Yang dulu suka main raket pas
sore-sore apa kabar? —Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Jo itu sama seperti jin di dalam lampu ajaib, saat Aladin minta dia keluar untuk mengabulkan permintaannya, maka ia melakukan hal yang sama kepadaku. Jo bisa disamakan dengan Jin lampu ajaib, tapi aku tidak bisa disamakan dengan Aladin karena suka bersikap kurang ajar padanya. Aku bahkan pernah memintanya belikan pembalut saat di rumah tidak ada satu pun orang, dan ia juga tidak bisa menolak karena pening mendengar rengekkanku.
Mau dibilang Jo adalah orang yang paling baik, hm, tidak juga ya, karena dia juga bisa mengeluarkan sisi kurang ajarnya padaku. Kalian tidak tahu saja bahwa aku pernah dimintainya berbohong pada Bunda Yohana (Mamanya) untuk minta uang, aku mewakilkannya dengan mengadu Jo perlu obat, padahal saat itu ia ada iuran untuk membeli bola basket sekolah.
Kata Jo, Bunda Yohana tidak bisa mengeluarkan uang secara sembarang. Kalau kamu hanya menggunakan untuk keperluan bersama, maka beliau tidak ingin kasih materi itu. Tapi kalau sudah berhubungan tentang keperluan pribadi apalagi kesehatan, beliau tidak pikir-pikir lagi. Alhasil, lima puluh ribu berada di tanganku dengan embel-embel pergi ke toko obat.
"Makasih, Jo yang kadang baik kadang enggak!" kataku sambil berlari meninggalkannya.
Aku akan bermain sama Anan, hari ini, sampai sore. Rasanya jiwa masa laluku begitu kuat mengikat dalam batin, aku seperti merasa kembali pada zaman kami di waktu kecil dengan suasana tempat yang tetap sama.
Jika saja kehadiran Renata tidak kutemui bersama Anan.
Langkahku lantas terhenti, tepat di pinggir jalan kecil sebelum penyeberangan. Di sana aku melihat sosok gadis incaran satu sekolahan tertawa bersamanya, sambil membaca buku, lalu terlihat dua mangkuk dekat mereka di mana mie kuah yang kuberi tadi sudah dibagi.
"Anan," kataku pelan sekali.
Pegangan pada dua raket di tanganku merenggang, tidak sekuat saat aku bersemangat tadi. Kedua kakiku terasa lemas hingga rasanya mau rubuh saja di tempat. Serta ada yang nyeri di dalam sana, tepat berada pada area dadaku, entah kenapa, aku merasa sedikit kecewa.
Anan mungkin memang memerlukan pelajaran tambahan untuk mengejar ketertinggalan materi sebagai anak baru, tapi seharusnya tidak sama Renata juga. Maksudku, dia bisa bilang padaku dan Jo, maka aku juga akan ikut membantu meski sebenarnya tidak ada yang bisa kubantu. Iya ... setidaknya kutemani atau apa saja deh!
Omong-omong Anan satu tempat duduk dengan Renata, gadis yang cantiknya minta di-subhanallahi, dia juga pintar, juara kelas bahkan bintang sekolah. Namun melihatnya sama Anan sekarang, entah kenapa itu semua bukan apa-apanya untukku.
Apakah kudatangi saja dan memintanya tetap bermain?
Apakah kubuat kekacauan hingga Renata risih dan pulang?
Apakah ... sudahlah! Tetap saja keberanianku menciut sekecil-kecilnya, kuputuskan untuk tidak datang ke rumah Anan dan kembali kepada Jo yang tampak kembali sibuk dengan ponselnya. Ia tentu heran kenapa aku bisa ada di sini padahal tadi bilangnya mau main sama Anan.
"Kenapa?" tanyanya.
"Enggak jadi. Anan kayaknya lagi belajar," jawabku dengan langsung duduk di tepi pelataran rumahnya.
"Tiba-tiba? Lu pas mau main tuh ngomong dulu sama dia atau langsung datang kayak jailangkung, Dir?" Jo melupakan ponselnya dan memilih berkomunikasi padaku, ia juga mendekatkan diri dengan duduk ke tepian juga tepat di sebelahku.
"Tadi udah ngomong, terus gue sibuk cari raket 'kan tuh. Nah, pas balik ternyata ada Renata di situ."
Jo sedikit membulatkan mata. "Wah, ada cinta yang bakal bersemayam," katanya.
