ANGIN berhembus melalui jendela, menyapa, berbisik, seolah-olah menggoda dalam diam. Jalanan seakaan ikut serta mengambil peran tanpa bertanggunjawab menghadirkan segumpal khayalan. Ergantha menghela nafas tak lama mengigit bibir menahan senyum, kemudian kembali berdecak kecil sarat akan kekesalan.
"Kenapa Thata enggak ngomong kalau Mas Pati ikut kita liburan," Rere berbisik di telinga Ergantha. "Tau gitu Rere bawa baju yang lebih tertutup."
Pati-kakak laki-lakinya yang menjanjikan sebuah liburan bergaransi izin dari Papa justru membuat sebuah plot twist yang menyebalkan. Padahal Ergantha sudah terang-terangan mengatakan ingin liburan hanya bersama teman-temannya. Tanpa tahu malu Pati mengatakan akan ikut serta sekaligus akan mengantar mereka pulang pergi Jakarta-Bogor. Bahkan menjemput Dryl, Frans, Arjun dan Rere lebih dulu, jadi mau tak mau Ergantha memendam segala amarah untuk sementara.
"Sebel ih, Thata juga enggak bilang kalau Mas Pati juga punya temen yang ganteng banget," kata Rere cemberut dengan suara yang masih berbisik.
Yah, Adzkan ikut serta bersama Pati, dengan si laki-laki tampan kesayangannya menjadi pengemudi. Disaat hatinya tengah kalut perihal rasa yang tak sejalan, Pati justru membawa Adzkan yang justru membuat Ergantha kesal dan senang secara bersamaan. Patah hati yang dirasa masih bersemayam dalam relung hati. Ergantha juga masih mengingat jelas penolakkan Adzkan yang memintanya untuk mengehentikan semua rasa sepihaknya. Malam itu Ergantha menangis layaknya remaja, Adzkan yang meruntuhkan harapannya tak sebanding dengan amukan Papa. Saat itu juga Ergantha berjanji bahwa ia akan menghapus Adzkan dari perasaan sialan ini. Nyatanya, Ergantha tak sanggup. Melihat Adzkan ikut serta bersama Pati saja membuat ribuan kupu-kupu kembali berkumpul.
Lain kali saja Ergantha move on kalau begini!
"Keren banget Lo, Mas... Merintis Bengkel sendiri tanpa bantuan bokap," seru Frans memuji Pati.
"Kalau ada yang mau dimodifikasi bisa bawa aja ke bengkel gue," balas Pati sok akrab.
"Siap Mas..." Timbal Arjun yang duduk paling belakang sejajar dengan Rere dan Ergantha. "Dulu gue pikir Mas Pati galak, padahal Ergantha lebih galak, sorry ya Mas, Ergantha sering buat image Lo jelek." Melotot tajam Ergantha hadiahi kepada Arjun.
"Ergantha emang agak seudzon."
Obrolan mereka tetap berlanjut sepanjang jalan, diisi oleh manusia yang tak lelah membuka suara. Adzkan sesekali ikut membuka suara namun lebih fokus kepada jalanan. Dryl... Laki-laki itu seperti cctv yang memantau gerak gerik Ergantha dari kaca mobil di depan pengemudi. Kerap kali Ergantha tertangkap basah saat sedang menatap Adzkan melalui kaca, tatapannya justru selalu bertemu Dryl yang menatap dengan curiga. Layaknya detektif yang tengah memantau para penjahat.
Ergantha membalas tatapan Dryl dengan mendengus secara terang-terangan. Menampilkan wajah sangar yang menantang Dryl untuk berkelahi. Laki-laki teladan yang selalu menyebalkan ini sudah seperti antek-antek Pati.
Menempuh perjalanan selama satu jam lebih, akhirnya dapat terobati dengan pemandangan asri di Bogor. Kota hujan yang memiliki ribuan kehangatan ini memiliki kenangan indah di memori Ergantha sejak kecil. Apalagi kalau bukan tempat favorit mendiang Mama.
