Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumpuan Tanpa Tepi
MENU
About Us  

Terbebas dari rutinitas belajar dan ujian salah satu mimpi yang selalu terbayang di kepala kecil Ergantha. Terbebas dari aturan yang mencekik terlepas dari kehidupan otoriter, tak ada paksaan belajar, tak ada suara bentakan.

Bebas—satu kata yang bermakna seperti hembusan nafas.

"Papa ngadain dinner di rumah, mengundang chef dari restoran favorit kamu." Ergantha bergeming enggan merespon. Ia memasang seat belt dengan hentakan kasar, harusnya ia merayakan kebebasan dari Ujian akhir dengan perasaan senang bukan penuh kekesalan seperti ini.

Pati sudah menjemput Ergantha di depan sekolah dengan wajah sumringah, menampilkan ekspresi bahwa komunikasi mereka tak bermasalah. Pertengkaran terakhir kali di Bandung membuat Pati semakin mendekatkan diri kepada Ergantha, tentunya tanpa pembukaan permintaan maaf.

Pati memang tak tahu malu, 'kan?

"Muka kamu jangan di tekuk, dong... Hari ini Mas Pati enggak bakalan ngusik sama pernyataan tentang ujian hari ini gimana—Kamu bisa bebas berekspresi." Cetus Pati tersenyum menampilkan deret gigi.

Hadirnya sosok kakak laki-lakinya ini sudah cukup membuat hari-hari Ergantha runyam. Pun, mendengar nafas Pati sangat mengusik.

"Kita mampir ke Bengkel bentar ya, sebelum pulang," cetus Pati menarik perseneling.

"Tsk! Tahu gitu aku pulang bareng Dryl." Desis Ergantha kesal.

Hari ini Pati mengajukan diri mengantar jemput Ergantha ke sekolah menggantikan Pak Arman yang tengah pulang kampung sejak seminggu yang lalu. Jika tahu Pati begini, Ergantha lebih memilih ikut pulang bersama Dryl.

"Nanti kamu malah nongkrong enggak jelas sama temen-temen kamu. Mending Mas jemput."

"Aku enggak mau ikut ke Bengkel, anter aku pulang dulu." Pati tak mungkin bisa sebentar mengurus pekerjaannya, meskipun ia sang pemilik bengkel.

"Padahal Mas mau traktir kamu belanja hari ini. Udah lama kan, kamu enggak jajan tas Branded."

Ergantha menimang, uang jajannya kini memang tak bisa dibelanjakan untuk hal duniawi, hanya sebatas untuk mengisi perut. Black card dan mobil bahkan di tarik permanen oleh Papa, semua atas saran dari Pati—kakak laki-laki durjanah yang hobi mengusik.

"Aku mau pulang!" Ergantha tak ingin terbuai oleh iming-imingan dari Pati. Gengsinya terlampau tinggi.

"Balenciaga, Celine—kamu enggak tertarik?" Rayu Pati.

"Enggak perlu! Aku udah punya banyak!"

"Yakin?" Tanya Pati bernada menggoda. "Satu tahun puasa barang Branded, enggak kangen, Tha... Duit Mas kamu ini banyak banget, jadi kamu bisa belanja sepuasnya."

"Sombong!" Pati lantas tertawa.

"Bentar aja, Tha, enggak ada tiga puluh menit... Kalau Mas anterin kamu dulu, harus puter balik." Ergantha melarikan pandangan ke arah jendela bersikeras menolak pun, pasti kalah telak.

"Di bengkel Mas udah ditungguin sama Adzkan, enggak enak kalau dia nunggu lama," lanjut Pati yang membuat otak Ergantha seketika berhenti bekerja. Ergantha sontak menengok, ia tak salah dengar, 'kan, kalau Pati menyebut Adzkan...

"Adzkan— saudaranya Kak Najwa?" Pati mengangguk mengiyakan.

"Nanti selepas dari Bengkel kamu boleh belanja apa aja. Mau makan dan minum Mas traktir asal bukan yang haram."

"Hmmm." Balas Ergantha datar melarikan pandangan kearah jendela. Ia menahan senyuman begitu tahu Adzkan ada di Jakarta.

Ada perasaan kampungan yang kembali hadir di tengah gurun pasir berkepanjangan. Sosok nama Adzkan berhasil membuat Ergantha lupa diri. Delapan bulan tak bertemu namun jantungnya masih tak tahu malu dalam bekerja.

Sial, kenapa jantung Ergantha sering bertindak kampungan begini.

Ergantha menatap rok SMA yang terlalu pendek. Kalau begini, bisa-bisa Adzkan tak menaruh perhatian kepadanya. Sosok laki-laki tampan itu tak tertarik kepada perempuan yang hobi memakai pakaian terbuka. Apa ia membeli Abaya di pinggir jalan saja. Tapi mana ada toko pakaian Abaya yang terjual di pinggiran kota, yang ada hanya pakaian kurang bahan yang memenuhi Etelase.

