"SEMUA anak itu sangat mudah memaafkan, tersenyum dan mengabaikan kesedihannya sendiri. Tapi, orangtualah yang mewariskan dendam dan cara mereka membenci sesuatu."
Ergantha menarik seulas senyuman dengan amarah yang sedikit demi sedikit terangkat. Harusnya, Papa ikut serta dalam kajian yang diadakan oleh keluarga Arjun. Dari awal sampai akhir, kajian yang berputar berisi konsep menjadi Orangtua yang mana sangat cocok untuk Papa. Ergantha yakin, jika Papa ikut serta mungkin sosok yang gila hormat itu akan sedikit sadar.
"Suatu saat, bapak dan Ibu yang ada disini akan paham, kita tidak butuh umur panjang atau uang yang banyak, hanya butuh kelapangan dan kerelaan atas segala sesuatu." Ujar Pak Ustadz yang masih berdiri memberi ceramah.
"Hanya orang tua dengan otak rusak yang mau menyakiti anaknya."
Berarti otak Papa rusak! Ergantha menyimpulkan.
"Kebanyakan kita yang diberi amanah menjadi orang tua, kerap kali tidak sengaja meninggalkan luka. Tapi, kalau sudah terlalu jauh anak kita terluka, yang menjadi fokus adalah upaya anak sembuh dari luka."
Sembuh dari luka? Sepertinya tidak mungkin. Ergantha tak yakin, sudah seberapa dalam tulang ikan yang menjelma menjadi daging hingga berfermentasi menjadi amarah.
"Ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian, terakhir penutup dari saya. Jangan jadikan ilmu kajian untuk mendikte orang lain. Revisi diri kita sendiri dulu, supaya Allah memudahkan dan melapangkan hati ini."
Ergantha merengut, tak setuju. Teringat perlakuan Papa yang memang pantas didikte.
"Gue ngantuk banget," bisik Arlin mengeluh, menegakkan badan agar terlihat bugar.
"Efek kebanyakan setan yang nempel," balas Ergantha ikut berbisik. Lantas Arlin menyenggol bahu Ergantha sebagai tanda tak terima.
Tak lama kajian bertema Peran Orangtua itu pun ditutup dan dilanjutkan acara makan-makan secara buffet. Ergantha, Arlin dan Rere membentuk grup sendiri, disusul oleh Dryl dan Arjun. Mereka memilih duduk lesehan di taman belakang rumah Arjun. Isi tamu undangan syukuran di rumah Arjun pun lebih banyak diisi para ibu dan bapak-bapak.
"Ya Allah Pak Ustadz ganteng banget! Kira-kira udah nikah belum, ya..." Ujar Rere mengungkapkan rasa penasaran sejak tadi.
"Mata Lo emang enggak pernah jauh dari yang bening, Re. Heran!" Arlin menusukkan pipet kedalam minuman gelas. "Gue malah ngantuk banget dari awal."
"Astaghfirullah, ih Arlin... Padahal Pak Ustadz udah capek-capek ngomong, kok Arlin malah ngantuk."
"Siangnya ngedate, sorenya kajian. Ya Syaitan makin hobi niupin mata Lo biar ngantuk." Timbal Dryl.
"Tapi mending gue dong, setidaknya menyempatkan waktu untuk hadir di kajian. Daripada si Frans, party mulu!"
"Sttt!" Arjun mengintrupsi. "Jangan sebut-sebut Party, nanti image gue tercoreng."
"P.A.R.T.Y!" Ergantha mengeja dengan suara yang lantang.
"PARTY!" Dryl meneriakkan lebih jelas.
"Party, Party, party, party..." Rere ikut mengejek dengan membuat nada dalam ucapannya.
Mereka lantas tertawa mengejek Arjun dengan si tuan rumah yang mengawasi sekitar.
"MasyaAllah..." Sambut Umi Afifah dari sisi pintu, menghampiri mereka yang diam seketika cemas jika Arjun tertangkap basah.
"Umi pikir, Syafiq bohong kalau Erganthaa juga ikut kesini."
Mereka lantas menyalami Umi Afifah satu persatu, kecuali Dryl yang hanya memberi gesture tanpa bersentuhan. Arjuna Syafiq Al-Ashary itu dipanggil Syafiq alias Arjun. Sejak kecil Arjun lebih suka memperkenalkan diri sebagai Arjuna, ala-ala ksatria karena jika Syafiq terlalu jauh dengan sifat aslinya. Jadilah hanya keluarga dekat yang memanggil Arjun sebagai Syafiq.
"Kenapa Pati enggak diajak sekalian... Ya Allah gimana sekarang kakak kamu itu. Katanya sudah menetap di Jakarta, betul? Terakhir kali ketemu Ergantha sama Pati cuma sepinggang Umi."
"Gimana sekolahnya? Syafiq bandel? apa dia masih sering jahil?" Umi Afifah tak hentinya mengusap kepala Ergantha yang kini di balut selendang. Ergantha jadi teringat Umi Afifah salah satu teman dekat almarhumah Mama.
"Udah Mi wawancaranya. Enggak lihat wajah calon menantunya Umi bingung mau jawab yang mana." Arjun mengedipkan sebelah mata kepada Ergantha.
"Matamu loh Fiq, mau Umi congkel?" Sangsi Umi menegur dengan galak tak lupa menjewer telinga sang Putra. "Beraninya genit sama perempuan."