"Biar saya bantuin bawa barang-barangnya," suara Adzkan yang sejajar mengangetkan Ergantha.
Ergantha dan Dryl tengah berunding membawa sisa barang yang tertinggal di bagasi, dengan Arjun dan Frans yang sibuk menempeli Pati tak lelah bercengkrama. Sedang Rere sibuk sendiri mempotret pemandangan sana-sini.
Ketiga temannya itu sedikit tak tahu malu!
"Kami bisa sendiri, Bang." Ketus Dryl terdengar tak sopan di telinga Ergantha. Dryl masih dalam aura mood swing yang tak tertebak. Sepanjang perjalanan memantau gerak gerik Ergantha kini malah berulah kepada Adzkan.
"Bang...Bang... yang sopan, Adryl!" ketus Ergantha memperingati. "Mas Adzkan bisa bantuin bawa koper aku aja." Ergantha menggeser koper miliknya ke arah Adzkan dengan suara yang lebih lembut.
"Mas...?" Dryl mengernyit tak suka. Darahnya terasa naik hingga ke ubun-ubun. "Biar gue yang bawain!" Dryl merebut koper Ergantha yang sudah berpindah tangan kepada Adzkan dan berlalu pergi.
"Sinting!" mengumpat kecil, Ergantha menutup bagasi dengan keras.
"Dryl yang sinting maksudku, bukan Mas Adzkan." Kata Ergantha tanpa menatap Adzkan.
"Biar saya saja yang bawa sisanya." Adzkan mengambil tas berisi Snack ringan dan kursi lipat di tangan Ergantha tanpa menyentuh.
Ergantha menyamakan langkah dengan Adzkan. Merasa bersyukur adanya jarak halaman ke pintu vila terhitung lumayan jauh. Mereka berjalan berdampingan dengan langkah yang selaras meski dengan perasaan yang tak sejalan.
"Kamu jadi ke Melbourne?" tanya Adzkan membuka percakapan.
"Pasti Mas Pati yang kasi tahu." Ergantha berdecak kecil.
"Dia uring-uringan saat tahu kamu mau berkuliah di luar negeri dan dijodohkan dalam waktu dekat."
Dasar ember! Buaya berbulu domba dengan mulut embernya-jukukan yang tepat untuk Pati.
"Aku gagal seleksi," kata Ergantha. "Aku juga belum kasih tahu siapapun termasuk Mas Pati."
"Kamu takut diledek Pati..." Senyuman asimetris terpaut di wajah Adzkan yang justru terlihat menggoda dimata Ergantha. Berjalan berdampingan seperti ini sudah sejak lama Ergantha impikan. Tak perlu menatap satu sama lain sebab begini saja jantung Ergantha kembali bertingkah kampungan.
"Kalau Pati tahu kamu gagal seleksi, mungkin dia bisa membantu untuk menggagalkan perjodohan itu."
"Papa itu keras kepala, susah dibujuknya. Kalaupun Mas Pati dan Papa tahu aku gagal, pasti mereka jadi orang yang paling bahagia."
"Kepala kamu isinya jelek semua...." Adzkan menggeleng tak habis pikir.
Tampan, batin Ergantha kembali memuji.
"Saya rasa Papa kamu juga akan sedikit mengalah kalau kamu menetapkan pilihan untuk tak jauh dari keluarga."
"Tapi aku mau jauh dari Papa, capek terus-terusan satu rumah. Bisa tua kalau emosiku diuji terus."
"Jadi Melbourne cuma jadi pelarian kamu, sama seperti mendatangi club' untuk bersenang-senang sebentar?" Adzkan menghentikan langkah diikuti oleh Ergantha. "Kamu sudah 18 tahun, kan? Saya rasa kamu sudah seharusnya berhenti untuk melarikan diri. Masa depan pun sudah harus kamu pikirkan."
