Kalian punya Abang, enggak?
Apa cuma Abang gue aja yang
ngeselin? -Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Kira-kira adakah kemungkinan punya mukjizat menendang seorang manusia menuju Saturnus dalam waktu satu detik? Sekali saja, Ya Tuhan. Aku benar-benar tidak tahan dengan aksi tindak kecurangan yang dilakukan Kak Novan meski itu perkara sesuap nasi goreng ketika sarapan tadi. Juga tentang bagaimana hilangnya motorku seperti benda itu dibeli menggunakan uangnya.
"Astaghfirullah." Napasku berhembus cukup panjang untuk menerima semua ini, lihat saja, kunci motorku akan menjadi barang langka yang paling sulit dia temukan di rumah nanti.
Karena yakin Kak Novan tidak akan datang cepat, maka bersama helm yang sudah kupersiapkan sejak awal, melangkahlah kakiku ke pinggir jalan. Niatnya mau tunggu Jo keluar, tapi sepertinya dia akan kelihatan saat jam pelajaran selesai nanti.
JO SUDAH BERANGKAT DONG.
Sumpah! Motornya tidak terparkir di halaman rumah lagi, dan otomatis orangnya juga tidak ada. Apa tandanya aku akan terlambat dan menerima hukuman hari ini? Lagi-lagi aku merasa mau menangis lagi.
"Andira?"
Ternyata, Anan belum berangkat.
Terlihat ia baru saja keluar dari area halaman rumahnya, lalu berhenti di pinggir jalan setelah melihat diriku, mungkin. "Lu mau berangkat?" tanyaku.
Benar kata Jo, aku ini adalah orang yang tolol. Sudah tahu kalau Anan mau berangkat, BUAT APA DITANYA LAGI?!
"Naik." Tanpa menoleh, Anan memintaku untuk duduk di jok belakang.
"Beneran?" tanyaku ragu, kalau orangnya Jo sih aku bakal langsung duduk tanpa dia suruh. Tapi ini Anan, rasanya sedikit tidak percaya.
"Kalo gak mau ya ...."
"MAU, ANAN! MAUUU!" Seperti pemaling motor, aku naik dengan cepat di belakang Anan. Tapi ia 'tak langsung berangkat karena melepaskan jaket lepisnya dan menyerahkan benda itu padaku.
"Tutupin bagian kaki lu," ujarnya.
Kalian tahu, padahal rok sekolahku tidak melebihi atas lutut, justru lebih panjang daripada itu. Meski terbuka pun apa juga yang menarik? Lagian aku pakai dalaman yang panjang, tapi karena buru-buru, kuturuti apa kata Anan. Lalu setelahnya baru motor berangkat dengan kecepatan yang nauzubillah, tidak cuma Jo ternyata, ini sih semua laki-laki kalau bawa motor seperti mengajak untuk menghadap Tuhan.
"Telapak sepatu lu gimana?" tanya Anan di tengah pendengaranku yang terganggu saat naik motor begini, tapi karena yang bicara adalah dia, maka telingaku tiba-tiba punya kekuatan super.
"Gimana apanya?" Kuteriaki dia hingga sedikit bahunya terangkat karena kaget.
"Masih bertali dianyam gak?"
"Hah? Buat apa dianyam?"
Nyatanya, rasa percaya diriku terkalahkan juga. Karena mau sekuat apa kita berusaha untuk mendengar baik-baik di atas kendaraan, tetap saja jatuhnya kesulitan untuk memahami. Anan juga tidak tertarik mengulang pertanyaan, tapi aku orangnya penasaran hingga sedikit mendekat dan bertanya, "Lu bilang apa tadi?"
Matinya mesin motor yang kami tunggangi, membuat pertanyaanku tidak dijawab cepat. Anan mencoba untuk menghidupkan motornya tapi tetap tidak mau hingga aku turun lebih dulu. "Kenapa?" tanyaku.
"Gak tau lah," jawabnya judes, antara kesal padaku atau kesal pada motornya. "Minyaknya nih," katanya kemudian.
"Ya udah kita dorong dulu, ada warung di depan," ajakku.
"Yakin lu?"
Pertanyaannya membuatku tergelak. "Gue udah tujuh belas tahun di sini, Anan. Bukan elu yang baru tiga harian," ucapku mengambil posisi di paling belakang berniat membantunya untuk mendorong.
"Gue bisa sendiri, lu mau ngapain?"
"Pake nanya segala, ya bantu lu dorong biar cepet lah. Entar kalo gak gue bantu lu bakal bilang, ih si Andira tau numpang doang, temen kena musibah bukannya dibantu malah jalan doang."
Anan terdiam mendengar ucapanku, kemudian kami hanya fokus mendorong motor vespa yang kehabisan bensin ini. Tapi aku tidak terbiasa kalau cuma diam tanpa bicara, bahkan Jo saja bisa ingin menjahit mulutku gara-gara selalu bercerita ini dan itu. Bedanya sekarang sih aku lebih tertarik membahas pertanyaannya tadi. "Lu bilang apa waktu di motor?" Begitu aku memulainya.
"Telapak sepatu lu," jawab Anan.
Tentu aku bingung. "Kenapa?" tanyaku.
"Masih bertai ayam atau enggak?"
"Oalah, gue kira lu bilang masih bertali dianyam gak?" Percayalah, kupikir sebelumnya hanya aku yang tergelak gara-gara ini, orang lain yang lewat juga pasti bisa melihat siapa yang tampak aneh di antara kami berdua seakan selera humorku berbeda dengan Anan. Namun, tanpa ia ketehaui saja bahwa di kaca spion aku mendapatinya diam-diam tersenyum. Kalian tahu, Anan ternyata punya tingkat gengsi lebih tinggi daripada cewek.
"Lu gak mau ikut siapa gitu, gue enggak apa-apa ditinggal," katanya mengalihkan arah bicara.
"Kalo gue udah berangkat sama lu, maka sampai di tujuan harus sama lu juga. Kecuali kalo maling mangga bareng, semisal ketahuan bisa aja gue lari duluan dari lu," jawabku.
Anan terlihat senyum lagi, dan itu benar-benar menggemaskan bagiku. Inikah sang sahabat kecil yang dulu suka berak di celana gara-gara makan mangga muda? INIKAH?!
"Maaf kalo telat." Anan tiba-tiba menghentikan pergerakannya. "Lu apa kabar, Andira?" Dia menatapku begitu tulus, suara bising area jalanan 'tak berpengaruh apa-apa di telingaku. Sekarang rasanya seperti hanya ada kami berdua.
"Ya, ini gue sahabat masa kecil lu. Anandra. Gue gak ingkar janji buat pulang, 'kan?" Dia tanya lagi sambil mulai mendorong motornya. "Maaf karena bikin lu nunggu terlalu lama, Andira," katanya kemudian.
⋇⋆✦⋆⋇
"Lu bareng Anandra?" Jo menanyakan hal itu saat jam sekolah habis, pun kami bertiga jalan sama-sama di mana sedang menuju tempat parkir.
"Kak Novan nyolong motor gue lagi, dan lu udah berangkat duluan karena piket, syukur ada Anan," jawabku.
"Kunci lu titipkan ke gue aja deh, jadi Bang Novan gak bakal make-make motor lu lagi. Udah tau juga adeknya anak sekolahan," ujar Jo.
"Gue lebih takut kalo lu yang tiba-tiba nyolong motor gue terus dijual."
Bahuku didorong kuat oleh Jo hingga berujung menubruk sisi lain dari tubuh Anan, nyaris aku mau nyungsep kalau tidak ditahan olehnya. "Udah niatan baik juga gue," ujar Jo.
"Ya kenapa lu dorong gue?"
"Habis lu ngeselin, iya kali gara-gara lu cantik."
"Gue tau lu mau bilang kalo gue cantik, NGAKU?!"
"Lu harus jaga kebersihan dulu sebelum percaya diri bilang cantik, Dir." Anan tiba-tiba menyahut saat kami menghampiri motor di parkiran. "Kalo tai ayam aja masih suka nempel di ...."
