Loading...
Logo TinLit
Read Story - MAMPU
MENU
About Us  

Cung yang Mamanya suka
jemur kasur dan bantal
tiap hari minggu. —Andira

⋇⋆✦⋆⋇ 

Ramalan cuaca hari ini mengatakan kalau kota Jogja akan diguyuri hujan saat siang hari, tapi bagaimana berkuasanya baskara pukul satu siang di atas sana, cukup meyakinkan presepsiku untuk 'tak percaya berita klise tersebut. Lagian kemarin-kemarin juga begitu, sampai Mama menyadarkanku bahwa berita zaman sekarang tidak menjanjikan sesuatu yang harfiah.

Buktinya beliau berani menjemur kasur king size berwarna abu-abu di halaman rumah kami. Tadi barusan kutepuk permukaannya pakai pemukul khusus seukuran raket nyamuk elektrik. Sekarang otot-otot tangan kananku mengencang, pukulan demi pukulannya memang kulakukan dengan kuat, bahkan sangat.

"Oey, mau ngapain lu?" Teriakan seseorang yang lagi nongkrong di pelataran rumahnya membuatku menoleh.

"Nyolong mangga," jawabku seraya berkacak pinggang dan mendongak lagi, mengerucutkan kedua sudut mata, lalu memprediksi incaran yang tepat pada atribut pohon tua di depanku.

Aku juga yakin kalau dia, laki-laki yang sedang meneliti kegiatanku dari tempatnya sana, sudah menebak hal ini sebelum tubuhku menyebrang ke halaman rumahnya. Ini terpicu dari rasa kesal yang dibuat oleh Kak Novan, orang yang baru saja menjadi pelaku tindak pidana korupsi di rumah. "Sarimi, sarimi. Yang beli siapa, yang makan siapa" Sungguh, memikirkannya saja membuat rahangku tegang.

"Kapan bisa mateng buah mangga punya emak gue kalo diambilin terus?" Terdengar anak dari sang pemilik pohon memelas, tapi aku tidak perduli.

"Kayu yang di sini mana?" tanyaku.

"Dibuang."

"Kenapa?"

"Ya karena lu malingnya lah!"

Jondara adalah orang yang kalau bicara seperti lilin menyala, agak panas, bahkan mustahil kembali utuh ketika meleleh. Jadi, ucapannya tidak pernah ditarik lagi meski sudah disampaikan. Namun, sama seperti lelehan lilin yang jatuh karena api, aku tidak pernah merasa sakit hati karena omongannya. Itu terdengar jokes di telingaku.

"Jo, ambilin dong!" Aku menunjuk-nunjuk bagian buah yang kumau, tapi Jo masih sibuk dengan ponselnya. "JO!" teriakku lagi.

Dia sempat mendengus, lalu bangkit dan berjalan mendekatiku, celana bola warna hitam yang dia pakai dinaikkan sedikit lalu menyingsing lengan baju sampai ke bahu. "Udah nyolong, nyolot lagi," ujarnya bersiap memanjat.

Meski aku merupakan pelaku tindak kejahatan tingkat RT yang profesional, Jo tetap mau sia-sia membuang tenaganya untuk membantuku. Dia benar-benar melakukannya sekarang.  Aku pun hanya senyam-senyum sambil berkacak pinggang, melihatnya bergerak-gerak di atas pohon seperti binatang kelaparan. "Ayo monyet, kamu pasti bisa meraih buah itu!" ejekku.

"Gila lu!" sarkasnya sambil mulai melempar buah yang mampu digapainya, dan itu tidak satu atau dua saja, lagian mana cukup kalau cuma di bawah lima buah.

"Ih, masam! Eerrr! Bilangin emak lu jangan suka marah-marah, gimana buahnya mau manis coba," kataku yang sudah duduk di atas tanah dan mulai memakan buah tanpa harus dicuci atau kupas dulu. "Masam banget, Jo! Masam!"

"Yang lu makan mangga mentah, Bangsul! Lu mau makan mangga Korea sekali pun kalo belum mateng ya gak bakal manis rasanya!"

Akukah yang salah? Setelah tiap tahun ganti musim selalu setia pada pohon ini untuk langganan memakan buahnya? "Semua mangga muda gak pernah manis?" tanyaku basa-basi.

"Buah apa pun," jawab Jo.

Aku berpikir. "Tapi kelapa muda enak." Hingga Jo melempariku dengan buah-buah mangga yang dipetiknya lagi dengan tenaga besar.

"YA TUHAAANNN! MASIH CILIK IKUU, JONDARA! TURUN TURUN TURUN!"

"Jo, kabur!" Aku berteriak sambil memungut buah-buahan di tanah —dalam kesempatan yang ada, padahal Bunda Yohana alias Mamanya Jo tidak berbuat apa-apa. Iya, teriak saja. Tapi menurutku kalau tidak lari rasanya tidak afdol, lagian seru saat beliau sedang teriak terus kita bergerak tergesa-gesa untuk menghilang.

