Lu sedih enggak sih
gara-gara enggak bisa
bawa motor? —Andira
⋇⋆✦⋆⋇
"Dir, anterin gue!"
"Ke mana?"
"Ke akhirat! Ya toko buku lah, buru!"
Seandainya Jo mengabari lewat panggilan telepon, aku mungkin akan menolak meski dibayar pakai mangga muda di depan rumahnya. Tapi ini, dia ke rumah dong! Sudah siap dengan pakaian rapi dan jaket, gayanya sama seperti mau bertemu anak gadis. Dia pikir keren begitu? YA IYALAH!
Hanya satu yang membuatku sedikit malas, yaitu kehadirannya ada di jam tidur siangku. Tadi rencananya sudah rebahan dan tinggal tutup mata saja, tidak kusangka kalau Jo datang mau ajak keluar begini. Susahnya mau menolak adalah, mamanya sedang berbagi kisah di ruang tamu, kalau anaknya sampai mengadu, mungkin yang mengamuk bukan Mama Jo saja, tapi mamaku juga.
"Lu keluar kayak gitu?" tanya Jo mengenai penampilanku yang seperti gembel.
"Lu mau berapa jam nunggu gue siap-siap supaya pas di mata lu?" tanyaku yang sudah menunggangi motor. "Gue cuma nganter doang, 'kan? Lu enggak bakal lama, 'kan?" Tiba-tiba aku takut kalau Jo sampai sore di toko buku, soalnya itu orang kalau lihat buku seperti lihat artis, betah dan tidak mau pulang.
"Tergantung."
BAKAL LAMA DONG KALAU BEGITU JAWABNYA!
"Kalo lu lama, gue tinggal aja. Nanti hubungin lagi biar gue jemput," kataku.
"Berarti lu supir gue, Dir," sahutnya dengan menepuk kedua pundakku dari belakang.
"Bodo amat ya, Dogol! Pokoknya gitu, setengah jam lu enggak keluar, bakal gue tinggal pulang." Motor akhirnya jalan tanpa jawaban dari mulut Jo, tandanya ia setuju. Dan tandanya lagi, pasti dia akan lama di toko tersebut. Tapi karena sudah terlanjur bilang untuk menunggu setengah jam, aku tidak langsung meninggalkannya selain duduk di motor yang terparkir di depan toko.
Seperti perjanjian sebelumnya saja, aku akan segera pulang tanpa mengabarinya. Jadi jika Jo tidak menemukan keberadaanku di parkiran, ia hanya perlu menghubungi setelah itu. Lagian salah dia kenapa harus mudah trauma akan sesuatu, jangan-jangan kalau Jo jatuh dari pohon, maka ia tidak mau naik dan mengambilkan buahnya untukku? Bahaya. Kuharap keaktifan monyet tetap melekat di diri Jo hingga ia selalu aman sejahtera kalau naik pohon.
"Andra aku mau neduh!" Suara yang familiar itu membuat gerakanku membeku, saat melihat ke pintu masuk, ada Renata di sana sambil memegang kipas mini yang mengarah ke wajahnya. Dan dari suara motor yang baru mati tepat di belakangku, itu sepertinya milik Anan. Tadi Renata bilang nama Andra 'kan? Nah, tidak salah lagi, mereka berdua ada di sini.
Tiba-tiba aku bingung mau berbuat apa, bahkan tudung jaket yang besar kugunakan untuk menutup kepala. Lantas setelahnya, aku meninggalkan motor dan berjalan masuk ke toko seperti orang yang memang punya tujuan ke sini. Gila, Andira ini memang orang yang gila! Padahal apa susahnya bertahan saja di motor sampai Anan dan Renata masuk lebih dulu? Buat apa aku harus bergerak dan berkeliling tidak jelas di tempat membosankan ini?
Tidak ada pilihan lain daripada mencari di mana Jo sekarang, mungkin hanya itu tujuan yang muncul di otak. Setidaknya jangan sampai bertemu Anan dan Renata, jadi hal ini bisa digunakan sebagai kerjaan yang berbobot agar aku tidak bosan-bosan sekali saat melakukan proses pencarian sosok Jondara.
"Andira?"
Ya Tuhan! Kenapa Renata harus mengenaliku? Kenapa aku juga tidak terlalu hati-hati saat melihat kumpulan buku novel milik Kak Poppy? Bagai mengikis hapalan yang kupunya dalam ingatan, tubuh kami sama-sama terdiam untuk beberapa alasan yang berbeda. Renata menunggu jawabanku; Anan sok sibuk dengan buku yang dipegang; serta aku yang berusaha mencari jawaban untuk pertanyaan ringan Renata.
"Oh lu di sini? Dicariin juga dari tadi!" Jo muncul sambil menepuk pundakku. "Eh Renata, ngapain?" Dan ia menanyakan hal itu seakan aku yang terpojokkan ini berlagak baik-baik saja.
"Mau photoshoot, hehe. Tema toko buku gitu," jawabnya. "Jo sama Andira ya? Kirain tadi Andira sendiri, kayak tumben tertarik sama tempat kayak gini." Bisa-bisanya Renata masih membahas tentang keberadaanku di sini.
"Dia? Tertarik sama buku? Kiamat, anjirr lah! Sekarang Andira ojeknya gue." Jo memang kurang ajar, hampir kutonjok wajahnya di tempat umum begini.
"Ya, seenggaknya penampilan kamu ...."
"Renata, waktu kamu di luar enggak banyak, 'kan? Ayo cari tempat." Anan menggengam tangan Renata dan membawanya pergi, padahal aku sudah siap saja menerima penilaian gadis itu mengenai cara berpakaianku hari ini.
Celana trening yang kusut dan belum dicuci sejak dua hari lalu, jaket abu-abu yang kebesaran hingga membuat tubuhku tenggelam seperti si cebol pinggiran, pun rambut panjangku tergerai tanpa ada disisir sejak pagi tadi. Bayangkan seberapa gembelnya aku ke tempat umum yang didatangi banyak orang, dan bisa-bisanya aku tidak menghiraukan masukkan Jo sebelum kami berangkat tadi.
"Enggak usah dipikirin," kata Jo.
"Tapi dia bener, lu udah kayak berdiri sama gembel sekarang. Lihat, trening gue aja mau sobek di bagian pantatnya nih!"
"Aihhh! Mau lu pake baju orang-orangan sawah, lu tetap cantik, Andira. Itu faktanya, lu cuma tinggal percaya aja lagi."
Aku tidak menyangka kalau Jo bisa menghiburku dengan kalimat halu seperti itu, meski masih belum bisa menyetujuinya, aku mengacak-acak rambut Jo dan berkata, "Jo makasih! Gue emang cantik!"
"Gue tarik omongan gue barusan!"
"Gue simpan!"
"Bodo amat!"
"Makasih, Jondara!"
"Buku yang gue cari di mana ya?"
"Jo makasih!"
"Mungkin di situ kayaknya."
⋇⋆✦⋆⋇
Aku sudah bilang kalau Jo pasti lama di segudang kertas bercover ini, kami pulang jam setengah lima dong! Orang-orang sudah pada pergi sejak jam empat tadi, dan Jo memprovokasi penjaga toko karena belum menemukan buku yang dia mau. Lagian saat kutanya mau buku apa, dia tidak mau bilang, alhasil aku juga yang ikut lelah mengikutinya ke mana-mana.
Toko buku itu luas, kalau kami terpisah, yang ada aku tersesat dan menambah pekerjaan Jo saja. Dia bilang, "Kali ini nurut sama gue dulu, cari gara-garanya cuti dulu!" Padahal di saat Jo merasa lelah selalu berdiri, aku bisa sibuk sendiri tanpa harus membuat masalah. Dan kalian tahu, buku yang dia cari itu tidak ada, makanya selama mengendarai motor, aku diam dan tidak mau menjawab setiap obrolannya.
