Jangan cowok, cowok mulu.
Kecuali kalo cowoknya Anandra.
—Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Ternyata, hanya demi menunggu kedatangan seblak, aku dan Kak Novan seperti pimpinan Korea Selatan dan Korea Utara yang sedang melakukan diskusi perdamaian. Kami sama-sama menunggu di ruang tamu, di mana aku sibuk melanjutkan tontonan drama korea, dan Kak Novan sibuk push rank di permainan sengit daringnya.
Beberapa kali guntur mengagetkan kami, sebenarnya tidak separah itu kalau untuk seumuran orang dewasa. Andira di mata Jo yang dikira
nongkrong atas genteng.
"Kan bisa dipanaskan, tadi Adek minta kuahnya dipisah," sahutku.
"Pasti beda sih." Lagi-lagi Kak Novan hanya bimbang terkait seblak saja, tidak tahu kalau aku sangat memikirkan dua sahabatku yang belum juga sampai ke rumah sampai detik ini. Mungkin aku juga setuju dengan ucapan Kak Novan kalau ada sensasi yang berbeda dengan makanan titipan kami, hanya lima puluh persen. Sisanya tentu perasaan tak tenang karena harus menjawab pertanyaan Anan terkait permintaannya.
Aku kembali mengalihkan isi layar ponsel ke tampilan diskusi daring, namanya tertulis sebagai Anandra Gue sejak sepuluh menit lalu. Dan aku merasa bodoh karena tak tahu balasan pesanku sudah dijawab oleh sang empunya sejak tadi. Sambil membenarkan posisi duduk jadi bersila di atas sofa, aku bersandar dan mulai mengobrak-abrik isi percakapan kami.
Anandra Gue
◌ Dibuka
Jo ngantri
Andira
Haha, nyerobot.
Anandra Gue
◌ Dibuka
Jo bayar
Andira
Aseekkk!
Anandra Gue
◌ Dibuka
Jo bawa kresek seblak
Andira
Otw pulang, kan?
Anandra Gue
Iya, sayang.
Dia mengirimiku pesan seperti penguntit yang mengidolakan Jondara. Sayang sekali kiriman fotonya hanya sekali lihat, dan aku tidak bisa mengabadikan itu ke dalam galeri. Meski ingin, sangat ingin dipamerkan pada hari ulang tahun Jo sebagai aibnya. Juga bertepatan jawaban Anan yang terakhir, aku mengalihkan salah tingkah ke tontonanku. Hal itu yang membuat pesan selanjutnya terlewatkan karena kupikir dia hanya mengirimku pesan Iya, sayang saja.
Sekali lagi : Iya, sayang.
SAYANG!
Anandra Gue
◌ Dibuka
Kehujanan, mampir dulu kami.
Mungkin ini alasan kenapa dua-duanya jadi lama, pesan terakhirnya menunjukkan gambar mereka berdua yang berhenti di salah satu warung dengan rambut basah. Pasti tadi lupa bawa jas hujan.
Andira
Anan
Di mana?
Hujannya reda di sini.
Anandra Gue
Sebentar, sayang.
Tebak aku bisa apa? BISA GILA.
Bayangkan jikalau Anan datang ke sini, lalu menatapku sambil tersenyum dan berkata, "Gue pulang, jadi apa jawaban lu?" Tiba-tiba aku belum siap, tiba-tiba ingin hujan lagi biar dia tidak ke sini dulu.
"Lu kenapa sih?" Kak Novan menegurku.
"Hah? Emang kenapa?" Aku mungkin sudah kehilang saraf sensorik yang membuat sesuatu dalam penglihatan Kak Novan memberi penilaian : Andira aneh.
"Lu senyum sendiri. Dari semalem, Maaaa!"
"Ih! Apa sih ngadu terus!" Aku melemparinya dengan bantal, dan keributan kami hampir viral di rumah itu kalau Mama tak keluar dengan langkah buru-buru.
"Belum pulang?" tanya Mama.
"Apanya?" Kak Novan cepat bergerak karena Mama responnya agak mengkhawatirkan.
"Anak Ratna dan Yohana," jawab Mama yang menyebutkan Anandra dan Jondara.
Kak Novan melirik ke arahku, dan aku langsung membuka ponsel untuk menunjukkan isi pesanku pada Mama. "Ini, pesan Anandra," kataku.
"Jiaaahh! Ma! Sayang-sayangan, Ma!" Kak Novan heboh, langsung rebut ponselku begitu saja dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"KAK NOVAN! IH BALIKIN!" Aku pun melompat-lompat untuk merebutnya, sedangkan Mama agak terkekeh melihat kami berdua.
