Cung yang pernah kena
PHP. —Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Aku tidak bisa menyebut ini baik-baik saja. Sebab pikiranku yang memang sukanya menambah beban, dan hatiku juga kukuh mengikuti alurnya seakan jika : harapan yang mau menjadi baik, seharusnya aku hidup tanpa otak.
Semalam suntuk aku memikirkan ketidakadilan yang membuat wajah-wajah Renata berputar keluar lintas pikiran sehatku. Hubungannya dengan Anan, bagaimana perasaannya yang pasti sudah jatuh sedalam-dalamnya, sampai juga pada besarnya harapan yang tiap hari bertambah buat terus sama Anan. Pasti! Pasti itulah yang terjadi selama ini.
Kamu bayangkan saja, Anan orangnya ganteng. Ganteng banget! Bohong kalau ada gadis yang menganggap perhatiannya hanyalah sebatas teman biasa. Hal itu tidak mungkin, dan aku yakin Renata tidak sepintar itu untuk membodohi perasaannya sendiri.
Bohong kalau ada seseorang yang menolak baper saat didekati oleh Anan. BOHONG! Kalau kamu sampai tidak baper sama Anan, mungkin itu karena kamu sudah ada yang punya. Tapi kalau memang sedang dalam keadaan jomblo, sumpah, Anan itu visualnya boyfriend-able banget!
Kenapa aku mengatakan ini.
Karena itu faktanya.
Sejak kulihat dia kembali hari itu, berdiri di depanku dengan tatapan matanya yang indah, hingga aku sempat menduga dia Imam pilihan Mama. Dialah yang kupikir seperti malaikat, senyumnya manis, suaranya candu -terutama ketika memanggil namaku di tengah fantasi yang mau menyalahpahamkan isi hatiku saat itu.
Anan benar-benar membuatku pusing. Semakin hari, dia justru semakin ganteng. Kalian pikir jantungku baik-baik saja ketika bersamanya hingga hari ini? Tidak ya. Itu sama seperti ketika kulihat bangku tempat duduknya tidak lagi kosong, beberapa saat membuatku terpana di depan pintu kelas kami hanya untuk melihat berapa indahnya Mahakarya Tuhan di atas nama Andandra di dunia ini.
"Iya, iya maaf." Sama setelah dia juga menatapku dari sana, Anan tersenyum dan menyatukan kedua telapak tangannya. Cahaya matahari seakan memberkatinya sebagai keturunan bangsawan berdarah biru, aku bisa melihat aura positif mengelilinginya pagi ini.
"Kenapa berangkat duluan anjir! Gimana kalo lu kenapa-kenapa di jalan?!" Krasak-krusuk aku mendatanginya dan berkacak pinggang. Selain mati-matian mengkhawatirkan Renata di sepanjang perjalananku ke sini, tentu sisanya adalah karena Anan berangkat pagi-pagi sekali.
Jika aku tidak berkunjung ke kandang ayam di belakang rumah, mana mungkin suara motor Anan kesampaian di telingaku? Sungguh, gara-gara dia aku harus terbirit-birit, meninggalkan sebelah sendal Nippon Mama yang tipisnya sudah sama seperti rasa hormatku di rumah. Mungkin karena kakiku memanfatkan tenaga dalamnya, sendal itu putus setelah berhasil melayang di udara dan mendarat sembarangan jauh sebelum pintu masuk pelataran belakang rumah kami.
Pagi ini aku benar-benar membuat Mama menyumpahiku hingga suaranya mengagetkan Kak Novan yang sedang tertidur menghadapi acara Ruqyah Trans7 di televisi. Mungkin akan di-double kill jika beliau tahu sendalnya putus. Tidak, kupikir cukup menabrak meja makan saja, Mama sudah terlihat seperti Penyihir Maleficent.
"Lu beneran enggak kenapa-kenapa?" Aku memegang bahunya dan memutar posisi Anan sesuai dengan keperluanku, dari depan menyerong ke kiri dan kanan, lalu juga sedikit ke belakang, seakan kurasa Anan hanyalah mainan Barbie besar yang tidak boleh kotor secuil pun. "Kenapa berangkat pagi-pagi banget? Jadwal piket lu bukan hari ini," kataku lagi dan kembali berkacak pinggang di depannya.
Aku memang tidak tahu ekspresi Anan sejak beberapa detik terakhir, tapi ketika melihatnya hanya senyum-senyum begini, apakah itu memang terjadi sejak tadi?
"Apa sih malah senyam-senyum!" Aku melayangkan kepalan tanganku di udara, Anan sedikit memundurkan tubuhnya ke belakang lalu tergelak.
"Biar bisa lihat lu khawatir gini," ujarnya.
Kami sama-sama terdiam sejenak, entah apa yang Anan pikirkan dengan ekspresi wajah yang berubah lebih datar dari sebelumnya. Sementara aku memang agak bingung kenapa harus mendengar ucapan itu.
"Terkesan ngemis, tapi gak apa-apa. Gue seneng ngelakuinnya." Anan kembali duduk ke tempatnya dan memainkan ponsel. "Bisa gak lu selalu khawatirin gue, Dir?" tanyanya kemudian.
Aku masih betah memandanginya. "Dalam konteks apa sih, Anan? Perasaan gue emang gini," kataku.
"Enggak, lu cuma gini sama Jondara."
Astaga, Jo lagi, Jo lagi. Mau sampai kapan dia harus terus membawa-bawa Jo ke dalam pembahasan yang 'tak suka kudengar?
"Gue lagi ya." Tiba-tiba terdengar suara lain di antara kami berdua, ternyata itu Jo. Aku tidak tahu apakah ada alasan lain selain dari tugasnya sebagai seorang ketua kelas, tapi setahuku, meski dia mengemban tanggung jawab tersebut, dia tidak pernah datang di jam enam pagi begini.