"Aku cuma mau ngerasain bebas tanpa ada kekangan dari Papa dan Mas Pati. Mas Adzkan memang punya solusi, selain aku harus pisah sama orang-orang toxic yang aku sebut keluarga?"
"Lakukan apapun yang kamu inginkan, Ergantha... Selama itu tidak bertentangan syari'at Allah. Itu solusi dari saya... Kalau menjauh hal terbaik menurut kamu, maka lakukan. Tapi kamu juga harus bisa bertanggung jawab, memilih tempat baru yang mengajarkan hal benar. Persetujuan dari Om Pram dan Pati juga harus ada."
Belum lama Adzkan kembali berjalan, Ergantha kembali memanggil menghentikan langkahnya.
"Kalau gitu kasih aku sebuah resolusi kedepannya harus menjadi apa," selain kebebasan, Ergantha tak ingin apapun. Menjadi apa dimasa depan bisa dipikirkan-nanti. Namun mendengar pendapat Adzkan hal yang menarik untuk dipertimbangkan.
"Tanya dulu ke Pencipta kamu baru tanya ke saya..." Ergantha mendengus mendengar jawaban religius dari Adzkan.
"Saya bukannya sok religius, Ergantha," kata Adzkan seakan bisa membaca isi pikiran. "Semakin dewasa, kemampuan berpikir harusnya semakin kritis, seperti untuk apa manusia diciptakan, Tuhan mana yang harus dipercaya... Setelah itu bebas yang kamu inginkan akan terjawab dengan sendiri. Kedepannya mau menjadi apa juga akan terjawab." Ergantha tertegun. Segala hal yang keluar dari mulut Adzkan selalu terdengar menakjubkan.
"Kayaknya menjadi beriman dan bertakwa itu memang udah warisan sejak lahir. Enggak kayak hidupku yang pada dasarnya emang udah enggak kenal Tuhan."
"Beriman dan bertakwa itu bukan warisan genetika ataupun warisan yang berasal dari nenek moyang, itu hasil jerih payah ikhtiar."
"Tetep aja, keluarga dan lingkungan juga punya peran menjadikan manusia beriman dan bertakwa!"
"Dasarnya harus dari manusia itu dulu, Ergantha... Gimana bisa menyalahkan sekitar kalau pribadinya saja tidak pegang prinsip apapun. Lebih-lebih tidak kenal Tuhan."
Adzkan mendebat pada hal yang membuat Ergantha semakin jatuh cinta kepada laki-laki ini. Kenapa semua yang terucap dari bibir Adzkan selalu terdengar nyaman...
"Aku sampai heran kapan bisa menang debat sama Mas Adzkan." Ergantha merajuk dengan Adzkan yang menampilkan wajah kemenangan. Menahan senyuman seperti menertawakan hal tak kasat mata.
"Ada yang lucu?!" tanya Ergantha cemberut.
"Saya suka...."
"Suka dalam konteks apa..." Ergantha mati-matian menetralkan suara. Adzkan bukanlah tipe yang hobi menjalin hubungan dalam konteks pacaran.
"Menyenangkan mendengar kamu berbicara perihal iman dan takwa. Ternyata Pati tidak halusinasi saat melihat meja belajar kamu dihiasi dengan bacaan sirah." Ergantha menatap lama wajah Adzkan yang tengah bersemangat memujinya.
Tampan, Adzkan itu tampan apalagi jika berada di bawah sinar matahari begini. Tak ada yang lebih indah selain wajah dan senyuman candu milik laki-laki beralis tebal ini.
Sadar mereka menatap satu sama lain begitu lama, Adzkan lantas memutuskan pandangan lebih dulu. Menunduk dan sesekali memejamkan mata, seolah ia telah melakukan kejahatan. Terdengar bacaan istighfar seperti Ergantha adalah sosok bergentayangan yang menakutkan.
"Aku juga suka—"
"Tha!" Dryl berteriak memanggil Ergantha dari jarak pintu villa. "Buruan, gue butuh bantuan!"
Dryl sialan!