Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tumpuan Tanpa Tepi
MENU
About Us  

SEMUA pasti berpisah, ingin tak ingin. Ergantha tak pernah menyukai kesan hangat yang tertinggal, sebab cepat atau lambat segalanya akan menghilang dalam satu kali perputaran.

Ergantha berjanji akan kembali lagi ke kota Kembang ini— tanpa kehadiran Pati. Kembali bersapa dengan Najwa dan bermain bersama anak Panti. Ergantha jadi teringat, ia bahkan tak sempat berpamitan dengan anak-anak Panti, terlampau emosi dengan Pati sampai  lupa untuk berpamitan. Amarah memang tak patut untuk diikuti, sebab berujung sia-sia dengan hanya diri yang menjadi korban.

Tadi pagi, Pati sudah berangkat ke Jakarta sendiri tanpa Ergantha. Ia menitipkan ponsel beserta dompet milik Ergantha kepada Adzkan. Tingkah saudara laki-lakinya itu terlalu menyebalkan, tak sedikitpun berbasa-basi ataupun merayu Ergantha yang tengah merajuk. Alih-alih mengajak Ergantha pulang bersama ke Jakarta, Pati justru bertingkah tak peduli.

"Tunggu bentar ya, Tha..." Suara Najwa membuyarkan pikiran Ergantha yang tengah berkelana.

Selama di perjalanan tadi, tak ada yang membuka suara. Adzkan dibagian pengemudi, sedang Najwa dan Ergantha duduk di bagian kursi penumpang. Setiba di Rest Area, Najwa meminta Ergantha dan Adzkan menunggu di mobil, sebab ia butuh mencari toilet.

"Saya boleh tanya sesuatu?" Adzkan membuka suara begitu Najwa meninggalkan mereka berdua di dalam mobil.

"Kenapa kamu membenci perempuan yang sudah melahirkan Mama kamu?"

Adzkan pikir, Ergantha merindukan sosok Eyangnya. Saat ia menemani Ergantha ke makan sang Eyang, gadis itu justru menangis, layaknya cucu yang kehilangan.

"Saya tidak bermaksud menguping pertengkaran kamu dengan Pati. Tapi ya... kamu tahu, burung peliharaan di teras rumah saya saja bisa mendengar suara amarah dari Pati."

Ergantha sudah bilang, 'kan, kakak laki-lakinya jika sedang berfatwa tak peduli akan tempat. Image yang Ergantha ingin jaga sudah cidera di mata laki-laki favoritnya ini.

"Enggak ada alasan khusus... Cuma perkara masa lalu yang enggak akan bisa berubah." Ujar Ergantha.

"Perihal Eyang kamu yang enggak menepati Janji?"

Ergantha tersenyum kecut, "Bagi orang-orang, aku cuma anak kecil yang merengek karena enggak diajak ikut tinggal bersama Eyang.... Disatu waktu, harapan yang Eyang dan Mas Pati berikan justru berperan sebagai belati."

Sejak tujuh tahun silam, saat Pati sering kali kabur dari Rumah dan hidup urak-urakkan, Eyang menemui Papa, meminta izin agar Pati hidup bersamanya— demi masa depan Pati. Saat akan pergi, Eyang berjanji kepada Ergantha bahwa ia akan kembali menjemput Ergantha agar bisa tinggal bersama. Hingga Tujuh tahun berlalu, hidup Ergantha masih terkurung di bawah kaki Papa.

Sial, Ergantha jadi mengingat memori menyakitkan itu.  Ingatan disaat ia merengek kepada Pati agar bisa dibawa bersama, menangis dan mengiba kepada Eyang. Nyatanya, suara lirih Ergantha memang tak penting untuk mereka semua.

"Mereka mungkin tidak bermaksud menyakiti kamu..." Kata Adzkan meluruskan.

"Mereka terlalu asik menjadi penonton. Sekalipun aku mohon-mohon, enggak bakalan ada yang peduli."

"Mencoba memahami alasan dibalik sesuatu, juga bisa menjadi sebuah opsi terbaik."

Ergantha mendengus kecil, "Bagi mereka aku cuma lelucon— anak kecil yang harus diberi aturan dan selalu di suapi harapan palsu."

Bagi Papa, Mas Pati dan Eyang. Aku cuma manekin lelucon. Ergantha membatin.

"Disaat anak perempuan mengidolakan Ayah mereka, aku satu-satunya yang mendoakan kepergian Papa dipanggil Tuhan." Ergantha melarikan pandangan ke arah jendela. Padahal mereka  berbicara tanpa saling menatap.