"Gue ngapain lari juga anjirr!" Jo tidak habis pikir kenapa dia jadi ikut lari sampai ke halaman rumahku, bahkan dia lupa pakai sendal. "Lu ngagetin, gue kira apaan tadi pake kabur-kabur segala!" Sekarang dia marah-marah sambil mengatur napas, lalu melempari kepalaku dengan buah mangga yang dia pegang seadanya.

"Makasih banyak, Nak."

"Sama-sama, Tante. Izin pulang dulu, mau beres-beres, ehehe. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku dan Jo terdiam saat menyadari seseorang baru saja selesai berkomunikasi dengan Mama, awalnya dari belakang kami tidak kenal.

Tapi saat dia berbalik, ternyata kami tetap tidak kenal. "Siapa, Dir?" tanya Jo yang membuatku hanya menggeleng.

Orangnya rapi, berpakaian sopan dan berkulit putih nan bersih. Aku seperti mampu melihat masa depan yang indah. Meski minder dengan kulit badanku sendiri, juga kalau dibandingkan dengan Jo yang amburadul ini, mungkin orang itu sedang berpikir anak jalanan mana yang sedang dia lihat bahkan tanpa pakai alas kaki satu pun.

"Ganteng banget lu," ujarku padanya saat dia yang juga kebetulan berencana berhenti, tampak sedari tadi berpikir sambil memperhatikan kami. "Apa kita saling kenal?" tanyaku hingga membuat Jo menempeleng kepalaku dengan kuat.

"Siapa coba yang mau temenan sama cewek maling mangga?" tanya Jo.

"Lah, elu 'kan temen gue," kataku.

"Kapan gue bilang kita temenan?"

"Weh Jo  ...."

"Jondara?" Orang itu menyebut nama Jo, dan Jo yang disebut justru pangling sendiri karena bingung. "Andira?" Sekarang dia menyebut namaku.

Sebentar.

Aku merasa mau kayang sekarang.

"Anandra, kah?" Jo menebak, dan orang itu mengangguk.

⋇⋆✦⋆⋇ 

Aku ceritakan sedikit tentang masa lalu, kenangan, dan juga Anandra ya.

Dulu, saat sudah tahu apa itu arti berpetualang, aku dan Anan berlangganan ke rumah Jo sebagai pencuri. Lalu Bunda Yohana akan stand by; stay healthy —di depan pintu dan berteriak hingga kami berlari terbirit-birit sambil tertawa.

Kami anggap beliau pelit padahal buahnya tidak pernah terasa manis, meski kami tahu, buah mana yang manis kalau dipetik saat masih kecil dan mentah?

Teman kecilku satu-satunya cuma Anan waktu itu, kalau Jo justru tidak mau main bersama kami dan memilih diam di rumah. Padahal kami berdua tahu, Jo selalu mengintip di balik tirai jendela berwarna ungu kalau kami sedang bermain di area perumahan. Kadang di halaman rumah Anan, kadang juga di halaman rumahku.

Hal-hal sederhana antara aku dan Anan sama saja seperti kegiatan anak-anak kecil pada umumnya, makan, tidur, mandi dan main. Bila waktu main sudah tiba, maka tidak jarang bisa buat kami jadi lupa waktu. Kadang Mama Anan yang harus menjemputnya pulang dari rumahku, atau sebaliknya jika aku ada di rumah Anan.

Namanya bocah gendeng pasti 'tak tahu letak jaimnya, aku juga sudah biasa jadi saksi mata kalau Anan berak di celana --sehabis makan mangga muda. Karma kali ya, soalnya setiap konsumsi itu pasti dia sakit perut dan kepicritAnan bilang itu di luar kendali.

Tapi lama-lama sih bisa terkendali, kalau-kalau dia sudah sakit perut nih, pokoknya harus cepat-cepat tancap gas ke rumah, cuma tidak jarang juga masih bisa terjadi lagi. Dia juga justru kaget sediri pas mencium bau tau-tau sudah ada tai di celana. Jorok? Iya, jorok banget! Sayangnya kejadian itu berlangsung sampai kelas tiga SD saja, sebab seterusnya hingga sekarang, Anan tidak bersamaku.

"Anan jalan-jalan dulunanti kita main lagi." Dia mengatakan hal itu ketika memberikanku kabar akan keluar kota. Tanpa paham, tanpa tahu, bahkan tanpa menyadari, jikalau ikut bersama Papanya cukup menjadikan itu alasan abstrak kenapa kami harus berpisah. Sedih? Tentu sedih banget. Soalnya kalau sudah musim mangga, cuma sisa aku malingnya, mau ajak Jo jadi maling tapi itu 'kan pohon punya dia.

"Itu tadi Anan temen kecil lu?" Jo bertanya sambil menyikat kakinya di dekat kran air yang ada di sudut pelataran rumahku, meski tidak berkulit putih sekali, Jo ini orang yang bersih karena anak rumahan. Tadi jadi terlihat seperti gelandangan karena aksi kabur yang kata dia lari enggak jelas banget karena kaget.