Mungkin ucapan Jo masuk akal, dan aku juga sebenarnya tidak masalah kalau Anan suka Renata atau sebaliknya, toh mereka sama-sama keturunan manusia berwajah kurang ajar yang cantik sama gantengnya kelewatan. "Cemburu lu? Ngapa dah lesu gitu?"
TIDAK YA.
Kusenggol lengannya Jo dengan siku, sembarang saja, aku hanya merasa diacuhkan karena terlalu berekspetasi tinggi tadi. "Cemburu, cemburu. Anan sahabat kecil gue, dan seorang sahabat enggak mungkin saling suka," kataku.
"Terus waktu pertama ketemu Anandra, kenapa lu bilang dia kayak jodoh lu yang mau datang melamar?" tanya Jo lagi, sambil tertawa, dan hal itu membuatku ingin meninju nyawanya.
"Karena gue enggak tau kalo itu Anan, misal dia murni orang baru ya gue rela nikah detik itu juga."
Jo tampak mengangguk tapi masih dengan mimik mengejek, aku dapat melihat kalau dia sangat meremehkan ucapanku tadi. Lagian memang benar kok, saat tahu bahwa Anan telah kembali, aku murni menganggapnya sebagai sahabat kecilku. Seseorang yang akan selalu kuajak bermain dan senang-senang, mana ada acara cinta-cintaan di antara kami, ayolah, tidak mungkin.
"Jadi lu yakin gak bakal suka sama si Anandra?" Astaga, Jo sepertinya memintaku untuk mengantarnya ke Ramree di Myanmar, ada banyak buaya ganas di sana, mungkin dia akan tobat setelah aku serius mengirimnya ke situ.
"Enggak bakal," jawabku dengan menekan tiap kata yang terucap.
"Oke." Jo mengangguk. "Terus raketnya buat apa?" tanyanya lagi.
"Enggak tau, buat mukul pala lu aja kali ya." Nyaris tanganku terangkat untuk melakukannya, tapi Jo justru lebih dulu menempeleng kepalaku dan rasanya tuh ampun deh, sakit sekali. "Sakit lah, Dogol! Bayangin raket yang gue pegang berubah jadi Pedang Samehada, masih berani lu?"
"Bayangin gue jadi Kisame dan ngerebut pedangnya!" Jo mau menempelengku lagi, bayangkan kalau selama delapan tahun kepalaku selalu didorong-dorong begini. Pantas saja banyak yang mengataiku tolol, pasti otakku mengalami revolusi penurunan kualitas, apa kata dunia kalau gang Metaligakure tidak melahirkan penerus bangsa yang berkelas? Sebaiknya aku jangan dekat-dekat sama Jo lagi.
Kami pun berlarian di halaman rumahnya dengan mulut yang tidak bisa diam juga, memang selalu begitu, orang-orang sekitar sudah maklum juga kalau saat dua anak bernama Andira dan Jondara akan jadi barbar saat bersama. Kami saling membalas, bahkan terjatuh-jatuh, hingga berakhir duduk sembarangan karena sama-sama lelah.
"Lu mau main raket tapi gak bawa bolanya," koreksi Jo di tengah-tengah kegiatan kami mengatur napas. "Tolol!" katanya lagi sambil tertawa, dan kepalaku kembali menerima pukulan keras dari tangannya yang besar itu.
"Sakit!" Aku ingin mengejarnya lagi karena Jo tampak bangkit, tapi ia memberi isyarat berhenti dengan mengulurkan telapak tangan.
"Kita tanding, gue ambil bolanya dulu."
Aku mengerti lalu mengangguk. "Bawa botol minum yang gede!" pintaku sebagai tamu terhormat.
Tidak lama pun Jo kembali, bersama apa yang kuminta tadi. Sebelum main, kami bergantian minum dari botol yang sama, tidak pakai gelas, dan kami sudah biasa melakukan hal ini bahkan makan saja bisa dalam satu wadah yang sama.
"Sendal lu kenapa lain sebelah, Andiral?" Jo tergelak saat kami sudah bersiap dalam posisi masing-masing, perhatianku jadi teralih menuju bawah dan terkejut dengan apa yang ada di kedua kakiku.
"Jo!" Tentu setelahnya aku heboh, bahkan panik. Soalnya salah satu sendal yang kupakai sekarang adalah milik Anan, aku juga tidak tahu kenapa bisa sendalnya berdiam diri dengan nyaman di situ. "Gue beneran gak sadar," kataku lagi.
"Gak heran sih, elu 'kan emang tolol."
"Congor lu ya minta ditendang!"
