Apa yang bisa bikin ketawa
padahal nyatanya enggak lucu?
—Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Bukan berarti aku tak bilang kalau sepatu ini tidak cocok di kakiku. Anan juga tahu sejak dia memasangkannya, dan minta bertahan setidaknya untuk upacara saja.
Tapi hal terbodohnya adalah, KENAPA SEPATUKU YANG PUTIH DITINGGAL DI RUMAH ANAN? Alhasil aku kebingungan ketika jam olahraga, mana teorinya futsal lagi. Ketar-ketir aku di sebelah Jo sebelum menunggu giliran, sedangkan pelaku yang membuatku jadi begini hanya senyam-senyum tanpa dosa sebagai penjaga gawangnya.
"Lu gila," bisikku.
"Apa kata lu?" Jo sentimen karena mengira aku mengatainya.
"Maksud gue Anan." Perbaikan dariku selanjutnya, Jo pun mengangguk. "Kenapa lu pergi gitu aja pagi tadi?" Sebab masih merasa seperti anak kucing yang dibuang ibunya, aku menagih tanggung jawab orang tua kepada Jo.
Sang empunya terlihat menghembuskan napas saja, sambil melipat tangan tanpa perduli.
"Kenapa lu menghindar dari kemarin-kemarin? Gue udah pusing gara-gara Anan, dan ketika dia udah baikan, eh lu lagi yang mulai. Pada kenapa sih?" tanyaku lagi.
Jo menganggukkan kepala. "PMS kayak gue."
"Anjir lu!" Kugaplok lengannya.
"Ya ... enggak aja sih, lu ngeselin akhir-akhir ini. Kalo deketan, rasanya gue mau membenturkan muka lu ke bokongnya Pak Sapto."
"Eh, gila!"
"Anan 'kan yang gila."
"Elu! Sekarang elu!" Aku mencubit lengannya sampai Jo terjingkat.
"UWAAATASS NAMA ANDIRAAAA!" Sepertinya obrolanku dan Jo membuat sentimen Pak Sapto naik sungguhan. Seluruh mata tertuju pada kami, di mana Jo sadar kalau bola yang terposisi di tempatnya sesuai arahan sedang menunggu kedatanganku.
"Giliran lu!" Jo mendorongku tanpa aba-aba, dan meski dengan aba-aba pun, mungkin tetap saja aku mau tersungkur.
Kini peralihan fokusku ada pada si penjaga gawang, yaitu Anandra. Dia memasang posisi bersedia dengan tubuh dibungkukkan sedikit, sambil merentangkan tangan. Sementara aku sok-sok profesional menentukan target, tanpa mengingat sesuatu di kakiku ikut melayang dengan begitu kencang saking besarnya mengharapkan kegolan di gawang tersebut.
"Bwahahaha!" Semua orang seketika tertawa ketika sepatunya tersangkut di atas pohon mangga. Jangan salahkan lapangan olahraga kami yang kelewat elit dan cinta alam begini, soalnya praktik di laksanakan secara outdoor. Di lapangan yang berbahan semen dengan pohon-pohon besar berjajar mengelilingi lapangan hingga membentuk persegi.
Aku hanya mampu menggigit bibir bawah saat membuat masalah yang mungkin akan menyulitkan Anan, ditambah Pak Sapto bilang untuk mengurusnya sampai jam olahraga selesai dulu. Maka dari itu kakiku hanya mengenakan sebelah sepatu dengan alas kaus kaki yang tidak putih lagi.
Kini lapangan olahraga hanya diisi oleh tiga orang saja, di mana Jo merasa bertanggung jawab sebagai ketua kelas. Itu juga karena dipaksa Pak Sapto, padahal aslinya dia sudah mau kabur seperti maling. "Yok, naik!" Aku menamplok bahu Jo dengan pukulan yang keras.
"Yang nyangkut sepatu siapa juga?" tolaknya.
"Sepatu Anan," jawabku dengan raut pemalak yang menghadang anak SD.
"Gue cuma memastikan sepatunya bisa diambil balik, bukan jadi budak lu dan naik-naik," kata Jo lagi. "Lu naik sana, sepatu siapa juga!" Dia akhirnya menyenggol sikut Anan, mereka pun bertatapan.
"Berdua," ujar Anan.
"Tinggal naik doang apa susahnya sih?" Jo mulai melepas sepatunya.
