Pada punya tokoh superhero
favorit? —Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Tempat ini sebenarnya berdebu, tapi hidungku tak merasa sesak ketika aroma parfum Anan jauh lebih kuat menetralkan sistem pernapasanku. Jadi aku baik-baik saja.
Di sini juga sempit, aku hanya bisa berselonjor tanpa rebahan. Hanya bisa bersandar di dinding tanpa leluasa bolak-balik. Tapi karena raga Anan di sebelah, semua terasa lapang dan luas. Jadi aku baik-baik saja.
Kami mungkin tak bicara lagi —ketika aku mengungkapkan isi hati, tapi kalau dipikir-pikir, aku juga tak menyesal sudah bilang begitu padanya. Meski Anan akan menjauhiku, atau tak ingin lagi melihat wajahku, tak apa. Setidaknya aku bisa mengungkapkan ini sebelum salah satu di antara kami meninggal dunia. Jadi aku baik-baik saja.
Kecanggungan kami mampu membuat Anan mau menghubungi Jondara, tapi ketika sebuah panggilan hampir tersambung. Tanda-tanda kehidupan dari ponselnya lindang, dan cahaya pun hilang dari tempat ini.
Anan kehabisan baterai.
"Ppfftt." Dalam keheningan yang berkuasa, aku tak kuasa menahan gejolak ini. Rasanya kurang ajar, kalau ada Jo, sudah ditempelengnya kepalaku. "Gue tau banget, cinta pertama itu emang enggak pernah berhasil. Kayak, lu pernah gak ngebayangin kita bisa bersama? Kayak di film, kayak di novel, kayak ... harapan gue sebelumnya. Gila sih," ujarku.
"Pernah," jawab Anan.
"Hah?"
"Membayangkannya," sahut Anan, "Kita sama-sama, satu rumah. Lu jadi istri, dan gue jadi suami. Setelah itu, kita jadi ayah dan ibu dari anak-anak kita. Lu masak, gue makan. Lu bersih-bersih rumah, gue ngopi depan pelataran. Lu ngurus segala hal di rumah, dan gue kerja. Semuanya, Dir. Sampai salah satu di antara kita nutup mata, gue udah pernah bayangin."
Mulutku terbuka mendengar ceritanya, itu sesuatu yang asyik, bahkan aku bisa membayangkannya. "Maaf udah bikin lu nunggu terlalu lama, tapi lu ngerusak harga diri gue," katanya kemudian.
"Lah ngerusak apaan?"
"Ngapain lu ngungkapin perasaan duluan?! Gue jadi enggak terlihat gentleman lagi, Dir."
"Eh, maksud gue ...."
"Ngungkapinnya dalam loteng lagi, ada banyak tempat bagus dan juga indah buat saling bilang suka."
Astaga dia membuatku tergelak. "Gue pikir lu marah karena enggak suka sama gue, Anan," ujarku.
"Kembalikan harga diri gue!" Anan kambuh ngedumelnya, seperti biasa ketika dia merajuk dan cemburu gara-gara Jondara. "Tapi gue senang meski di tempat yang kurang rekom buat orang yang berniat diterima cintanya." Sekarang dia mengacaukan kerapian rambutku.
"Anan, jangan kacau!" Kugeplaklah tanganya sampai berbunyi suara plak yang begitu kencang, sang empunya meringis. "Mungkin buat beberapa orang, memang ada tempat-tempat indah yang romantis dan menarik. Tapi menurut gue ya, Anan, enggak sepenuhnya. Karena selama itu sama lu, Mau kita di mana pun, semua tempat bakal jadi terasa indah," katanya.
"Andiraaaaaa! Harga diri gue, Dir! Dua kosong udah lu ambil bagian di kisah percintaan ini. Udah udah."
"Eh, gue serius juga." Aku menyenggol bahunya, dan Anan sekali balik membalas. "Kita harus keluar dari sini, gimana pun caranya." Aku berniat merusak jalan keluar kami, di mana saat benda itu benar-benar rusak, akan ada dua objek yang tersangkut dalam permasalahannya. Pertama, lantai loteng. Kedua, pelapon rumah.
Maka dari itu Anan pasti mengkhawatirkan dua hal tersebut, sehingga ketika kakiku menggedor-gedor jalan untuk kami keluar, dia menghentikannya. "Aksesoris rumah lebih penting ketimbang keselamatan anaknya." Dia bilang begitu.
"Apa tuh?" tanyaku.
"Jangan rusak rumah gue, Dir. Lu mau kita ditendang oleh bunda gue?"
"Ya mending ditendang daripada jasad kita ditemukan membusuk di sini."
"Iisss omongan lu!"
"Ya terus mesti gimana? Lu mau kita di sini selamanya."
"Boleh tuh."
"Edan!" Kupukul bahunya keras-keras, dan Anan meringis.
"Andiraaa! Pulang, Nak! Kasih makan ayam." Oke, hancur sudah harga diriku sebagai anak berusia tujuh belas tahun. Mana mungkin para tetangga tidak mendengar panggilan tersebut, entah harus berapa lapis topeng yang kugunakan saat keluar dari sini.
"Lu denger, itu kalau Kanjeng Nyonya sudah teriak, maknanya gue harus segera pulang," kataku pada Anan, "Gue tau lu sengaja nahan gue di sini, tapi kita masih punya banyak waktu buat berduaan."
"Bahasa lu anjirr udah kayak ngajak zina."
"Omongan lu anjiirr, kayak ngajak logout ke agamanya Jo," balasku, "Sekarang cepat kasih tau gimana kita bisa keluar, modus banget sih lu sama gue?" Biar saja kutuduh Anan habis-habisan begini.
