannya urusan bengkel sama Mas Pati belum selesai?"
"Najwa akan menikah."
"Kak Jwa?!" Respon Ergantha terkaget. "Kak Jwa nikah sama siapa?"
"Makkih." Nama itu tak asing di telinga Ergantha. Ia masih teringat nama salah satu teman dekat Pati selain Adzkan yaitu Makkih. Tapi bukannya Makkih sudah bertunangan dengan Asih...
"Asih dan Makkih tidak pernah bertunangan. Saya rasa sudah saatnya meluruskan kesalahpahaman kamu agar tidak semakin bercabang." Kata Adzkan memaparkan dengan nada tenang.
Ergantha berpikir cukup lama tak tahu harus merespon seperti apa. Berita Najwa menikah hal yang membahagiakan. Namun fakta akan Asih, perempuan yang tak memiliki ikatan dengan siapapun membuat Ergantha cemas. Tandanya Adzkan memiliki kesempatan untuk mendekat.
Lagi-lagi harapannya terdepak dari arena persaingan. Ergantha tertawa masam, mengalihkan tatapan ke arah jendela mobil.
"Saya sedang menata perasaan agar bisa menganggap Asih hanya sebatas teman—semoga kamu tidak salah kaprah membahas hal itu lagi." Pernyataan Adzkan lantas membuat Ergantha menengok. Baru kali ini Adzkan terang-terangan membuka suara perihal Asih.
"Jadi aku harus apa?"
"Cukup jangan jadikan perasaan sepihak saya sebagai penghakiman."
"Kalau gitu jangan jadiin perasaan sepihakku jadi angin lalu," seru Ergantha berterus terang. Melelahkan melihat laki-laki itu menyebutkan Asih dan melindungi perasaan yang tak berbalas.
"Sudah sampai." Adzkan menepikan mobil begitu mereka tiba di minimarket tanpa menggubris ucapan Ergantha. Ia turun terlebih dulu. Laki-laki itu tak ingin peka akan apapun.
Adzkan menarik troli belanjaan dengan Ergantha mengikuti dari belakang. Mereka berpencar membagi tugas. Sepanjang di dalam minimarket, Ergantha memasang wajah cemberut. Sakit hati sudah sering ia rasakan karena perilaku Papa dan Pati. Nyatanya patah hati lebih menyakitkan, ia tak bisa mengumpat kepada laki-laki mempesona itu. Ergantha lebih memilih membenci perasaan sialan ini.
"Kamu masih mengkonsumsi minuman yang beralkohol?" Adzkan berdiri di samping lemari pendingin dengan troli di belakangnya mengingatkan Ergantha akan kenangan manis bersama Adzkan.
Memutar bola mata, Ergantha melewati Adzkan. Meletakan beberapa bir kedalam troli mereka. Melihat itu Adzkan mengeluarkan bir tersebut, menyusun kembali kedalam lemari pendingin.
"Jangan yang ada alkoholnya," tegur Adzkan dengan nada dingin.
"Apa urusannya sama Mas Adzkan?!" Ergantha berdecak pinggang. Laki-laki ini seperti menarik ulur jiwa Ergantha.
"Saya memang enggak punya hak tapi kamu sudah seperti adik saya sendiri, Ergantha."
Ergantha mengumpat dalam hati. Ia ingin dipandang sebagai wanita bukan sebagai anak kecil!
"Aku enggak suka dianggap anak kecil!" protes Ergantha.
Adzkan mengambil salah satu bir menyodorkan kepada Ergantha terang-terangan, seakan menantang keberanian perempuan keras kepala ini.
"Kalau kamu merasa sudah menjadi perempuan dewasa, harusnya kamu lebih sadar Ergantha, tidak semestinya membeli minuman beralkohol disaat menginap bersama laki-laki. Sekalipun kamu mengenal dekat dengan mereka."
Pedas dan ketus dalam nada yang datar. Adzkan memang tak pernah membentak namun sindiran halus yang terdengar selalu membuat lidah Ergantha kelu. Berbalik badan Ergantha meninggalkan Adzkan. Pada akhirnya, bir itu kembali masuk ke dalam lemari pendingin.
"Aku udah 18 tahun, jadi jangan anggap aku anak kecil." Ucap Ergantha ketika mereka tengah memilih aneka sosis.
"Bagus kalau kamu sadar sudah 18 tahun. Tetap saja pada pendirian kamu—minum minuman seperti tadi sampai menjadi nenek-nenek."
"Ck!" Ergantha berdecak tak suka memasukkan secara kasar dua aneka nugget dan sosis kedalam troli.
"Jangan melampiaskan amarah kamu kepada makanan, tidak baik."
"Enggak sengaja!" Adzkan tersenyum simpul mendengar alasan klise Ergantha.
"Sudah sampai mana kamu membaca Sirah? Sudah kenal sama Umar bin Khattab?" tanya Adzkan kepada Ergantha yang masih menekuk bibir cemberut.
Ergantha kerap mendengar nama Umar bin Khattab, salah satu role mode yang sangat diidolakan oleh Dryl. Kisah lengkapnya tentu saja Ergantha tak tahu sama sekali. Sepintas pengetahuannya, Umar bin Khattab sebelum memasuki Islam adalah pemabuk berat bahkan sangat membenci dan memusuhi Islam.
"Uwais al-Qarni, Utsman bin Affan, terakhir Salman Alfarisi," sejauh ini tiga tokoh sahabat pada zaman Rasulullah yang paling menarik perhatian Ergantha.
"Diantara ketiga tadi siapa yang paling kamu kagumi?" Adzkan mencoba ingin lebih tahu perkembangan Ergantha mencari jati diri.
"Kayaknya Utsman bin Affan, kalau Uwais Al-qarni dan Salman Alfarisi enggak relate sama aku."
"Aku enggak bisa menjadi Uwais al-Qarni yang rela gendong orang tuanya sampai ke Mekah. Orang tuaku durhaka, orangtuanya Uwais pemegang kunci surga. Aku juga enggak bisa selapang Salman Alfarisi, melepaskan perempuan yang ingin dilamar demi seorang teman."
"Kamu memang sependendam ini dengan Papa kamu?" Ergantha mengangguk mengiyakan. Tak ada lagi emosi yang ia tutupi di depan laki-laki menawan ini.
"Penghakiman kamu terhadap orangtua sendiri terdengar sadis." Kata Adzkan berdigik ngeri mengeluarkan barang belanjaan dari troli kemudian membayar di Kasir.
"Mas Adzkan mau kasi aku solusi lagi buat menghilangkan rasa dendam?!" Adzkan menggeleng.
"Penyakit hati itu enggak ada solusinya, selain sering-sering mengingat Allah." Lagi-lagi terdengar religius ditelinga Ergantha.
Entah mengapa semakin hari alasan religius tak asing jika sampai ke telinga Ergantha, yang justru mendatangkan ribuan pertanyaan.