"Kenapa? Takut si Ayang ngehubungin?"
"KAK NOVAAANNNN!"
Kalau diukur dalam persen, kemarahanku mungkin cuma lima persen. Sebab yang sembilan puluh lima persen adalah malu sekali. Lagian aku mau Mama jangan terlalu khawatir sama dua anak dari sahabatnya itu, salah Mama yang berlebihan sekali tadi saat membahas mereka.
"Assalamu'alaikum."
"Nah!" Kak Novan langsung menyerahkan ponselku kepada Mama, lalu dia pergi ke arah pintu.
Masalahnya, naluriku berkata kalau dia akan melakukan hal yang pasti bertujuan untuk mempermalukanku. Tidak! Aku akhirnya ikut lari ke arah pintu utama, di mana Kak Novan sudah mau memegang ganggang pintu sebelum kegesitanku mampu membuatnya menubruk dinding seperti cicak yang merayap.
Orang pertama yang kulihat saat pintu terbuka adalah Anan, bersama baju yang basah kuyup dan rambut berantakan.
TETAP GANTENG, HERAN!
Satu tangannya memegang helm, yaitu di bagian kanan. Sedangkan kirinya memegang kresek. Lalu di belakangnya baru terlihat Jo dengan penampilan sama, dia menggelengkan kepala sambil menyisir rambutnya yang basah pakai jari-jari tangan.
"Uy, suruh masuk kek, diem-diem bae." Kak Novan bersuara di balik daun pintu yang kutahan kuat-kuat, dia terjepit di sana, dan itu menarik perhatian Anan yang menaikkan dahi seakan punya pertanyaan terkait apa yang sudah terjadi.
"Masuk gih," kataku, "Dan! Jangan hiraukan Kak Novan malam ini."
"Aduh! Pasti dingin sekali! Ini cepat ganti baju, pinjam punya Kak Novan." Mama ikut menyambut sambil menyerahkan dua buah handuk kepada Anan dan Jo. Kemudian dia memberi kode padaku untuk menerima kresek yang dibawa oleh Anan, kami bertatapan sebentar sebelum jari kelingkingnya sengaja menaut jari kelingkingku dan menahannya.
"Minggir!" Juga yang pasti, Jo ini kedinginan. Jadi dia membalap lebih dulu dan masuk ke kamar Kak Novan sebelum pemiliknya masih saja terjepit di belakang pintu.
"Sana," kataku pada Anan.
"Jawabannya," sahut Anan.
"Anan, nanti aj ...."
"Sekarang." Anan membuat Mama dan Kak Novan ikut memperhatikanku, kami semua jadi tatap-tatapan. "Tante, aku izin ...."
"Iya! Iya! Jawaban gue iya!" Sambil menutup mata, aku bilang begitu.
"Selamat jadian." Dia agak berbisik sambil menepuk puncak kepalaku, tanpa perduli ada Mama atau Kak Novan. Yang ada, dia cengar-cengir sebelum pergi.
"Apa tuch?" Kak Novan mendekatiku, begitu juga dengan Mama.
"Ngapain?" bisik Mama juga.
"Apanya yang iya?" Tambah Kak Novan.
Sumpah, aku mau meledak di detik itu juga. Ingin sekali kabur dari rumah dan bersembunyi ke tempat yang paling gelap di dunia ini supaya mereka tak tahu kalau aku salah tingkah.
"Cieee ...."
Sebelum Kak Novan benar-benar mengejekku, aku kabur meninggalkan orang-orang yang tersisa di ruang tengah kami. Lalu terdengar gelak tawa Mama dan Kak Novan yang begitu menang dan puas dalam hal mengejekiku. Meski begitu, ejekkan mereka bukan sesuatu yang menjengkelkan, sebab aku juga senang merasakannya.
⋇⋆✦⋆⋇
Sebab beli empat gratis satu, maksud Kak Novan adalah agar Mama juga dapat bagian. Maka berakhirlah ruang tengah rumah kami diisi oleh lima orang, yang mana orang paling dewasa adalah Mama sendiri.
Kupikir Mama tidak akan keberatan mau seberapa sering Jo dan Anan main ke sini, sebab ketika bersama mereka, kami jadi sering berkumpul dan berbagi cerita. Beda kisah kalau cuma ada kami bertiga, Kak Novan sibuk dangdutan di kamar, aku sibuk kelayapan di luar rumah, dan Mama fokus beres-beres pada tiap sudut tempat tinggal kami.
Bukan berarti kami menjadi anti sosial, maksudnya adalah, biasanya kami berkumpul hanya tiga orang saja. Tapi sekarang jadi lima, dan bahan obrolannya semakin di luar nalar.