"Setidaknya seorang Ayah juga berhak dihargai atas kerja kerasnya. Walaupun kebanyakan dari mereka salah persepsi, mengira kebutuhan fisik saja sudah cukup." Kata Adzkan menatap lurus.

"Apa seorang Ayah yang mengurung anaknya di ruang bawah tanah juga pantas untuk dihargai... Seorang Ayah yang meneriaki dan membentak anaknya juga pantas di hormati... Apa dewasa itu artinya bisa menjadi egois?" Ergantha menatap Adzkan melalui kaca kecil di depan pengemudi.

Aneh, kenapa orang tua memiliki tingkat kedudukan tertinggi, seperti harus dihormati dan dihargai. Jika ia terlahir di keluarga normal, hal ini mungkin bukan masalah besar. Namun hal penghormatan tentu tak bisa berlaku untuk keluarganya.

Berisikan penghuni neraka!

"Ergantha..." Seru Adzkan menjeda, menyentuh stir mobil yang sudah ia matikan. Tak tahu ungkapan apa yang pantas terucap, tak ingin menyakiti sekaligus tak ingin Ergantha menjadi pendendam.

"Jangan menjalani hidup dengan membenci Papa kamu."

"Aku udah pernah bilang, 'kan, Mas Adzkan enggak bakalan mengerti!"

"Tidak ada seorang pun yang akan paham rasa sakit yang kamu alami, Ergantha... Terlebih Saya, Pati ataupun anak yang tidak diberkahi orang tua bertanggungjawab.... Tapi mencari kebaikan setiap manusia juga suatu keberkahan.  Cause that's what the good people do— bukan malah menjadi penjahat seperti mereka."

Ergantha tak pernah suka membicarakan masalah emosi yang ia pendam. Sebab, kebanyakan orang akan membandingkan masalah mereka kembali, berujung ia tak dapat solusi, justru semakin menjadi. Namun Adzkan, berbeda.

Apapun yang terucap dari mulut Adzkan, rasanya seperti sebuah irama menenangkan, meski terkadang menyebalkan. Tetap saja, di telinga Ergantha terdengar seperti sebuah perhatian bersajak puisi dari pujangga.

Laki-laki yang kerap mendebatnya dan memberi fatwa mengenai kehidupan ini selalu menawan di saat apapun. Entah disaat ia menghakimi minuman alkohol kesukaan Ergantha, ataupun ditengah huru hara hati yang tengah menyimpan dendam. Adzkan terlampau bersinar, menyentuh seluruh elemen dalam jiwa.

Ah, Ergantha jadi ingin membawa Adzkan ikut bersamanya— pulang ke Jakarta.

Apa ia saja yang pindah ke Bandung... Ergantha menggeleng, kurang dari satu tahun lagi ia akan lulus SMA. Mana bisa melalaikan sekolah— bisa-bisa Papa tak akan memberikan uang saku— dan Ergantha tak suka jika dompetnya tak bereforia.

"Mas Adzkan... Kalau kita jadi sahabat, gimana?" Tanya Ergantha sebarang.

Adzkan lantas menengok sekilas ke belakang, mereka sedang berbica hal serius namun Ergantha mengucapkan hal yang konyol.

"Aku enggak minta mas Adzkan buat jadi pacarku, cuma jadi sahabat... Gimana?"

Apa ia harus mengubris pertanyaan anak SMA yang tengah labil ini, beberapa jam lalu diam dengan raut masam, beberapa menit kemudian berubah menggodanya. Adzkan masih cukup berakal untuk tak mengiakan pertanyaan tersebut.

"Jadi, aku di tolak?"

"Saya bukannya menolak, hanya tidak tertarik." Jawaban yang terdengar dimplomatis sekaligus menyakitikan.

"Karena aku enggak menarik—jadi, ditolak, begitu?"

"Ajakan kamu itu yang tidak masuk akal, Erganthaa."

"Bagian mana yang enggak masuk akal?" Tanya Ergantha agak meninggi. "Aku cuma minta jadi sahabat— Emang enggak boleh?"

"Memangnya kamu tidak memiliki teman? Di Jakarta kamu sudah punya banyak, 'kan...."

"I—itu, 'kan, beda!" Adzkan menghela nafas, balas menatap Ergantha melalui kaca di bagian depan pengemudi.

"Ya sudah, terserah," tutupnya tak ingin lebih panjang.

"Ck! Kalau Teh Asih yang minta pasti Mas Adzkan mau. Dosa tau, suka sama perempuan yang sudah punya tunangan! Enggak halal!" sarkas Ergantha mendengus kasar.

************

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags