Mau kasih saran buat
yang langganan nyuci
sepatu di hari minggu,
kalo masih bersih mending
gak usah dicuci. —Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Aku tidak menyebut ini sial. Namun kalau senin jadi petugas upacara, lalu datang harus pagi sekali, ditambah motorku hilang. Tamat sudah. Ini kalau-kalau datang terlambat ke sekolah, bukan cuma wajah Jo yang memelototiku saja yang terlihat, tapi sebuah hukuman mengerikan ada di belakangnya.
TIDAK BISA YA.
"KAK NOVAAANNN!" Kayak orang gila aku teriak-teriak di pelataran rumah, lagian kenapa dia harus pakai motorku sih? Padahal dia punya motor sendiri, dan kalau bukan motor gede pasti sudah kupakai sekarang.
"Kenapa belum berangkat?" Di jalan Jo meneriakiku, sudah siap mau berangkat dengan motornya. Aku yakin, pertanyaannya akan jadi hal yang paling dia sesali setelah ini.
"Jo, nebeng!" Iya, kalau menunggu Kak Novan pasti lama, jadi buru-buru aku masuk ke dalam rumah untuk ambil sepatu.
Sebentar.
Sepatuku di mana ya?
"Anjeerrr." Lari lagi aku keluar, berdiri di depan pintu, celingakan ke kanan dan kiri. Mungkin Jo yang ada di jalan sana kebingungan lihat tingkahku pagi ini. Lupakan tentang itu dulu, soalnya, tidak tidak tidak! Please, jangan bilang ini musibah, jangan pokoknya!
"Aaaa sepatunya kebasahan!" Aku berlari ke samping rumah sambil teriak lagi. Benar, aku ini memang pelupa tingkat kecamatan. Sebab kemarin seperti tidak terjadi apa-apa, otakku tidak bisa menangkap hal penting di mana sepatu hitam untuk hari senin masih di atas kandang ayam. "Yahaha." Serius, aku mau nangis sambil jinjing sepatunya.
"Andira, buruan! Entar telat!" Jo berteriak lagi hingga akhirnya aku berlari tanpa memasang sepatu, sempat pakai helm saja. Jo juga sepertinya tidak terlalu memperhatikan kegaduhanku ini, aku yakin yang ada di kepalanya sekarang adalah upacara, upacara dan upacara.
"Udah?" tanyanya.
Aku mengangguk. Awalnya dia mau langsung tancap gas, tapi kemunculan seseorang dari rumah sebelah sama Tante Ratna menunda hal itu. "Dira, Dara! Barengin Anandra ya, satu sekolah."
Sebentar. Aku salah dengar tidak nih?
"Iya, Tante!" Jo langsung pamitan dan benar-benar mengendarai motor kayak orang yang mau jemput maut, lajunya tuh mirip lagi dikejar polisi. Alhasil kakiku yang tidak pakai alas apa-apa jadi dingin karena hawa pagi habis hujan . "Anan sekelas sama kita," kata Jo.
"Masa?" Sumpah aku masih kurang percaya kalau Anandra kembali, kupikir semalam cuma mimpi sebab bisa dengar nama meski sempat keliru orangnya. Maka dari itu, aku menoleh ke belakang.
Itu benar Anandra? Aku hanya takut jikalau mataku sedang melukis seni yang indah untuk menipu otak dan pikiran. "Anan janji bakal pulang?" Dulu kutanyakan hal ini dengan wajah yang begitu polos, lalu terlihat cerminan wajah Anan Kecil di sosok laki-laki yang mengendarai Vespa Biru di belakang sana.
"SELAMAT DATANG, ANAAAAANNNN!" kuteriaki dia saat menyadari bahwa aku sedang melihatnya. "ANANDRA UDAH PULANG, YEEEEE!"
"HEH, HEH DIEM! LU MAU TERPELANTING DARI MOTOR HA?" teriak Jo, tapi aku masih merasa gemas hingga kedua bahunya kuhantam begitu keras. "SAKIT, DIR!" Aku tidak tahu apakah Jo mampu merasakan gejolak menyenangkan ini, hanya satu yang kutahu, dia pasti paham apa yang sedang kurasa.