"ANAN!" Lama-lama dia mulai sama menjengkelkannya dengan Jo. "Lu jangan kebanyakan bergaul sama Jo, candaan lu ye," kataku.
Jo tergelak lalu berkata, "Gue suka gaya canda lu, Anandra." Lalu menunggangi motor lebih dulu.
Anan hanya mengacungi jempol. "Gue serius," katanya yang membuat pergerakan tanganku terhenti, padahal sebelumnya aku ingin memasang helm di kepala.
Lagi-lagi terdengar Jo bersama gelak tawanya. "Candaan yang gue suka gini nih," ujarnya.
"Gue ...."
"Andra!" Panggilan dari seorang gadis yang datang menghampiri kami membuat ucapan Anan terhenti, kupikir dia memanggil siapa, dan arah tujuannya pada Anan cukup menjawab pertanyaanku atas nama asing yang disebut Andra tadi. "Bisa aku ikut kamu? Papa enggak bisa jemput, ada rapat." Renata berdiri tepat di sebelahnya.
Bahkan tanpa berpikir, Anan langsung mengangguk dan hanya Renata naik. "Dir, lu bisa sama Jondara, 'kan?" tanyanya.
Sama seperti yang ia lakukan pada Renata, aku juga mengangguk tanpa berpikir, bahkan sambil tersenyum seakan mempersilahkan Renata menempati wadah yang hampir saja kutempati tadi.
"Tapi panas, Andra," adu Renata.
Anan tampak menoleh padaku, ada sesuatu yang mau dia sampaikan. Tapi sebelum ia meminta, aku langsung melepaskan helm yang ada di kepalaku dah menyerahkannya pada Renata. "Nih, biar enggak panas," ujarku.
"Makasih banyak, Andira. Aku pinjam dulu ya." Renata tampak senang menerima benda itu, dan aku jauh lebih senang karena melihatnya senang.
Lalu Anan pergi tanpa pamit seperti kemarin-kemarin, tampaknya kalau sudah sama Renata dia bakal lupa sama teman-temannya. Tapi tidak apa-apa, kuharap mereka bisa sampai di tempat tujuan dengan selamat.
"Tolol, tolol!" Terdengar Jo mengumpat di belakangku. "Terus lu pulang pake apa, Kampang? Panas banget ini woey?" tanyanya.
"Pake helm lu," ujarku mendekatinya dengan niatan merebut benda yang kumaksud.
"Berani kurang ajar, gue tinggal lu di sini, Dir," ancam Jo yang membuatku tertawa.
"Ada jaket Anan, kayaknya bisa aja buat nutupin kepala gue. Masa gue jadi cewek egois banget gak pinjemin helm buat orang yang membutuhkan?" tanyaku setelah duduk di belakang Jo dan mengeluarkan jaket Anan yang masih bersamaku.
"Halah, halah! Sini jaketnya!" Jo merebut benda yang berada di tanganku, lalu ia memberikan helm yang semula dipakai dan mengganti jaket Anan sebagai pelindung kepalanya. "Sambil pegangin, siapa tau terbang," katanya.
Motor berjalan dengan pengemudinya masih saja menyinyir, "Masalahnya lu ngasih helm ke Nata kayak lu gak perlu helm aja, lagian kalo Anan suka sama dia, harusnya helm yang dia punya bakal dikasih ke ceweknya."
Kupukul bahunya dengan keras dan bertanya, "Jadi lu ngasih helm ke gue karena lu suka sama gue, Jo?"
Motor kami nyaris oleng, entah dia sengaja atau tidak, tapi Jo cepat menyahut dengan berkata, "Gue pinjemin lu helm karena kasihan ya, ngarep pasti lu ditaksir sama gue yang keren ini."
"Hidih hidih!" Kupukul lagi bahunya hingga ia mengaduh.
Seandainya motor yang kami tunggangi bisa bicara, maka ia akan bilang : woey lah lu berdua bisa kagak satu hari aja kalem, capek gue harus jadi saksi bisu keributan lu berdua.
Tbc;