Sudah pernah merasakan
beberapa jenis jatuh, mulai
jatuh dari sepeda sampai
jatuh dari motor. —Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Semula kuyakin kalau Kak Novan bakal bawa pergi motorku lagi, tapi melihat bagaimana ia terdampar di depan televisi, sepertinya pria itu dapat jadwal kuliah siang. Iya, yang kemarin-kemarin merupakan salah satu contoh di mana dia punya jadwal terlalu pagi, jadi berangkat buru-buru dan memakai motor apa saja yang terlihat. Misal itu punya Bapak Usep pimpinan RT kami, bisa saja dia angkut untuk berangkat.
Melihat jam masih menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit, akhirnya aku berangkat sekolah tidak dalam keadaan tergesa. Biasanya kalau motor-motoran sendiri, aku akan jauh lebih haha-hihi ketimbang menumpang sama yang lain, dan hal itu akan kulakukan sebentar lagi.
Setelah pamit sama Mama, segera aku keluar sambil joget ala Bang Jali, lalu menunggangi kendaraan yang terpakir di halaman rumah. "Aku bete sama kamu, aku sebel sama kamu, aku keki sama kamu. Aku bete bete bete, engkol sanak kasih inpo massszehhh!" Sambil memasang helm usai motor aktif, sempat aku goyang-goyang sebentar lagi, lalu mulai menarik gas untuk berangkat. "Loh?" Namun motorku berhenti di pinggir jalan karena melihat Jo masih menongkrong, pun Anan melakukan hal serupa di pinggir jalan depan rumah masing-masing.
Kami bertiga diam, bahkan serupa melakukan aksi lempar tatap. "Kenapa lu berdua belum berangkat?" Kutanya begitu sebab biasanya antara aku dan Jo terbilang jarang berangkat sama-sama —kalau punya motor masing-masing. Kemarin-kemarin jadi berbarengan 'kan karena tidak ada motor saja.
"Gue kira Bang Novan pake motor lu lagi." Jo merupakan orang pertama yang berangkat lebih dulu, menyisakan tatapan antara aku dan Anan, tapi ia tidak bilang apa-apa dan ikut menjalankan motor juga. Sepertinya Anan punya pemikiran yang sama dengan Jo, tapi bagus sih, tandanya mereka dapat menangkap permasalahan yang sering kuterima akhir-akhir ini.
Kecepatan normal hanya membuat jarak motor kami berjalan disiplin, pasti dua orang di depanku merasakan sensasi yang sama di mana tidak begitu buru-buru ke sekolah. Namun, entah kenapa kalau damai-damai saja terasa kurang bagiku. Makanya, dengan membalap mereka berdua, aku seakan menantang untuk melakukan aksi balap liar hingga Jo tidak mau kalah.
Dia menyelipku, bahkan sempat menjulurkan lidah untuk mengejek. Kupikir Jo saja yang akan melakukan itu dalam kecepatan tinggi, tapi nyatanya Anan juga. Dia pikir ini pasti hal yang seru, dan aku juga senang karena Anan mau berbaur dengan kami semudah ini. Meski permainan seperti menantang maut.
Tin! Tin!
Balapan semakin sengit di mana itu menyisakan bagian Jo dan aku, kami laju sekali, aku yakin Anan yang melihat dari belakang akan merasa tidak wajar dengan kelakuan barbar kami berdua. Sekarang aku katakan, sepertinya kami memang terlalu laju, iya, berlebihan. Kami tampak disebut sedang berada di arena balap. Sebenarnya aku juga berpikir kalau hal ini bahaya, padahal niat awal cuma mau menyelip saja, bukan untuk ugal-ugalan loh.
TAPI MUKANYA JO NGAJAK BERANTEM!
Aku jadi tidak mau kalah sampai lagi dan lagi menaikan kecepatan, dia juga begitu, hingga kami berdua lupa kalau ada tikungan empat tepat di depan. Bukan lagi tentang angin pagi yang sejuk membelai kami, tapi kami yang menabrak angin hingga bukan cuma ujung jaket saja yang berkibar brutal, tapi tubuh Jo juga. Ia mengudara saat terlepas dari motor yang menghantam mobil di depannya. "JO!" Bahkan karena kaget aku juga terjatuh di tepian jalan, hanya kecelakaan tunggal, berbeda dengan Jo yang mampu menyebabkan cairan merah tercetak di jalanan aspal.