Bayangkan, Anan itu berangkat sebelum jam enam pagi lho. Dan aku melakukan hal yang sama. Sementara memikirkan Jo, ada kemungkinan dia juga begitu, 'kan? Tapi kenapa?
"Tumben." Kutegur dia begitu ketika bangku di sebelah Anan didudukinya. "Kenapa pagi amat lu?" tanyanya.
Jo tidak menggubrisku semudah biasanya, bahkan dia cuma meletakkan tas lalu pergi tanpa menganggap kehadiran kami yang sudah seperti pasangan yang digrebek oleh warga se-RT. Kalau ditelaah, Jo pernah begini ketika aku tidak menuruti perintahnya.
Seperti contoh rok hitam selutut yang kukenakan untuk jalan-jalan ke taman kota, padahal dia bilang pakai celana saja. Tapi kebetulan aku memang sangat malas mengganti aksesorisku hari itu, sehingga ketika kami paksakan, dia hanya mendiamiku dan membatalkan acara kami untuk bersenang-senang.
Atau untuk kasus pertentangan-pertentangan lain yang kulakukan secara tak sengaja, sementara kalau terjadi dalam skala disengaja, dia tidak mungkin marah dan akan memaklumi keisenganku yang jenisnya begitu. Nah, mengingat bagaimana Jo akan jadi mengerikan ketika aku melakukan tindakan yang tidak disengaja, sekaligus bagaimana aku juga mungkin tidak menyadarinya, hal tersebut yang membuat kepalaku berputar untuk mencari tahu penyebabnya.
"Itu dia ngambek?" Anan tiba-tiba tanya.
"Ya menurut lu aja dah," sahutku.
"Ya gue nanya lu," katanya lagi, "Kan lu jauh lebih kenal dia, nah itu kenapa kalo dia gitu?"
Aku sejenak berpikir. Kemarin terakhir kami bersama di rumah Anan, lalu aku marah pada Anan karena mempermainkan Renata. Sementara Jo cuma tim pendengar saja. Oh, apakah karena aku marah cuma sebentar pada Anan? Lalu dia merasa tak wajar seakan kami cepat baikan setelah seharusnya aku bisa memusuhi Anan paling sedikit tiga hari.
Begitukah?
***
Jam istirahatku kali ini tanpa kehadiran Jo, kupikir dia sedang diet karena tidak mau diajak ke kantin. Larat, tidak menjawab ketika kuajak. Sehingga yang menikmati makan sekarang cuma ada aku dan juga Anan. "Syukur deh, katanya Renata mau pindah." Dia mengatakan itu sambil menyuap ayam geprek dengan begitu semangat.
"Gila ya lu udah mempermainkan cewek," kataku yang masih agak kesal dengan fakta yang diungkapkan Anan semalam. "Gimana kalo Renata ...."
"Emang lu pikir gue ini ngapain si Renata sih? PHP'in dia enggak, ungkapin perasaan ke dia juga enggak, suka-sukaan sama dia juga enggak. Selama ini kami cuma temenan, dia sendiri yang deketin gue," jelas Anan.
"Dih, setelah sampai di titik lu yang mau nembak dia, Anan."
"Percaya lu?"
"Percaya lah."
"Kenapa?"
"Karena Renata suka sama lu."
"Terus gue?"
Aku tercengang ketika dia mendekatkan diri padaku secara dadakan, bahunya juga sampai benar-benar menempel di bahuku. "Apanya sih?" Kudorong dia kemudian.
"Lu tau gue suka siapa?" tanyanya seraya melanjutkan proses menyerbu ayam geprek di piringnya.
"Ntah lah," sahutku, "Emang lu udah punya pacar?"
"Baru ya lu nanyain gue sekarang, emang bener seharusnya Jo enggak ada di antara kita. Bayangkan udah berapa lama gue di sini, dan lu baru aja mulai melakukan pendekatan sama gue."
"Lah, pendekatan lu bilang?"
"Pengertian, kepemahaman dan juga antek-anteknya."
"Hah?"
Anan menghabiskan sesuatu yang sudah dia masukkan ke dalam mulutnya. Lalu terlihat dia menghela napas dan menengadah. "Sumpah ya, bisa-bisanya Jo tahan sama lo sampe bertahun-tahun. Ini lo emang kayak gini, Dir?" tanyanya.
"Enggak tuh," jawabku.
"Gak mungkin."
"Beneran."
"Ya gak mungkin lah."
"Apa sih, gue gini sama lu doang. Sumpah dah."
"Ulang-ulang, Dir." Anan menyempitkan diri sehingga keisengannya rada membuatku kesal, itu seperti bagaimana aku ingin menendang pantat sapi kencang-kencang.
"Apa sih lu dari tadi nempelin gue mulu!" Kudorong tubuhnya secara sungguh-sungguh, tapi bukannya menjadi canggung, kami jadi semakin akrab dengan suasana ini, bahkan aku bisa melihat Anan menikmatinya karena tertawa dan terus-terusan mengusiliku.
"Serius, lu gini sama gue aja?" tanyanya.
"Kayaknya sih, soalnya Jo anteng-anteng aja sama ketololan gue."
Anan langsung terdiam dengan raut datarnya. "Berarti sama," katanya.
"Bedalah!"
"Maksud gue kita yang sama."
"Apa sih?"
"Ya, gue gak sabaran sama lo doang ya, Dir. Sementara lo juga ngeselin ketika sama gue, 'kan? Berarti sama." Anan menatapku sambil tersenyum simpul. "Kita kayak gini enggak sama sembarangan orang."
BODO AMAT! TERSERAH ANAN AJA SUDAH!
Tbc;