"ANAAAANNN!" Sekali lagi aku menengok dan melambaikan tangan, sedangkan yang ada di motor belakang sana menatapku heran dan menyipitkan mata. Sampai kami sungguhan sudah di sekolah karena bakat mengemudi Jo yang patut disandingkan sama Valentino Rossi.
"Lu kelas berapa?" Jo bertanya pada pemilik motor yang parkir tepat di sebelah kami, sambil cepat-cepat melepas helm dan jaket.
"Sebelas IPA 2," jawab Anan.
"Sekelas kami." Jo melempar jaket dan tas padaku begitu saja, lalu memperbaiki tali sepatu dan pasang ancang-ancang mau lari. "Gue ke lapangan duluan, lu sama si Dira Dongo ke kelas!" Dan Jo sungguhan meninggalkan kami berdua karena sebagai ketua kelas tentu harus mempersiapkan segala hal sebelum upacara.
"HABIS DARI KELAS BURUAN KE LAPANGAN!" teriak Jo dari kejauhan sebelum menghilang saat di tikungan, dia memang memiliki semangat yang tinggi.
Beda sama aku yang terdiam, tiba-tiba ingat sama sepatu yang masih basah ini. Berulang kali kulihat kaki tanpa alas dan benda yang ada di tangan, jujur aku jera kalau harus pakai sepatu basah, dulu sudah pernah kucoba, dan hasilnya kaki jadi gatal-gatal dan korengan.
Sensitif banget kaki barbie.
"Kelasnya di mana?" Anan terlihat melangkah lebih dulu, hal itu membuatku segera membuntutinya dengan banyak barang di kedua tangan. "Bentar lagi upacara," katanya lagi.
Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan lain dari kami, mungkin karena buru-buru juga. Mana sudah banyak juga siswa-siswi jalan menuju lapangan, dan selama berselisih dengan kami, tidak jarang sayup-sayup kudengar para perempuan memuji Anan karena ganteng.
"Di sebelah Jo kosong, duduk sini aja," kataku saat kami sudah masuk ke kelas yang memang tidak ada siapa-siapa lagi, semua pasti berkumpul di sana dengan Jo yang sibuk mengatur petugas upacaranya.
Memikirkan upacara, aku termenung sejenak dan lagi-lagi memandang sepatu yang dari tadi cuma kujinjing. Sedangkan Anan pergi mendahuluiku tanpa bilang apa-apa, sempat kaget saat hanya tersisa sendirian di kelas, bisa-bisanya Anan cuek begitu dan bahkan tidak bertanya apa aku ada masalah atau tidak.
"Buruan!"
Eh? Kupikir Anan sudah pergi, ternyata dia masih di depan kelas dan meneriakiku. Tanpa banyak pikir, aku berlari bersamanya untuk ke halaman depan sekolah. Sampai di sana terlihat Jo sedang memegang map berisi susunan acara, bahkan dia langsung mendatangiku dan bertanya, "Sepatu lu kenapa gak dipake, Bangsul?"
"Basah." Kuangkat sepatu itu tepat di depan wajah Jo. "Aaaa ... Jo! Ada tai ayamnyaaaa." Dan aku merengek saat melihat kotoran tidak sedap terpampang jelas di telapak sepatu itu, pantas sepanjang perjalanan tadi ada bau-bau yang memancing betapa terganggunya perutku.
"Dira ... Dira!" Jo sempat berdecak, lalu dia berjongkok untuk melepas sepatu dan memasangkannya di kakiku.
"Jo, entar lu pakai apa?" tanyaku panik.
"Sana! Udah mau dimulai!" Tapi dia justru mendorongku dengan merebut sepatu yang ada di tanganku, lalu sambil mengajak Anan yang sedari tadi cuma memperhatikan kami untuk masuk ke barisan masing-masing.
Upacara pun berlangsung, dengan ending yang sudah kutebak kalau Jo masuk barisan siswa yang dihukum. Bersama Anan juga?
⋇⋆✦⋆⋇
"Lu gak jaga imej banget jadi anak baru." Jo cekikikan saat sedang sibuk-sibuknya menyapu lantai, sesekali benda yang digunakan terhempas karena tangannya yang tidak begitu bersahabat untuk digunakan bebersih. Bahkan sapu di kelas sudah tiga kali patah di tangan ajaibnya. "Ngapain lu jadi nyeker juga tadi? Sayang banget sepatu mahal gak dipake buat upacara di hari pertama masuk sekolah baru," ocehnya lagi.
