Yang waktu kecil suka mancing keliling
kampung apa kabarnya sekarang?
—Andira
⋇⋆✦⋆⋇
"Lu nebeng siapa?"
"Nebeng gue."
"Gue nanya Andira."
"Iya gue yang jawabkan."
Sebagai orang yang berjalan di paling ujung, mungkin aku tidak tahu ekspresi Jo ketika bicara dan juga menyolot sama jawaban Anan. Tapi aku sangat tahu kalau Anan tidak mau kebersamaanku lebih kental ketimbang dengan dirinya meski tanpa susah payah kulihat eskpresi yang dibuat.
Jadi aku menyengap tanpa ikut masuk ke dalam perdebatan mereka. Sampai langkah kami sama-sama dinyatakan tiba di parkiran, baru aku bisa melihat wajah Jo begitu datar mirip Itachi Uchiha. Bedanya, dia begitu seakan melampiaskan sesuatu yang menggangu hati dan juga pikiran. Tebakku saja sih, soalnya ketika kami berpandangan dia masih mengangkat kepalan tangan kepadaku.
"Nanti sore ke rumah," kata Jo.
"Siapa?" Anan tanya.
"Lu berdua," jawabnya sambil memasang helm.
"Ngapain?" Sekarang aku yang tanya.
Jo menyalakan kendaraannya dulu sebelum menjawab, "Nangkap burung gereja di genteng rumah gue."
"Orang serius juga."
"Lah gue kira lu mau nangkap burung di atas genteng rumah Anan kemarin."
"Ah, gila lu ... JOOO!" Sang empunya lagi-lagi melancing tanpa mau mendengar ocehanku. Ini tak sama ketika pagi tadi membuatku termenung menatap kepergiaannya, dia nyata sangat sengaja dengan senang hati dan juga tertawa.
"Kejar?" Anan sudah naik ke motornya sambil menarik bahu untuk lebih dekat. "Kejar enggak?" tanyanya lagi sambil memasangkan helm di kepalaku.
Sekali lagi : MEMASANGKAN HELM.
"Enggak usah." Apa itu salah tingkah? Maju sini, akan kuhadapi dengan peralihanku yang jago akting.
Meski ketahuan Anan juga karena bahwa wajahku tak sejago Prilly Latuconsina ketika mode serius, dia mencubit pipiku dengan keras, lalu kubalas dengan membogem bahunya kencang-kencang. Kami sama-sama kesakitan dan tertawa, sampai aku menerima kode untuk naik di belekangnya.
Jika biasanya supir akan mengendalikan kemudi ketika sang penumpang sudah siap, di sini justru aku yang dibuat seperti penunggu untuk menentukan pemberangkatan kami. Hanya saja, untuk menegur Anan pun aku masih perlu waktu menenangkan diri, ada sesuatu yang masih berantakan dalam hatiku sana. Kelakuan Anan barusan benar-benar membuatku tak karuan untuk menjadi sosok Andira yang normal.
"Lu bakal datang ke rumah Jondara?" Ternyata ada sesuatu yang juga Anan pikirkan sejak tadi, dan kutebak dia baru berani mengungkapkannya.
"Emang kenapa?" tanyaku.
"Enggak apa-apa, soalnya gue pengen."
"Huh? Ke rumahnya?"
"Iya."
"Iya udahlah." Aku tertawa sambil memukul lengannya. "Kita ke sana, entah dia serius atau enggak ya terserah. Kita bisa bikin mie kuah di dapur Bunda Yohana," kataku.
Akhirnya mulai melakukan perjalanan pulang ini, kami melaju tidak seperti pagi tadi. Mana ada suasana membahana yang dipamerkan sang surya akan membuat kami tahan di bawah kukuhannya, bahkan tukang becak saja memilih bernaung di dalam tudungnya sembari menunggu penumpang yang memilihnya.
Aku tidak pernah merasa aneh semenjak Anan merubah diri menjadi lebih kontra posesif dan baik-baik saja dengan Jondara. Mereka hanya merasa ketidakcocokan di awal saja, padahal aku yakin, keduanya akan menjadi pemanjat pohon sejati jikalau aku kebelet mencaplok buah mangga kecil di pelataran rumah Jo.
"Renata kemarin ngapain, Anan?" Aku meneriakinya dari jarak dekat, hampir mendaratkan dagu di atas bahu Anan.
"Enggak ngapa-ngapain, cuma temen," teriak Anan juga, "Enggak usah cemburu. Enggak usah dipikirkan. Gue beneran enggak ada apa-apa sama Renata kecuali dia yang merasa masih perlu gue buat jadi temen gantengnya."
"Siapa yang cemburu?"
"Lu tanya artinya cemburu."
"Cuma nanya."
"Iya, karena cemburu, 'kan?"
"MANA ADA!"
Anan tertawa saja selepasnya, sedangkan aku segera menutup kaca helm biar tak terbaca di kaca spion yang sengaja mengarah padaku.
Satu pertanyaan yang akhirnya muncul : iri 'kan lu pada?
⋇⋆✦⋆⋇
Percuma saja aku mendumel-dumel sampai bersumpah tak akan keluar sore saat waktu menunjukkan pukul empat ke bawah. Coba lihat saja di mana keberadaanku sekarang, pasti lebih parah ketimbang kemarin hingga Mama tidak mungkin melihatku hanya dari pelataran rumah. Meski hal baiknya adalah, teriakkan super wanita itu jauh lebih rendah kalau nanti menjadi alarm yang mengingatkanku untuk memberi makan ayam.