"Lampunya merah." Bahkan tentang betapa tidak masuk akalnya ucapan ini, jangan heran kalau Jo akan jadi banyak bicara kalau aku sedang dalam keadaan kesal begini. Lagian siapa yang tidak tahu kalau kami berhenti saat lampu merah? Bahkan anak kecil yang pakai sepeda di sebelah kami pun tahu.
"Lu penasaran enggak, dulu sebelum jadi aspal kira-kira jalan yang kita lewatin ini kayak gimana?" tanyanya, dan sumpah demi apa pun aku tidak perduli, mau dulu jalannya terbuat dari jelly kek, atau bebatuan licin yang tajam kek, bodo amat! "Dir, kenapa langit warnanya enggak merah ya? Apa harus Mugon Tsukoyomi aja yang bisa bikin semua berubah merah?" Bahkan untuk yang satu ini, astaga Jondara, pembahasannya sangat tidak berpengaruh untuk suasana hatiku.
"Kalo Itachi dan Kakashi ada di dunia nyata, lu pilih siapa?"
"Atau misal ada Sasuke dan Naruto, lu pilih siapa?"
"Lu lebih tertarik mau menguasai rasengan atau chidori?"
"Andira?"
"Dir?"
LUCU SEKALI TIDAK SIH KALAU DIA BEGINI?
"Ya udah lu mau makan apa? Gue traktir." Tawaran itu masih tidak kugubris dan belum mampu mengubah suasana hati, lebih ke sengaja sih, soalnya Jo sedang lucu-lucunya. "Seblak atau mie ayam." Lagi. Jo masih terus merayuku, ada sedikit ketertarikan sudah, tapi kalau bisa dapat lebih dari itu kenapa harus kusahut sekarang? Diam dulu deh.
"Lu jangan sengaja ya, Andira!"
Kalian tahu, helmku dipukul dari belakang. Cukup mengagetkan karena yang melakukannya adalah Jo, tangannya itu seperti punya kekuatan super sejak lahir. Jika saja kalian berada di posisiku yang selalu menerima tempelengan di kepala, aku yakin yang berdenyut bukan urat kepala saja, tapi sampai urat nadi. Menjadi teman Jo hanya untuk orang-orang bermental baja seperti diriku, jadi janganlah kalian sampai tertarik untuk bisa dekat sama dia. Jangan sekali pun.
"Iya, iya. Seblak!" ujarku.
"Sip." Sekarang kuyakin dia akan diam, kembali pada sifat sesungguhnya, dan ujung-ujungnya aku juga yang akan memulai pembicaraan selanjutnya. "Itu Anandra bukan?" Tapi yang dikatakan Jo membuat motor yang kukendarai segera menghampiri sosok yang kami kenal.
"Anan!" Itu teriakku, dan yang menoleh bukan pemilik nama saja, sebab Renata yang berjalan di tepi jalan untuk pengguna sepeda injak ikut melakukan hal sama. "Kenapa?" tanyaku mengikuti mereka dengan pelan.
"Habis bensin, kayaknya," jawab Anan.
"Selalu boros banget," ujar Jo yang tiba-tiba melompat begitu saja dari motorku, masalahnya aku jadi oleng juga, syukur saja tidak jatuh dari motor. "Renata ikut Andira aja," katanya lagi.
"Andira tau rumahku?" tanyanya.
Tentu saja aku menggeleng, bahkan mendengar alamat rumahnya saja tidak pernah. "Tapi kamu bisa ngarahin, 'kan? Nanti aku tinggal ngikutin," kataku.
Renata terlihat berpikir, aku saja seperti dukun bisa baca isi pikirannya. "Tapi maaf Andira, kayaknya enggak mungkin sama kamu. Kalo enggak Andra ya Jo aja." Benar 'kan? Bahkan aku tidak perlu mencari tahu alasannya, sebab bagiku, Renata menganggap standarnya punya level lebih tinggi di atasku.
Tbc;