Suara perpaduan batang sapu dan keramik terjadi berulang, tadi sih sekilas kulihat Jo bekerja hanya menggunakan satu tangan, itu pun menyapu ogah-ogahan dengan mendorong debu yang jatuhnya seperti orang mengepel lantai. "Gak usah bersih-bersih amat. Toilet bau gini entar kotor lagi juga," sarannya pada Anan yang kebagian tugas mengepel.
Jo memang orang yang bertanggung jawab sebagai ketua kelas, tapi tidak untuk diri sendiri. Dia bisa membiarkan hukuman menimpa padanya saja demi melindungi organisasi, kelas atau kelompok dan sebagainya. Namun saat kena hukuman lalu bepikir hal itu sudah jadi urusannya, maka iya seperti inilah. Pekerjaannya asal-asalan, wajahnya kurang serius, bahkan terlihat seperti buang-buang waktu ketimbang menjalankan hukuman. Aku yang berdiri di luar mengintip sedikit untuk melihat ketidakseriusannya dalam bekerja.
"Jo!" Kupanggil dia sambil menggoyangkan botol Sprite, wajahnya tampak bersinar dengan memberi kode padaku untuk masuk ke dalam. "Ada dua, buat Anan juga. Nih! Nih!" Aku mengulurkan tangan pada Anan yang berdiri di belakang Jo.
"Gue gak minum itu." Anan menolak dengan lanjut mengepel lantai, dia juga menabrakkan benda itu pada ujung sepatuku (masih milik Jondara yang kebesaran) dan tidak perduli akan botol berair segar ini.
"Sini buat gue!" Jo melempar botol kosong yang sudah diminumnya sejak tadi, lalu berniat mengambil benda yang ada di tanganku.
"Ish! Buat Anan, lu banyak maunya!" tolakku dengan lagi-lagi memberi waktu pada Anan untuk mengambil minuman ini, agak rugi, soalnya uang jajanku hari ini sisa setengah buat beli mereka minuman.
Lalu sekali lagi Anan menggeleng, dan itu berhasil membuat Jo dapat kesempatan mengambil botol itu dari tanganku. "Beli cuma dua, lima dong makanya." Tipe orang tidak tahu terima kasih, iya Jondara orangnya.
"Bau jengkol ya di sini," kataku saat menyadari bahwa area toilet laki-laki begini baunya. "Ini yang makan jengkol pasti suka gibah, makanya kuat banget energinya," telitiku.
Jo tergelak. "Lu mau tau siapa yang suka makan jengkol?" tanyanya. "Pak Boy." Begitu infonya saat melihatku mengangguk.
"Huh? Fitnah aja, bapak ganteng yang kulitnya putih bersih kayak isi hati gue yang suci ini, iya kali dah. Gue aduin lu!" ancamku yang semakin membuatnya tergelak.
"Ehem." Anan tampak menegur kami berdua yang keasyikan mengobrol. "Lu lagi di toilet laki-laki, mau dapat kasus yang berjudul a girl goes into a men's restroom? Mending sana keluar, lagi jam belajar 'kan ini?" tanyanya.
Aku tidak menyangka kalau Anan sudah berubah senormal ini sekarang, tiba-tiba aku jadi malu, pun rasanya seperti kena tusuk di dada karena aku mengerti kalimat asing yang keluar di bibirnya. Ayolah, aku dan Jo saja pernah terkurung di toilet perempuan saat dia membantuku muntah karena banyak makan pedas, dan dibandingkan dengan kondisi kami sekarang, ini justru tidak ada apa-apanya daripada hal yang kusebut barusan.
"Lu bolos jam Pak Boy?" tanya Jo.
Aku mengangguk. "Buat beliin kalian minum," kataku.
Keduanya terdiam dengan sama-sama menatap intens, tapi tidak berselang lama Jo mengangkat dua jempol dengan batang sapu ia himpit di ketiak. "Lu bahkan bisa pulang dan masak nasi goreng untuk kami selama jam Pak Boy berlangsung," candannya.
Iya, sejauh ini sudah Jo mengenaliku.
Tbc;