"Selama ada saudaranya monyet, ngapain saudara kelinci yang bergerak?" Anan membuatku tertawa dengan pertanyaan itu, dan nyaris Jo mau melayangkan sepatunya kepada kami.
"Itu dahannya tinggi, enggak kayak pohon depan rumah lu, Jo," kataku setelah menelaah tinggi badan mereka berdua tak sebanding untuk digapai bahkan meski berjijit saat mengulurkan tangan.
"Lu bawah." Jo tiba-tiba menarik Anan, tidak ada yang bisa menebak maksud dia itu apaan. Tapi ketika menghadapkan Anan ke badan pohon —bahkan nyaris membuat badannya memeluk tumbuhan besar itu —sepertinya Jo berniat mematahkan tulang Anan. "Jongkok dikit!" Benar bukan, dia mau menaiki bahu Anan.
"Hih! Gila lu badan gue lebih kecil dari lu!" Aku juga setuju dengan ucapan Anan, makanya ketika berdalih dari hadapan Jo, ingin rasanya kuelus punggung belakang Anan dan berkata, kasihan anak Mama mau ditunggangi babon.
"Kita sama, noh!" Tapi kemudian Jo menyadarkan kami bahwa tidak ada perbandingan yang spesifik dari tubuh mereka. Bahkan aku juga baru sadar, kalau Jo dan Anan sama besarnya, sama berototnya, bahkan sama bugarnya. Inilah mengapa perselisihan yang sempat terjadi di antara kami meminimkan pengetahuan mengenai itu.
"Tulang gue enggak sekuat lu," ujar Anan yang masih menolak.
"Osteoporosis lu?" Jo akhirnya yang memposisikan diri ke hadapan badan pohon, lalu sedikit berjongkok. "Buruan!" titahnya.
Aku menganggukkan kepala sambil menyebar senyum ke penglihatan Anan, dia pun mengacungkan jempol dan menyingsing celana. "Tahan ye," katanya.
"Iy ... weh! LEPAS SEPATU LU!" Untung Jo menyadari sikap Anan yang mau kurang ajar menjejak bahunya dengan alas kaki, bahkan dia mengangkat gumpalan tangan kepadaku, seakan kami berada di satu kubu yang sama.
Sesaat dua tawa dan satu kejengkelan menyatu di antara kami, sampai Anan siap menginjak bahu Jo setelah melepas sepatu. Kalau diperhatikan, saat pijakan pertama saja Jo sudah merintih dengan kulit dahi yang melipat-lipat. Apalagi ketika harus mengangkat seonggok Anandra yang menjejakkan kedua kaki di atas bahunya, dia mirip bocah cungkring yang dipaksa ikut lomba panja pinang.
"Badan lu anjirrr kayak babi!" Jo mengatakannya untuk kebangkitan tenaga yang harus dia salurkan ketika gemetaran berdiri.
"Kayak pernah ngangkat babi aja lu." Sedangkan Anan misuh-misuh tanpa takut dibuat terjatuh kalau Jo ingin membuatnya begitu, tapi sepertinya mereka sedang menjalin kerja sama yang bagus.
"Kagak nyampe!" ujar Anan yang sudah mengulurkan tangan ke atas.
"Naik ke pohonnya, Anandra! Bukan nginjakin gue kayak kuli yang ngecat dinding, naik! Naikkkk, ke pohon!" Jo pasti mau muntah menahan beratnya, ditambah beban yang dia angkat benar-benar seperti kucing pemburu cicak yang maunya digendong ketika target ada di atas pelapon.
"Duh, ngerepotin aja."
"Repat repot repat repot! Sepatu siapa juga!"
"Iye, sepatu gue. Punya gue!"
"Ya cepat aja! Lu jangan sengaja nginjakin gue!"
"Ya sabar!"
Aku hanya geleng-geleng kepala melihat mereka, lagian sudah mirip seperti Upin Ipin versi beda ibu. Apa mereka tidak sadar kalau keduanya mirip begitu?
"Noh! Ambil tu sepatu!"
"Hadoh! Ngapa lu lempar ke gue!"
Jo bahkan belum sempat menengadah ketika sepatu yang berhasil Anan ambil sudah mendarat di dekat kakinya, bahkan ketika harus terlibat dalam kerja sama begini, mereka masih saja bertingkah kekanak-kanakan yang saling mendendam. Hampir Jo lempar lagi sepatu itu kepada Anan, hanya karena kutahan saja dia tidak melakukannya.