Terlalu lama berpikir Ergantha sampai tak sadar bahwa mereka telah sampai.

"Toilet dimana?" tanya Ergantha begitu ikut keluar dari mobil bersama Pati.

"Di lantai bawah ada," Pati menunjukkan. "Kalau kamu enggak nyaman, di samping ruangan Mas ada toilet khusus."

"Aku mau ke toilet, Mas Pati duluan aja." Seru Ergantha berjalan seribu langkah meninggalkan Pati.

Begitu memasuki bilik toilet, Ergantha mengeluarkan training olahraga yang sebelumnya sudah berada di dalam tas, memakainya kemudian berkaca. Tak apa terkesan aneh yang jelas rok pendek tak menampakkan kaki putihnya—agar Adzkan menyadari kehadirannya.

Begitu selesai dengan urusannya, Ergantha menuju meja resepsionis menanyakan ruangan Pati. Resepsionis itu pun menunjukkan arah, mungkin Pati sudah memberikan intrupsi jadi tak perlu ada drama yang mendramatisir.

Dari luar ruangan, Ergantha dapat melihat punggung laki-laki yang tengah berbincang dengan Pati. Ruangan Pati yang hanya ditutupi oleh kaca dapat memudahkan Ergantha bersiap-siap menata diri.

Menarik dan menghembuskan nafas secara perlahan, merapikan rambut dengan sekali lagi memeriksa pakaian yang melekat. Ergantha tak pernah segugup ini. Sial, jantungnya kembali bertindak kampungan.

"Assalamualaikum." Ergantha mengetuk membuka pintu ruangan Pati.

Melihat Adzkan yang ikut berbalik menghadapnya membuat pipi Ergantha bersemu merah. Rasanya Ergantha ingin berteriak dan berlari kegirangan. Sepasang iris hangat dengan surai hitam yang di potong rapi itu menatap lekat, menatap Ergantha dengan tatapan hangat. Tatapan yang akan membuat siapa saja merasa cemburu.

"Kamu lagi PMS?" Tanya Pati setelah menjawab salam Ergantha. Menatap penampilan Ergantha yang tak biasa. Setahu Pati, tadi Ergantha tak memakai celana training sepanjang mata kaki di dalam rok pendeknya. Pati juga baru tahu, adiknya ini juga bisa mengucapkan salam.

"Bocor ya, sampai pakai celana panjang gitu." Ergantha mendecak kecil. Pati memang hobi merusak suasana.

"Kak Jwa enggak ikut Mas?" Ergantha melemparkan pertanyaan kepada Adzkan dengan Pati yang mengernyit heran mendengar panggilan Ergantha kepada Adzkan. Pasalnya, Ergantha jarang bersikap manis.

"Sejak kapan kamu panggil Adzkan pakai embel-embel 'Mas'?"

Bisa tidak, mulut Pati itu tertutup rapat. Laki-laki itu sangat hebat dalam merusak suasana yang sedang Ergantha coba hidupkan.

"Najwa lagi sibuk kuliah." Jawab Adzkan kembali menampilkan ekspresi biasa.

"Mas Adzkan di Jakarta berapa lama? Aku mau titip oleh-oleh buat Kak Jwa." Ergantha menduduki diri di sofa, sengaja mengambil jarak kursi yang berjauhan takut suara jantungnya terdengar.

"Tergantung atasan, kalau enggak banyak tingkah mungkin tiga sampai lima hari." Adzkan melirik Pati seakan menyindir.

"Ya elah, Adz. Membantu sesama  pahalanya gede." Kelakar Pati.

"Membantu sama menzalimi beda tipis kalo buat Lo. Jadi mana laporan yang harus gue tinjau?"

"Tadi gue udah minta Hanif buat kumpulin laporan anggaran. Kayaknya dia lupa... Gue ke ruangannya bentar." Pamit Pati berniat meninggalkan Ergantha dan Adzkan di dalam ruangan.

"Pintunya gue biarin terbuka... Ergantha suka kesambet sama setan jadi-jadian." Serunya sebelum pergi, dibalas kekehan Adzkan dan dengusan Ergantha.

"Mas Adzkan udah lama di Jakarta?" Ergantha bertanya sepeninggal Pati.

"Sudah seminggu... Gimana komunikasi kamu sama Pati?"

"Mas Pati enggak peka! Tahu salahnya aja enggak. Minta maaf ninggalin aku juga boro-boro. Serasa menjadi manusia paling suci yang lupa arti kata maaf. Mas Pati juga rewel kalau enggak di tanggepin, bikin budek." Terbit senyuman asimetris di wajah Adzkan, senyuman yang sangat ingin Ergantha bawa pulang.

Ergantha sepertinya mendekati gila, delapan bulan tak bertemu justru membawa sebuah keinginan yang semakin berapi-api.

Menyimpan Adzkan untuk diri sendiri sepertinya ide yang brilian....

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags