Angkat tangan yang kalo
lagi sakit udah kayak bumil,
soalnya tiba-tiba ngidam
sesuatu. —Andira
⋇⋆✦⋆⋇
"JO!" Teriakanku mengisi ruangan sepi yang seketika membuat diriku sendiri merasa asing. Di sini ada kasurku, ada perlengkapan kamarku juga. Bedanya adalah, ke mana perginya dapur Anan dan juga oknum yang bernama Jondara itu?
"Allahu Akbar, Allahu Akbar!"
"Hah?" Aku segera melihat ke dinding yang menjadi wadah pengingat waktuku tertempel di sana. Baru pukul 15.10, Ashar. Artinya aku tidak ada keluar sama sekali setelah mengutak-atik isi tasnya Jo tadi.
Saat kulihat terakhir kali tas itu berada, posisinya masih ada di situ. Jadi, aku memang belum ada keluar, tidak ada hujan, juga tidak ada dapur Anan yang menjebakku bersama Jondara.
TADI CUMA MIMPI.
"Gila sih." Aku menertawakan kepanikan ini puas-puas, tanganku masih dingin, jantungku juga tidak aman. Dan yang paling parah dari lainnya, pikiranku terus beroperasi di kitaran peristiwa bersama Jo. Sungguh mimpi yang gila, bahkan terasa nyata.
Gara-gara itu, aku tidak menjemput Jo seperti kemarin-kemarin. Rumah Anan kudatangi sendiri tanpa adanya interaksi antara aku dan juga Jo, mungkin dia menungguku, tapi aku merasa canggung untuk menemuinya. Oh, omong-omong Anan sedang sakit. Benar-benar demam karena kena hujan, agak lemah ya, hahe.
Ketika masuk ke dalam, hampir masuk juga ke kamar Anan, ternyata dia lagi beribadah. Maka kututup kembali pintu itu dan menunggu sejenak di luar. Kalau kuperhatikan aura rumah ini, rasanya benar-benar tidak hidup sama sekali. Tidak seperti rumahku yang walau tanpa Ayah, kami masih bisa membuat suasananya seperti di dalam hutan yang dipenuhi monyet.
Rumah Jo juga sama, meski cuma diisi oleh Bunda Yohana dan juga dia saja, aku masih bisa merasakan kehangatan di rumah itu. Tapi rumah Anan beda, padahal tiap gorden jendela terbuka, lampu tengah juga hidup, bahkan banyak sekali ikan-ikan di aquarium yang jenisnya macam-macam. Rumahnya tidak gelap, tapi saat masuk ke dalam, semua jadi terasa hambar dan sepi.
"Dir ...."
"Astaghfirullah!" Aku terjingkat ketika tiba-tiba Anan bicara begitu saja.
"Masuk, gue udah selesai," katanya.
Kamar ini sudah kudatangi sebanyak tiga kali dengan yang sekarang. Aromanya tetap sama, yaitu perpaduan antara bubur buatan Bunda Jo, dan juga obat-obatan yang harus dikonsumsi oleh Anan. Ada satu juga yang agak unik, dia suka menghamburkan minyak telon di kamar ini. Jadi kalau kamu masuk ke kamarnya, hanya pemiliknya saja yang sudah beranjak dewasa, sedangkan jiwanya masih jiwa-jiwa bayi.
"Haduh, Anan." Aku mengomentari bagian titipan dari Bunda Yohana.
"Hm." Anan cuma duduk di pinggir kasur dan memainkan ponselnya.
"Buburnya biar dipanasin pasti tetap enggak enak," keluhku, padahal di sisi lain aku juga jengkel sekali karena harus menahan diri untuk tidak mengganggu gugat makanan spesial dari
emak Jo itu. "Obat enggak diminum, bubur enggak dimakan, air putih masih penuh. Ini lu niatan sembuh atau enggak?" tanyaku.
Terlihat Anan menghela napas, lalu mencoba duduk dan bersandar pada bantal yang sempat kubantu untuk memposisikannya. "Gue bosan tiap hari makan bubur, elu mana ngerti rasanya suasana perut gue yang isinya itu-itu aja," ujar Anan.
Tidak ya. Aku saja bersaksi mau temanya bubur Bunda Yohana tiap waktu, pasti akan kuhabiskan tanpa rela dibagi. Ini sih Anan saja yang kurang bersyukur karena bisa merasakan masakan itu hari-hari, padahal aku dan Jo saja pernah merengek minta dibuatkan menu makanan paling spesial tersebut di saat tubuh baik-baik saja. "Gimana mau sembuh kalo makan aja enggak mau?" kataku.
"Udah sehat," sahutnya, "Buatkan gue mie aja, Dir."
Dua sudut keningku hampir menyatu, ucapannya sedikit tidak kumengerti. "Mie apa?" tanyaku.
"Yang pertama kali lu kasih ke gue, mie yang biasa juga lu buatkan buat Jondara," jawabanya.
CARI MATI!
"Lu sehat aja belum sepenuhnya, dan ini udah minta yang aneh-aneh." Tentu aku menolak. "Kemarin lu bilang enggak suka mie ya, gue ingat banget masih. Lagian isi dapur rumah lu kayaknya enggak selengkap keperluan gue buat bikin mie itu," lanjutku.
Tidak ada respon setelahnya. Ya Tuhan! Lagi-lagi aku mengatakan sesuatu yang menyakiti Anan, kenapa sih bibirku ini selalu bertolak belakang kalau sama dia? "Iya, ini gue ke dapur." Dan itu keputusan cepatku sebelum Anan menyimpulkan sebuah kesalahpahaman.
Mungkin sarimi isi dua tidak ada, tapi masih tersedia mie sedap soto yang porsinya pas untuk kondisi tubuh Anan sekarang. Mungkin sayur sawi juga bukan favorit Mamanya Anan, tapi masih ada sayur bayam di mana kualitasnya tidak jauh berbeda dengan sayur yang kuperlukan.
Bawang goreng, aman. Saos tomat dan kecap, aman. Jeruk nipis, tidak apa-apa kalau 'tak ada sebab masih ada cuka, tapi itu tergantung Anan apa mau pakai atau tidak. Terakhir, ini yang membuatku sedikit bersemangat berkarya di dapur, ada sosis, empek-empek dan pentol ternyata. Sebab aku mau juga, maka kubuat isian mie yang lebih banyak.
Perpindahan angka dari setengah empat menuju jam empat tepat adalah akhir di mana pekerjaanku selesai, ada dua mangkuk dalam nampan yang kubawa, satu untuk Anan yang mau pakai mie, dan satunya lagi cuma isi-isian cemilan basah pakai kuah. Mau dibilang sebagai seblak, tidak juga sih, sebab kuahnya hanya terbuat dari bumbu bakso pada stoples jingga yang kutemukan di atas meja. Namun aku yakin, siapa saja tertarik memakan ini termasuk diriku sendiri juga.
Sebelum kakiku menaiki anak tangga pertama, sebuah pintu masuk utama yang terbuka menghentikan langkahku. Ada Jo di situ, dengan payung bunga mawar milik sang mama yang lepas salah satu kaitannya. Sudah kubilang, barang kewanita-wanitaan kalau ada di tangan Jo pasti akan lecet. Salah satunya sendal merah muda punyaku yang putus, padahal tahu saja ukuran kaki kami berbeda, tapi dengan 'tak tahu diri ia asal pakai sampai akhirnya rusak.
Atau tentang bagaimana rusaknya jaket bertudung kelinciku di bagian ketiak karena dipaksa untuk mencoba-coba, dan bila mengingat yang satu itu, tidak bohong kalau aku jadi kesal sekali. Namun, terbesit banyaknya kesalahan kecil gara-gara ulah ketidaksengajaan Jo, aku tiba-tiba teringat masa di mana mimpi yang baru kualami siang tadi.
"Kenapa enggak ngabarin gue ke sininya?" Dan untuk pertanyaan itu, jujur aku 'tak mampu menjawab saat ia mulai bicara dengan bagian bibir yang bergerak.
"Andira!" Ia memanggil lagi saat aku berusaha menghindar, tapi mau bagaimana pun, Jo akhirnya mengiringi langkahku untuk menuju kamar Anan bersama-sama.
"Uwih aromanya!" Anan mau loncat dari kasur sebab senang keinginannya dituruti, dia benar-benar terlihat sehat, sepertinya 'tak bohong kalau ia sudah membaik sekarang. "Kapan lu datang, Jondara?" Dia bertanya saat sebuah kresek berwarna hitam ikut serta mendarat di atas meja bundar mini di kamarnya.
"Baru aja. Ini gue bawa bubur," jawab Jo.
"Gue mau makan mie." Anan terlihat mau sekali turun dari kasur, tapi ia paham kalau aku sedang mengobrak-abrik isi lemarinya untuk mencari jaket yang cukup tebal. "Udahlah jaket sembarang aja, Dir! Gue lapar banget," tegurnya.
Sembarang bukan sembarang, soalnya tidak ada jaket yang nyaman untuk diajak bersantai. Anan memang orang yang punya selera style mahal, barang-barang di lemari ini tidak ada yang biasa-biasa saja. "Enggak ada jaket santai, yang ada lu risih kalo pake jaket kulit, atau lu bakal capek karena pake jaket lepis. Ini serius jaket lu enggak ada yang spek orang biasa?" tanyaku.
Tidak ada jawaban, apalagi saat aku berbalik ternyata dua manusia yang resmi akur itu sedang bekerja sama menyerbu isi mangkuk bawaanku. Jika saja Anan sedang tidak pakai jaket Jo, pasti sudah kuselintik bagian dahinya. "Lu enggak dingin, Jo?" tanyaku, ikut bergabung dengan mereka lesehan di lantai.
Orang yang kutanya cuma menggeleng, ia fokus pada mangkuk berisi pretelan seadanya dengan menambahkan saos seboros Kak Sisca Kohl belanja online. Aku mau saja mengatakan kalau yang sedang ia makan adalah bagianku, tapi melihat bagaimana mereka menikmati hidangan itu, rasanya tidak tega mengacaukannya. "Buburnya gue yang makan ya," ujarku yang menyadari ada pengganti hebat dari masakkan yang kubuat.
Kegiatan berlangsung sebagaimana kami hanya fokus menikmati makanan, rasanya masih belum percaya persahabatan ini sesuai ekspetasi lamaku. Namun melihat sebuah rasa kerelaan untuk menyepakati sesuatu agar kami bersama, kupikir tidak ada alasan lagi yang mampu memisahkan kami. Jo tidak mungkin menyukaiku, dan cukup dengan poin itu saja, maka Anan bisa bergabung tanpa harus adanya adegan pemisahan diri lagi.
"Kenapa lu kayak kaget pas gue masuk ke rumah Anandra?" Jo bertanya saat bubur yang ia bawa sudah sisa seperempat olehku, terlihat coretan saos di sudut kanan bibirnya. Hal itu membuatku tidak mampu menahan diri untuk membersihkannya, percayalah, semua terjadi begitu saja. Dampaknya membuatku teringat mimpi yang cukup mengganggu isi pikiranku selama beberapa jam ini, sisi bibir Jo benar-benar punya tekstur yang mirip dengan yang kurasa.
"Anjir lah!" ujarku meruntuki diri sendiri, rasanya mau menggelinding pulang ke rumah, tiba-tiba aku 'tak kuasa menatap wajah Jo.
"Lu sakit?" Anan mendaratkan punggung tangannya di dahiku. "Andira lu beku!" serunya.
"Elu yang bersuhu panas ya, Gembleng!" balasku pada Anan. "Tadi Renata ke sini, 'kan?" Syukurnya aku mampu menggantikan topik pembicaraan kami.
"Hm." Aura Anan tampak memburuk, jujur aku tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka berdua tadi. Kuharap tidak sama seperti yang ada di mimpiku.
Tbc;