"Jo!" Aku berusaha bangkit, ingin menghampirinya tetapi 'tak mampu. Dalam keadaan panik, aku menangis dengan berulang kali meneriakkan namanya. Kakiku nyeri, terasa seperti patah tapi tetap kupaksa untuk bergerak, hasilnya justru membuat area tersebut terasa parah.
"Andira!" Anan datang terburu-buru dan berjongkok di depanku, melihat bagaimana kacaunya aku sekarang membuatnya langsung memegang kedua bahu yang bergetar ini. "Kaki lu lecet," katanya.
"Anan ... tolongin Jo! Cepet tolongin dia sekarang, Anaaannn." Begitu kataku merengek sambil mendorong tubuhnya, lantas Anan melepas kemeja putihnya dan menutupi bagian kakiku yang berdarah. Kemudian ia berlari ke arah kerumunan yang menggerombol di sekeliling tempat Jo tergeletak, satu hal yang kutahu sebelum ambulan datang, bagian kepalanya berdarah.
Maka kejadian hari ini, ada sesal yang tidak akan kulupakan seumur hidup.
⋇⋆✦⋆⋇
Lima hari sudah Jo tidak di rumah alias bermalam di rumah sakit yang mengurus luka seriusnya, sedangkan aku perlu waku tiga hari untuk tidak sekolah karena kaki yang memar —nyatanya terkilir juga. Ini saja kalau berangkat tidak sendiri, Anan yang harus menanggungku selama pemulihan berlangsung. Setelah Kak Novan yang membantu berjalan untuk menghampiri motornya di depan rumah, maka Anan harus siap mental menghadapi sahabatnya ini.
"Udah?" tanya Anan.
Aku mengangguk, lalu menerima jaket yang lagi-lagi ia berikan. Padahal jaket lepisnya kemarin belum kukembalikan. "Jaket lu yang kemarin ada di rumah, bisa gue ambil dulu ...."
"Lu udah naik ke motor gimana mau ngambilnya? Ngesot?"
Aku hanya cengengesan lalu tidak membahas hal itu lagi. "Eh seragam putih lu ...."
"Pegangan." Anan memotong bicaraku dengan menghidupkan mesin motor, lalu kupegang ujung kain seragamnya hingga ia tampak menghela napas. "Lu bakal jatoh kalo megangnya gitu doang, Dir. Atau lu sengaja mau jatoh lagi?" tanyanya.
"Loh terus pegang yang kek gimana maksud lu, Anan?" tanyaku bingung.
"Peluk perut gue."
"Anjer, ngarep lu?"
"Posisi lu duduk gak kek biasanya, woey lah!"
"Ya aneh banget kalo gue ngalungin tangan di perut lu."
"Andira." Anan mematikan motornya lalu membuatku fokus untuk mendengarkan. "Sahabat lu itu gue atau Jondara sih?" ujarnya memberi pertanyaan yang terdengar aneh di telingaku.
"Kok lu ngasih pertanyaan gitu? Lu berdua sahabat gue," jawabku.
Anan tampak tertawa, tapi seperti tawa yang terdengar tidak terima akan ucapanku sebelumnya. "Sejak kapan dia gantiin posisi gue?" tanyanya.
"Posisi? Posisi apa? Pertanyaan lu aneh banget." Jujur aku sedikit terganggu dengan pertanyaan semacam itu, maksudku kami semua punya hubungan yang sejajar eratnya, dan dia seakan ingin menyalahkan fakta itu.
"Selama bertahun-tahun gue enggak di sini, dan lu kayaknya bahagia-bahagia aja ya, Dir. Bahkan lu bisa seakrab itu dengan Jondara meski gue udah kembali ke sini," ujar Anan lagi.
Dia bicara apa coba? Memangnya ada yang salah antara kami selama ini?
"Ada banyak masalah yang gue hadapin supaya bisa balik ke sini, tapi perlakuan lu justru menunjukkan kalo lu lebih milih deket sama Jo daripada gue. Bahkan dari pertama kali kita ketemu, kenapa posisinya harus pas lu lagi sama dia? Dan kemarin juga, lu nangis kayak seakan Jo adalah satu-satunya orang yang berharga buat lu."