"Ampun Mi, ampun!" Arjun memegang telinga yang memerah. Umi Afifah memang tak main-main menghukum putranya. Belum tahu saja kenakalan macam apa yang Arjun sembunyikan dibalik nama Syafiq.
"Aduh, aduh... Umi sampai enggak sadar kalau belum menyambut Rere, Arlin sama Adryl."
"Rere serasa jadi nyamuk!" Keluh Rere pura-pura merajuk memeluk Umi Afifah erat.
"Tenang Re, Lo masih bisa jadi istri kedua." Timbal Arjun yang dibalas pelototan Umi.
"Astaghfirullah, Fiq! Umi lakban itu mulut kamu!"
"Bercanda kali, Mi. Dihati aku sampai saat ini cuma ada Umi." Arjun memeluk bahu Umi, takut mulut manis ini benar-benar dilaknat.
"Frans kemana? Kenapa dia enggak ikut? Bulan lalu juga alfa, 'kan, teman kamu itu."
"Sibuk dia, Mi." Arjun memberi alasan, padahal Frans mungkin sedang asik bersiap untuk berpesta.
"Gimana makanannya? Sesuai selera kalian?"
"Enak dong, Re aja mau bungkus." Puji Rere menampilkan wajah semangat.
"Nanti Umi bungkusin biar kamu bisa makan lagi di rumah," balas Umi memegang tangan Rere. "Umi juga punya Abaya buat kalian sekalian sama Hijab, kajian berikutnya dipakai."
Mereka mengangguk bersama menerima hadiah yang mungkin hanya dipakai sekali saja. Tak lama, Umi Afifah pun kembali ke dalam mengingat masih banyak tamu yang ia harus sapa.
"Lo enggak pernah kegep Jun?" tanya Ergantha selepas kepergian Umi Afifah.
"Kegep mencintai Ergantha Hardina Prasetyo?"
"Kegep minum khamer!" Desis Ergantha dengan suara kecil namun tajam.
"Mulut, Tha, sayang!" Peringat Arjun melihat sekeliling, tak lupa menautkan kata sayang untuk panggilan kepada Ergantha.
Beruntung tak ada yang mendengar ocehan dari bibir mungil Ergantha, bisa-bisa Arjun akan dicambuk delapan puluh kali. Arjun mengelus dada takut kelakuan bejatnya terendus oleh keluarga.
"Ya Lo, ditanya apa jawabnya apa!" Cerca Arlin.
"Enggak, gue enggak pernah kegep. Kalau pun ketahuan, kalian semua enggak bakalan bisa liat wajah tampan mirip oppa-oppa Korea kayak gue."
"Dih, serasa jadi Cha Eun Woo, Lo!"
"Gue sih enggak bilang gitu ya, tapi banyak yang mengakui." Mereka semua mensoraki Arjun yang tak tahu malu.
"Memangnya apa hukuman Lo?" Tanya Dryl mengingat Arjun begitu berhati-hati agar tak ketahuan.
"Lo enggak tahu aja, hukuman dari keluarga gue enggak sebanding sama hukuman dari keluarga kalian. Bisa keluar dari akte warisan, di tendang jadi fakir miskin, diungsikan ke daerah yang entah berantah. Tapi yang pasti, sebelum itu bakalan di cambuk sebanyak delapan puluh kali." Kata Arjun menjelaskan.
Arjun jadi berdigik ngeri membayangkan nasib jika satu keluarga tahu kenakalan yang ia sembunyikan. Dulu, salah seorang sepupunya pernah ketahuan menjadi pemakai barang haram—Narkoba. Jangan tanya nasib sepupunya kini, setelah direhab ditendang dari ahli waris kemudian tak diberi sepeserpun uang, kini diungsikan kedaerah Turkey, yang mana sepupunya harus bekerja demi menghidupi diri sendiri.
"Lebay Lo," seru Ergantha tak percaya. "Enggak mungkin Umi Afifah sebegitunya."
"Lo enggak tahu aja, Tha. Calon mertua Lo itu galaknya to the bone."
"Tiga bulan sekali kajian, emang enggak bikin Lo paham kalau alkohol haram?" tanya Ergantha spontan.
"Emang Lo juga enggak paham kalau Alkohol haram?" Ergantha diam tak membalas. Tentu saja ia sudah tahu Alkohol memang dilarang dalam agama. Tapi tak ada pelarian semenenangkan minuman berefek mabuk itu. Ergantha terlanjur cinta!
"Paham dan mengamalkan punya dua arti yang berbeda, karena pada dasarnya, paham aja enggak cukup." Dryl menengahi.
Dryl juga tahu perasaan tak bisa berpisah dengan alkohol. Cecapan rasa manis dan pahit yang hadir terlalu nikmat untuk dilupakan. Namun nikmat iman yang kerap kali orang-orang sebut itu, nyatanya jauh lebih manis dari apapun.
"Arjun enggak takut kalau Umi Afifah sampai tahu anak laki-laki satunya malah hobi clubbing?" Tanya Rere.
"Gue udah keburu nyebur. Ibarat jatuh cinta sama Ergantha yang kalau mau move on susah banget." Arjun melemparkan kedipan khasnya kepada Ergantha.
"Halah! Comberan banget itu isi mulut!" tolak Ergantha terang-terangan.
************