"Lewat jendela, mau gimana la ...."
"Kenapa enggak ngomong dari tadi, Anandaraaaa!" Aku mencubit lengannya hingga dia balik menjitak dahiku.
"Harusnya lu juga inget kalo gue gunain jendela buat nyahutin lu pas masih di luar tadi!"
"Ya udahlah, ayok." Aku bergerak ke sisi dinding di belakangku. Sumpah deh, jendelanya tepat di bagian kepalaku yang bersandar sejak tadi. Kenapa aku tidak menyadarinya juga?
Meski kuncinya ceket-ceket juga untuk bisa dibuka, Anan seakan sengaja membiarkanku berusaha sendiri. "Kurang ajar ya lu," tegurku ketika berhasil. "Bentar, ini kayaknya cuman muat badan gue deh."
"Ya elu keluar dulu, nanti dorong pintu loteng buat gue. Gampang, 'kan?" katanya.
Aku manggut-manggut. "Enggak dulu deh," sahutku untuk memulai keluarkan satu kaki lewat jendela.
"Apanya yang enggak dulu?" Sambil memperhatikan tiap gerakanku, Anan tanya.
"Lu tadi mau di sini aja selamanya, 'kan?" tawaku ketika seluruh tubuh sudah berada di area luar, alias di atas genteng. "Ini gue sistemnya gimana ya, mon maap aja dah." Aku merasa seperti berada di pinggir jurang, kalau pegangan tanganku di kusen jendela terlepas, tamat sudah kehidupanku untuk tergeletak ke bawah sana.
"Terjun bebaslah, apalagi emang?" sahut Anan dengan santainya.
Aku sudah seperti kucing yang naik ke atas genteng, bedanya kami tidak selaras. "Lu nyuruh gue loncat ke bawah sana?" tanyaku pada Anan yang berada di figuran jendela.
"Lu takut?" Anan tanya.
Aku mendekat, lalu berbisik. "Bukannya takut, cuman ... lu lihat deh di bawah sana."
"Anjirrr Renata." Anan menutup jendela dan menguncinya dari dalam, sontak aku bingung. Mau teriak, takut ketahuan Renata kalau aku mirip maling di atas sini. Lalu terdengar suara keributan di dalam sana yang kemudian disusul menghilangnya tanda-tanda keberadaan Anan.
JANGAN BILANG SEBENARNYA DIA BISA KELUAR TANPA LEWAT JENDELA KAYAK AKU!
Entah apa yang ada dipikiran Anan, bayangkan aku ditinggal seperti anak kecil yang lupa caranya turun dari pohon gara-gara keasyikan manjat sampai ke puncak. Hal yang bisa kulakukan adalah mengintip dan menguping pembicaraan dua sejoli yang hampir jadian itu.
"Kenapa, Renata? Maaf lama bukain pintu." Benar dong! Itu si Anan sudah keluar dari loteng.
"Enggak apa-apa, Andra. Aku mau pamit sama kamu secara langsung, tadi juga menghubungi tapi kamu enggak aktif." Terdengar suara Renata menyahuti dengan begitu lembut, jangan bandingkan denganku, sudah pasti seperti suara kucing dan juga suara monyet.
"Oh, ini ponselnya mati. Mau di cas lupa."
"Um, gitu. Bunda mana? Aku mau pamit juga sama beliau."
"Lagi dinas, ke luar kota. Mau ditelponin aja?"
"Eh enggak usah deh, cuman mau tau keadaan beliau. Baik aja, 'kan? Hehe."
Aku bersila di atas genting sini sambil mendengarkan, semoga tidak lama-lama sekali.
"ANDIRAAAA, AYAMNYA MAU MAKAN, NAK!" Haduh, mampuslah aku. Itu apa Mama tidak bisa tahan sebentar lagi apa? Mana kalau sampai beliau mencari ke halaman rumah, lalu menelisik ke tetangga, pastilah terpampang seonggok tubuhku yang tak berdaya di atas genteng sini.
"Andira dicari kayaknya, main ke sini dia?" Ditambah Renata mau menelusuri masalah ini lagi, aku menggigit bibir bawa.
"Iya, dia main sini."
WOEYLAH ITU KENAPA ANAN MALAH JUJUR?!
Iya, tahu kalau berbohong dosa. Tapi kejujurannya akan mematahkan harga diriku di hadapan Renata, meski sebenarnya tidak ada yang sebanding di antara kami —TAPI TETAP SAJA! Aku mau ini dirahasiakan, maksudnya berilah waktu agar aku turun dulu. Sepertinya lewat genting belakang juga bisa.
Maka beranjaklah aku dan bergerak pelan-pelan, merangkak seperti kukang yang pemalas. "Dia di mana?" Ketika Renata tanya begitu, aku merasa mau guling-guling saja langsung sampai jatuh ke bawah.
"Di dapur, masak." Kurasa jawaban Anan cukup membantu —untuk membuat Renata cemburu, dan kurang membantu untuk memperlambat waktu agar omongannya tidak jatuh sebagai kebohongan.
"Mana? Mau sekalian pamit aja juga sama dia." Benar, 'kan? Renata pasti mau masuk.
"K-kamu ... tunggu dulu deh, h Sebentar." Oke. Anan mungkin sedang memikirkan cara mengusir Renata. Aku hanya perlu berjuang sedikit lagi agar bisa ke sisi lain dan terjun ke tanah.
"WOEY ANDIRA! NGAPAIN LU COSPLAY JADI SPIDERMAN?! KASIH MAKAN AYAM KATA MAK LUUUU!"
Jondara Syaland, dia malah meneriakku dari pelataran rumahnya.
tbc;