"Udah turun aja," kataku yang keburu lapar, entah sudah berapa menit waktu istirahat jadi mubazir.
"Kenapa lu enggak turun?" Jo tanya saat lihat Anan mematung di atas pohon sana, seakan sengaja. "Udahlah, Dir. Tinggal aja." Tapi bagiku, Anan terlihat serius di sana.
"Jangan bilang lu enggak bisa turun," tebakku.
Anan pun mengangguk.
"Ya Tuhan, Yesus Kristus! Tabah tabah jadi gue, tabah!" Jo jadi semakin frustasi sekarang, sedangkan aku sudah kehabisan daya untuk berekspresi. Kalian tahu Huang Renjun yang lelah dengan tingkah gila Lee Haechan? Nah, seperti itulah ekspresiku untuk Anan.
"Lompat, Anan," kataku.
"Takut, Dir."
"Woilah, tinggal terjun! Dublak, gitu! Yakin lu langsung ada di bawah sini, kagak bakal pergi ke alam kubur juga!" Jo masih marah-marah.
"Pelan-pelan aja," ujarku yang berbanding terbalik dengan kemarahan seseorang di sebelah. Kalau Jo setan, aku malaikatnya nih. "Andai lu sekecil Shincan, sudah gue sambut lu, Anan," lanjutnya.
"Iye, masalahnya dia seberat babi. Yang ada lu bakal geprek karena dia," sambung Jo.
"Ya udah." Kudorong tubuh Jo sampai terposisi sesuai target. "Loncat aja ke arah Jo, Anan. Dia tahan banting, pernah diseruduk oleh sapinya Pak RT. Santai." Dan ucapanku itu membuat Jo membogem bahuku.
SAKIT WOEY!
"HADOHHH!" Ini yang mengaduh bukan aku.
Iya, memang sakit dibogem oleh kepalan tangan Jo. Tapi bukan aku yang berteriak begitu, melainkan Jo sendirilah yang melakukannya. Di situ aku sadari kalau posisi mereka sudah seperti drama-drama korea tontonanku. Anandra, menjadi sang gadis yang tersandung hingga jatuh. Dan Jondara, merupakan sosok tindihan yang menerima jatuhan tubuh itu.
Seintens itu.
"Beraaatttt, Anandra! Beraaattttt!" Jo mendorong tubuh Anan hingga keduanya sama-sama terbaring terlentang di atas tanah. Mungkin supaya adil, seragam olahraga mereka akan sama-sama kotor belakangnya.
"Gue pikir bakal mati," kata Anan yang masih tak percaya bisa melewati kesulitan dalam hidupnya tadi.
"Gue yang mau mati, gue," sahut Jo.
"Jangan bahas mati-mati ih." Aku ikut berbaring di sebelah Jo, seketika Anan bangkit sedikit dan menelisik ke sebelah. Entahlah apa isi pikirannya, aku hanya fokus menatap dedaunan pohon yang menaungi keberadaan kami.
"Gue mau di tengah!" Dan inilah yang dilakukan Anan.
Berguling melewati atas tubuh Jo dan menggantikan posisinya di sebelahnya. Tidak untuk terlentang dan menikmati sesuatu di atas kami, melainkan dia memiringkan diri dengan tangan terlipat membentuk segitiga siku-siku untuk menumpu kepala. Aku pun menoleh pada oknum tersebut, dia yang jauh lebih indah ketimbang keademan pepohonan di atas kami. Dilanjutkan kebangkitan Jo yang duduk dan menggelengkan kepala.
"Aduh!" Sampai akhirnya Anan ikut bangkit setelah telapak tangan Jo mendarat di kepalanya dengan hantaman keras.
"Hitung-hitung kalo mau nindihin orang, ketahuan amat lu punya dendam sama gue!" Jo berdiri dan membersih beberapa rerumputan dan serba-serbi daun kering yang menempelinya, mana ada merasa bersalah dengan Anan yang mengelus kepalanya karena pukulan keras itu. "Ngapain lu ketawa?" Sekarang Jo menegurku yang benar-benar kewalahan menghadapi suasana ini.
Mereka lucu, sangat lucu.
Tbc;