"Ya udah sih, ayok main aja."
"Ini sendalnya Anan, Jo!"
"Ya terus?"
"JO!"
Dia memulai permainan tanpa aba-aba, untung aku orangnya gesit dengan langsung menerima lemparan bola yang dia beri. "Belum siap ... JO!" Lagi, ia terus melanjutkan permainan ini hingga aku lupa perkara sendal Anan.
Sebenarnya tidak bisa disebut sebagai permainan bulu tangkis, karena kami hanya mempertahan bola agar tetap mengudara. Mau itu harus sampai jatuh, atau mengejarnya sejauh mungkin, atau bahkan sampai terjungkir balik sekalipun, intinya bola jangan sampai ke tanah. Tapi serius deh, hal yang kami lakukan ini seru sekali.
Serunya karena lihat Jo jatuh-jatuh hanya untuk mengejar bola, bayangkan sang jago olahraga di sekolah sedang main tidak sesuai aturan dan jatuhnya seperti orang yang tidak bisa main. Kalau orang-orang sekolah tahu nih, pasti hancur sudah nama Jondara.
Serunya karena aku bisa tertawa lega di sini, mau Jo jatuh, atau aku yang jatuh, atau kami sama-sama terjatuh. Semuanya terasa lucu, dan kalian harus mencoba main sambil tertawa karena kegiatannya bikin ketagihan. Rasanya tidak mau berhenti, mau sampai magrib juga aku tahan saja.
Serunya karena yang main adalah kami berdua, sosok yang tidak merasa asing dan terbuka apa adanya. Aku senang saat Jo yang keren di mata orang lain, justru bisa betingkah gila dan heboh di depanku.
"Yah! Lu nyemes jangan kencang-kencang ngapa, nyangkut 'kan nih jadinya," keluhku dengan bahasa yang entah sudah benar atau salah penyebutannya, hanya saja sesuatu yang selalu akan terjadi sedang kami alami.
Bolanya tersangkut di genting rumah Jo, dan kami sedang berusaha untuk mengambilnya. Tentu dengan kayu panjang yang biasa aku gunakan untuk mengambil mangga di depan rumahnya, hanya Jo yang berusaha sih, kalau aku hanya banyak bicara saja.
"Habis gue greget pengen bolanya supaya bisa pas nembak wajah lu, Dir," sahutnya yang membuatku menginjak kakinya. "SAKIT, ANJER!" Dia ingin menyodokku dengan kayu yang ada di tangannya, tentu aku ingin berlari menghindar.
"Andira." Dan panggilan itu menghentikan aksi kami. "Sendal lu ...."
"Ehehe, Anan! Gue serius enggak sadar kalo make sendal lu." Aku berlari secepatnya untuk mendekati Anan, terlihat ia hanya memakai sebelah sendal dengan menjinjing satu sendal lain yang tidak bukan adalah sendal milikku. "Maaf, Anan," kataku seraya melepas sendal yang ada di kakiku, benda itu terlihat sedikit kusam, pasti gara-gara diajak main dari tadi.
Tampak Anan tidak mempermasalahkan hal itu, ia meletakkan sendalku ke bawah lalu berkata, "Ada tai ayam," katanya.
Bisakah kalian beri tahu di mana tempat mengubur diri yang terdekat? Rasanya malu sekali! Bayangkan Anan yang berwajah malaikat membawa sendal bertai ayam, Ya Tuhan, justru aku yang mau menangis. "M-maaf, Anan. Pasti gara-gara gue bawa buat ngasih makan ayam pagi tadi," ujarku.
"Andira, rumah kamu di sekitar sini?" Renata datang menghampiri setelah beberapa saat menunggu di pinggir jalan depan rumah Anan.
Aku mengangguk dan menunjuk letak rumahku yang memang bersebelahan dengan Anan. "Aku di situ, dan Jo di sini," jelasku seraya menunjuk rumah Jo juga, sedangkan sang pemilik rumah masih sibuk mengambil bola yang tersangkut di atas rumah.
"Ya udah, ayo buraan Ren. Nanti kamu kesorean pulangnya." Anan pergi begitu saja dengan Renata yang ikut di belakangnya, hanya gadis itu yang sempat pamit padaku, sedangkan Anan seperti penagih hutang yang sombong.
Melihat bagaimana Anan mengikuti motor Renata dari belakang, aku bisa menebak laki-laki itu mau mengantarkannya pulang. Iya, semanis itu perlakuannya pada Renata.
tbc;