Seperti Kak Novan yang mengajak main tebak-tebakan, dia tanya, "Kenapa kucing kalo maling sesuatu enggak pernah ketangkep?"
Kami diam sejenak, sambil menyuap isi mangkuk yang ternyata semua pesanan berlevel tujuh. Ini cuma Mama yang sanggup makan cepat, kalau aku dan Anan, jangan tanya. Sekali suap, maka sekali minum kami berdua.
"Pasti berujung lagu," tebakku.
"Tebak dulu ngapa," sahut Kak Novan.
"Karena kucingnya lucu," jawab Anan.
"Mana ada! Kucing yang nyolong ikan di rumah gue buluk, anjirr," tutur Jo.
"Karena kucing larinya cepat, gesit, dan ...."
"Ah, jangan yang realistis-realistis banget, Ma," sela Kak Novan, meski dia tahu Mama itu menyampaikan sesuatu sesuai pengalamannya.
"Iya terus apa?" tanyaku.
"Karena kucingnya ...." Kak Novan meniup isi sendoknya, lalu memasukkan itu ke dalam mulut sampai kami harus menunggu dia selesai. "Ga-wrong," lanjutnya.
Raut kami yang sebelumnya sangat serius, kini berubah semuanya menjadi bermakna : anjirlah! Jo saja menghela napas sampai panjang sekali, andai kata candaan itu adalah dariku, pasti sudah kena geplak puncak kepalaku oleh telapak tangannya yang besar.
"Enggak cuma kucing garong, Bang. Semua kucing susah ditangkap." Hanya karena ucapan Mama barusan, kami semua pecah tertawa.
"Kucing ga-wrong, Ma. Enggak pernah wrong, jadinya enggak ditangkep."
"Ahahahaahah!"
Kami tergelak semakin kencang, Mama pun baru mengerti dan terlihat malu sampai memukul baju anak laki-lakinya. "Kebanyakan nonton Tiktok kamu," katanya.
"Uhuk! Uhuk!" Aku sampai terbatuk-batuk karena ini, dan Anan yang duduk di sebelahku langsung menyodorkan air minum.
Seketika semua orang memperhatikan kami, di mana di meja seberang ada Mama dan Kak Novan, lalu di paling ujung sebelah Anan ada Jondara. Mereka membuat kami berdua menjadi kaku sebab Anan sambil menepuk pelan punggung belakangku.
"Bubar aja kali, dunia ini sudah bukan milik kita," canda Kak Novan.
"Pelan-pelan." Ini respon Mama sebagai ibu yang perhatian dengan anaknya.
Aku mengangguk setelah minum, lalu melirik Anan agar berhenti menepuk punggungku. Dia hanya tersenyum sambil menarik tangannya, lalu lanjut menghadapi isi mangkuk di mana porsi kami berdua memang sama-sama masih banyak.
"Kenapa jadi medan level tujuh semua?" Mama tanya.
"Nih Tante, sok bilang sanggup makan pedas." Jo menepuk punggung belakang Anan dengan hantaman yang keras, sang empunya sampai menutup mata.
"Maaf, Tante," tutur Anan.
"Tante enggak masalah, yang masalah itu kalian berdua. Sama-sama enggak bisa makan yang terlalu pedas," kata Mama.
"Santai, Ma. Tanda jodoh itu," ejek Kak Novan.
"Ya sudah, Mama duluan ya. Kalian jangan terlalu malam, kalau sudah selesai langsung bubar saja." Mama bangkit lebih dulu dan meninggalkan kami berempat di sini.
"Gue mau berak," sambung Kak Novan, pasti terlalu kepedasan. Mana larinya kencang sekali juga.
Alhasil tersisa kami bertiga di sini, lagi-lagi untuk perkumpulan yang sudah sejak lama aku idamkan. Aku masih tidak percaya kalau Anan dan Jo benar-benar sudah bisa berteman.
"Ini gue sebagai obat nyamuk, atau sebagai sahabat lu berdua?" tanya Jo.
"Obat nyamuk," sahut Anan.
"Kampret!"
Aku tertawa mendengarnya. "Makasih, lu berdua sahabat terbaik gue," kataku.
"Sahabat, sahabat. Gue bukan sahabat lu sekarang," sahut Anan.
"Maksudnya kalo kita lagi bertiga."
"Jo, jauh-jauh sana lu! Gue mau dianggap sebagai pacar sekarang." Anan tiba-tiba mendorong bahu Jo.
"Kagak! Makanan gue belum habis juga!" tolak Jo.
Begitulah, setidaknya mereka baik-baik saja dengan suasana pertemanan seperti ini.
Tbc;