Apa pun yang berakhir,
semoga itu tak merusak
alam pikir. —Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Sejak kemarin, lagu Andmesh Kamelang yang berjudul Hanya Rindu menjadi playlist favorit di telingaku. Aku mendengarnya di tiap pukul setengah empat sore setelah beribadah, dengan maksud menunggu pasukkan daging goreng sejati yang bernyawa untuk diberi makan.
Ayam tetaplah sebuah prioritas meski bencana alam terjadi, aku sudah menyinggung hal itu sejak dulu. Tapi ada satu yang mungkin bisa saja membuat hewan itu tidak dalam perhatian Mama, yaitu ketika Kak Novan sukses menjadi pegawai kantoran yang gajinya tidak main-main.
Itu terjadi tahun lalu, dan semenjak bahan kebangaan seperti Kak Novan telah membuktikan diri bahwa dia mampu jadi orang kaya. Maka personel ayam milik Mama juga berkurang, keberadaan mereka hanya sebagai hobi.
Sekarang pun aku dituntut untuk segera menyelesaikan gelar S2 Kedokteran. Sebenarnya kata Mama tergantung rezeki, tapi kak Novan menekankan jikalau rezeki tanpa usaha tidak sinkron apa kata dunia?
Hanya liburan semester yang membuatku ingat pulang, juga kembali mengemban status sebagai pemberi makan ayam. Aku tak menemukan perbedaan yang spesifik meski diusia yang telah menginjak dua puluh lima tahun ini, kecuali seseorang yang berada di seberangku sana.
Sejak tiga bulan lalu, dia tidak duduk sendirian lagi di pelatarannya. Otomatis tidak sendirian juga ketika mendumel lihat kelakuanku tiap main ke situ. Lihat saja eskpresi mereka bedua sekarang, sama-sama seperti juri yang terpaksa menyelesaikan audisi seseorang meski mereka tahu orang itu harusnya gagal saja sudah.
"Jo, manjat, Jo!"
"Mulai lagi lu, Andira!"
Belum lagi aku menyeberang jalan, kami sudah menciptakan perdebatan yang membuat gadis di dekat Jo tertawa kecil.
"Masa Renata enggak mau makan tuh buah? Ayoklah mencok!" rayuku ketika sampai di dekat mereka.
Terlihat Jo menatap Renata dulu, gadis yang kini sudah menjadi istrinya. "Ambil gih," katanya kemudian.
Hampir Jo mau menempeleng kepalaku, tapi dia juga tetap bangkit untuk menuruti keinginan kami. "Tahun-tahun sebelumnya, buah-buah depan rumah ini pada busuk," kataku pada Renata.
"Kenapa?" tanya sang empunya.
"Karena gue sempat pensiun buat mencaploknya, tapi sekarang, karena ada kamu kita bisa caplok bareng-bareng."
BOHONG! Padahal bukan itu alasan yang sebenarnya, namun Renata terlihat menganggukkan kepala seakan paham —sambil tertawa.
"Ayo monyet, petik yang banyak!" Kemudian aku membuat Jo melemparkan buah ke arah kami dengan kencang, hanya saja sengaja dilesetkan soalnya sambil berpikir bakal kena Renata.
"Yang banyak!" kataku, soalnya agak bangga ketika tahu pohon itu tetap berbuah mau ada aku sebagai pencaploknya atau tidak, begitu juga dengan kehidupanku yang terus saja berlanjut meski ada Anan ataupun tidak. Keduanya sama-sama punya makna yang membuatku jadi sok romantis kepadanya, di mana aku mampu untuk menjadi baik-baik saja.
Gue mampu, Anan.
Meski setiap malam, lu selalu datang ke dalam mimpi gue. Nyemangatin gue, dan tetap yakinkan gue buat tetap melanjutkan hidup.
Gue sudah enggak sering nangis lagi, gue juga selalu tersenyum kalo ingat sama lu. Gue udah bisa mengendalikan diri supaya jadi manusia yang normal, meski kadang diam-diam nangis di dalam kamar, tapi itu cuma sebentar kok.
Supaya lu tau, kalo gue enggak akan pernah ngelupain lu sedikit pun.
Mampuku bukan berarti harus lupa padanya. Bahkan aku masih sendiri untuk jangka waktu yang lama, seakan tetap menjalani hidup adalah saja sudah cukup untukku menjadi mampu.
Dan kuharap, kamu juga bisa merasakan hal yang sama. Jalani hidup dengan baik ya. Meski tidak segala hal akan terus baik-baik saja di dunia ini, tetaplah menjadi mampu untuk menjalaninya. Kamu masih bernapas sampai detik ini saja pun sudah hebat, tidak perlu menuntut diri yang tinggi-tinggi.
Semampumu saja, dengan kamu, dan versi terbaikmu.
⋇⋆✦⋆⋇
Aku ucapkan terima kasih kepada siapa pun yang berhasil sampai di titik ini, sehat selalu ya. Semoga hal-hal baik selalu menyertai kamu.