"Gue pengen ngomongin ini dari kemaren, tapi selalu ada Jondara di antara kita. Syukur dia kecelakaan dan bisa bikin kita ...."
"Anandra!" Kutegur dia dengan lantang hingga sang empunya terdiam. "Bisa-bisanya ya lu bilang syukur atas kecelakaannya Jo, itu musibah, gimana kalo sampai ngerenggut nyawanya?" tanyaku ingin menangis.
"Lihat?" Anan tampak tahu kesimpulan dari ucapanku. "Lu bahkan bela dia, Dir."
Aku tidak menjawab, bukan karena 'tak punya bahan untuk melawan ucapannya tadi, tapi karena bibirku terasa kelu dan hanya mampu bergetar dalam diam. Tanganku yang semula memegang bagian baju Anan, spontan menjauh karena rasa kesal yang sedikit menggebu. Aku tiba-tiba ingin turun dari motor, tapi mau ke mana dan bagaimana juga coba? Alhasil kami tetap berangkat ke sekolah dalam keadaan hati yang tidak begitu baik.
Hingga sampai pada tempat yang menampung alat transportasi siswa, wadah yang bisa kami sambangi sepuluh menit sebelum jam masuk. Padahal kupikir kami akan terlambat, ditambah perdebatan kecil di depan rumahku tadi. Sepertinya Anan sengaja menjemput pagi-pagi, supaya dia punya waktu untuk menyampaikan hal yang membuatku sakit hati sampai sekarang.
Dia turun lebih dulu dan melihatku dari atas sampai bawah. "Gue bantu atau mau sendiri aja?" tanyanya.
Bukannya peka atau apa, malahan semakin menguji rasa kesalku. "Sendiri aja ... ANJING!" Kupikir jika dipaksakan bisa-bisa saja, ternyata saat mencapai permukaan tanah, keseimbanganku 'tak stabil hingga tubuhku jatuh di dekapan Anan.
"Udah mengumpat, sok kuat lagi." Anan merubah posisi dengan mengalungkan tanganku pada bahunya, karena ukuran tubuhnya lebih tinggi, terpaksa ia sedikit menunduk sepanjang kami jalan sama-sama. "Kalo Jo ada di sini, pasti lu lebih minta bantuan dia." Dan sempat-sempatnya ia membicarakan Jo lagi.
"Kalo Renata ada di sini, pasti lu bakal dorong gue dan menjauh." Kubalas begitu karena memang fakta cinta akan mengalahkan hubungan dekat seseorang yang berbeda jenis kelamin.
"Andira? Udah bisa masuk sekolah? Ya ampun kaki kamu pasti sakit." Orang yang kusebut namanya barusan, tiba-tiba muncul hingga membuatku sedikit panik. Kira-kira dia dengar tidak ya? Aku ingin mencari jawaban itu dari wajah Anan, tapi yang kudapatkan malah ekspresi tahan tawanya yang terlihat jelas.
"Andra, hati-hati ya. Mau aku bantu?" tanya Renata lagi.
"Enggak usah, Cantik. Badan dia berat kayak sapi, yang ada kamu capek entar. Duluan aja." Itu yang Anan katakan hingga Renata sedikit mendahului kami saat menaiki tangga.
"Anyinyinyi." Kuejek perlakuan manisnya tadi —yang terasa hambar bagiku, dasar budak cinta, pasti kemarin-kemarin saat Jo dan aku tidak masuk sekolah, dia menempel terus dengan Renata.
"Lu mau gue tinggal di sini hah?" tanya Anan yang mulai kesal denganku.
"Pasti lu mau ngejar Renata dan minta maaf karena udah sedekat ini sama ... HEH ANAN!" Aku berteriak seiring lonceng tanda masuk berbunyi, Anan menggendongku, lalu menaiki tangga seakan tidak membawa beban berat sedikit pun. Padahal tadi dia menyebutku sebagai sapi, tapi ini?
"Renata prioritas kedua karena cuma gadis yang gue suka, sedangkan lu prioritas pertama karena gadis yang bisa ngobatin luka," ujarnya, "Lu obat paling ampuh di permasalahan hidup gue, meski lu jadi salah satu penyebab lukanya, tetap aja lu yang bisa ngobatin."
Aku tidak mengerti inti maksud perkataan Anan, tapi inilah sosok sahabat kecilku itu, Anandra ternyata tetaplah Anandra.
Tbc;