Terakhir kali aku di sini mungkin dua tahun lalu, ketika Tante Yohana begitu antusias mengatakan bahwa anak kelas tiga SMP yang sudah mau lulus harus bisa memetik bunga teratai yang mekar di kolam kecil belakang rumahnya. Katanya juga, kamu akan masuk ke sekolah impian banyak orang jikalau berhasil. Hingga hal tersebut menciptakan persaingan yang begitu ketat antara aku dan juga Jondara.
Kami memutuskan tali silaturahmi untuk berjuang seorang diri, soalnya yang mandiri akan lebih mudah terkabulnya dan lancar pula ujian nasionalnya saat posisi kami memang satu minggu lagi akan menghadapi hal itu. Dalam sebuah peperangan, biasanya orang membawa senjatanya masing-masing, itu juga yang kami lakukan dengan membawa ranting milik masing-masing.
Awalnya sejak jauh kurasa mudah, tapi ketika lihat dari dekat, bunga itu bermekaran di tengah-tengah kolam sana. Bayangkan aku dan Jo seperti harimau galau yang mangsanya mengolok kami dengan keindahan menjengkelkan.
"Mau ngapain?" Aku bingung ketika lihat Jo melepas sendalnya.
"Nyebur," jawabnya.
"Heh! Gimana kalo ada buaya?"
"Lu pikir ngapain ini kolam ada di belakang rumah gue kalo ada buayanya?"
Benar juga. "Nitip, Jo!" kataku.
"Bunda gue perasaan bilang harus mandiri deh." Jo berkacak pinggang dari seberang sana.
"Ya, kalo lu bersedia ambilin atas nama gue. Setidaknya ada setengah keberuntungan menyertai gue."
Jo geleng-geleng kepala. "Emang bisa ... EH, DIR! ULAR!"
"WAAAAAAAAAAAA!"
"BUN! ULAR, BUUUNNNN!"
"JO TUNGGUUUUUU!"
Niat kami tak terlaksanakan saat itu, kehebohan di belakang rumah Jo pun berlanjut ketika para warga berinisiatif membuat ular sawa yang begitu besar sedang tertidur di dekat kolam. Padahal ular itu tidak menggangu kami, hanya saja kami yang perez dan membuat nasibnya berakhir untuk menongkrong di sana.
Mungkin sampai saat ini, ular itu akan selalu bertanya-tanya : memangnya aku salah apa ya, Kak?
Aku cukup tergemap ketika kembali ke tempat ini, ternyata Jo tidak menyimpan jejak trauma meski histerianya saat itu melebihi aku yang berjenis kelamin perempuan. Sekarang kolamnya tidak ditutupi rumput-rumput liar lagi, hanya ada teratai saja di sana, seakan setiap petugas yang dibayar oleh Tante Yohana memang bertujuan membuat tempat ini jauh lebih asri dan enak dipandang.
"Mau ngapain?" Aku dan Anan memperhatikan Jo yang tadi meninggalkan kami sebentar untuk ke rumah, tahu-tahu dia datang dengan tiga buah alat pancing dan juga ember. "Lu nyuruh datang ke rumah buat mancing?" tanyaku.
"Kalo dapat, kita juga yang makan hasilnya." Jo melempar alat pancingan padaku yang belum punya kesiapan sama sekali, jadi Anan-lah yang menyambutnya sebelum terpentok kena mukaku.
"Emang mau mancing apa? Ada ikan di sini?" tanya Anan.
"Macing duyung!"
"Ahahahaha." Aku hampir melesetkan sambutan pada alat pancing yang diberikan Anan. "Udah enggak takut ada ular ya lu?" tanyaku.
"Masa lalu biar aja masa lalu," jawab Jo.
Aku mengangguk-angguk dan membuat bentuk O dengan mulut, Anan pun tak komplain dengan mulai mencari sisi celah yang bisa menerima tali pancingannya. Mereka ada di beberapa jarik yang membuat bentuk kami seperti segitiga, dan akulah yang di tengah, yang juga belum mulai manfaat alat pancing dengan memilih duduk.
"Lu ngapain, anjiiirr?" Jo pun menegur.
"Ngikutin gaya gravitasi," jawabku sambil mulai menjatuhkan umpan ke dalam air. "Siapa yang dapat duluan ...."
"Kagak usah taruh-taruhan! Lu yang islam tapi kenapa lebih kristen dari gue?" tegur Jo yang lagi-lagi membuat kami tergelak.
"Yang dapat duluan jadi pacar gue," kata Anan.
"Gila lu! Gimana kalo gue yang dapat duluan," cemooh Jo.
"Ya berarti lu pacar Anan."
"KAGAK YA!" Keduanya menyahut serentak, tepat ketika aku merasa kejutan ringan mengetuk alat pancingku.
"Kayaknya gue nih yang dapat!" kataku sambil menaik-turunkan dahi ke arah Jo, lalu terlihat raut yang melegakan di sana. "Lah? Laahhh, nyangkut!" Padahal aku sudah berusaha sebaik mungkin, hanya saja ikan itu mengajak bermain di dalam sana.
"Makanya jangan du ...." Jo berhenti ketika dia menarik alat pancingnya, sebuah ikan betok pun melayang di udara sebagai bukti umpannya telah dimakan. "Duk." Kemudian dia melanjutkan bicara sambil menyapu penglihatan kepadaku dan pada Anan.
Harusnya Jo senang karena jadi yang pertama dapat ikan, mana ukurannya besar dan menyegarkan lagi. Tapi mengingat ucapan Anan sebelumnya, dia buru-buru berseru, "GUE KAGAK HOMO YA!" Hingga membuatku dan Anan tergelak begitu puas.
Tbc;