"Mungkin iya, eh tapi kayak beda banget gak sih?" tanyaku, lantaran tadi di saat Jo menyebut nama Anandra dia keburu dipanggil Tante Ratna alias tetangga sebelahku alias memang Mamanya Anan. "Kok bisa ganteng gitu ya?" Masih merasa tidak percaya, kupikir itu adalah keluarga sepupu dari Tante Ratna saja.

"Masih gantengan gue." Pelan Jo memuji dirinya sendiri.

"Cowok ganteng tuh gak jomblo sih," kataku.

"Berarti Anan udah punya pacar?" Pertanyaannya membuatku terdiam dan berpikir.

Jika Jo menebak ada something  di otakku, maka jawabannya tidak. "Ke rumah Anan yuk!" Karena inilah ending yang kubuat di mana Jo sampai kaget hingga hanya menghela napas.

"Ayo!" Dan aku serius benar-benar ingin berkunjung untuk memastikan sesuatu. Naasnya, guntur bersama petir-petirnya menganggetkan kami hingga Jo saja melempar gelasnya ke tanah. Langit tiba-tiba mendung, bersama angin yang juga datang brutal hingga kegaduhan di rumahku terjadi.

"ANDIRAAAA! CEPAT SELAMATKAN KASUR MAMA!" Mama teriak dari belakang rumah dan aku yakin teriakannya bisa sampai kepada tiga rumah lain di sekitar kami, mana teriaknya seperti si kasur bakal terjun dari gunung saja.

"Woi malah bengong!" Jo terlihat lebih antusias daripada aku, kakinya kotor lagi, dia lari dengan gerakan mirip Upin Ipin mengejar Rembo. "ANDIRA!"

"IYA! IYA!"

Sebagaimana Mama menganggap kami tim SAR dadakan, aku dan Jo bergegas melakukan aksi heroik guna menyelamatkan korban bencana hujan yang menimpa kasur tempat tidur Mama. Aksi kami amburadul namun kompak, kasurnya langsung diangkat begitu saja tanpa menyusun strategi maupun diskusi, kami bersembunyi di bawah dengan kepala sebagai penyangga kasur yang dibawa.

"LARI KAMPRET!"

JO YANG KAMPRET!

Ini aku terhuyung-huyung karena sadar kasurnya berat banget tahu! Sedangkan Jo yang ada di belakang ribut dengan memaksaku mengimbangi pergerakkan fisiknya yang kuat.

"Gimana masuknya?" tanyaku lantaran masih panik hingga menabrakkan kasur saat di depan pintu.

"Ya dimiring lah, Andira! Mau lu tabrak-tabrak gitu seratus kali juga gak bisa masuk!" Seolah menyalahkan otak kecilku, Jo mulai menurunkan kasur di lantai, lalu posisinya diubah agar bisa masuk. Di sini aku tidak membantu, dia mendorong benda itu sendirian hingga ke ruang tengah rumah kami.

"Wah, mantap!" pujiku.

"Gila lu!" Selalu begitu perkataannya setelah merasa kumanfaatkan.

"MOTOR GUE, JO!"

Dan dia lari lagi keluar untuk menaikkan motorku ke pelataran rumah, iya, dialah Jo yang kukenal sekarang. Bukan lagi seorang Jondara yang bersembunyi di rumah dan mengintip lewat jendela.

Tbc;

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Best I Could Think of
535      384     3     
Short Story
why does everything have to be perfect?
Premium
Aksara yang Tak Mampu Bersuara
20243      1978     0     
Romance
Ini aku. Aku yang selalu bersembunyi dibalik untaian kata indah yang menggambarkan dirimu. Aku yang diam-diam menatapmu dari kejauhan dalam keheningan. Apakah suatu saat nanti kau akan menyadari keberadaanku dan membaca semua tulisanku untukmu?
Melankolis
3064      1125     3     
Romance
"Aku lelah, aku menyerah. Biarkan semua berjalan seperti seharusnya, tanpa hembusan angin pengharapan." Faradillah. "Jalan ini masih terasa berat, terasa panjang. Tenangkan nafsu. Masalah akan berlalu, jalan perjuangan ini tak henti hentinya melelahkan, Percayalah, kan selalu ada kesejukan di saat gemuruh air hujan Jangan menyerah. Tekadmu kan mengubah kekhawatiranmu." ...
Through This Letter (Sudah Terbit / Open PO)
5746      1612     0     
Romance
Dia—pacarku—memang seperti itu. Terkadang menyebalkan, jail, sampai-sampai buatku marah. Dan, coba tebak apa yang selalu dia lakukan untuk mengembalikan suasana hatiku? Dia, akan mengirimkanku sebuah surat. Benar-benar berbentuk surat. Di tengah-tengah zaman yang sudah secanggih ini, dia justru lebih memilih menulis sendiri di atas secarik kertas putih, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah a...
Miracle of Marble Box
3238      1389     2     
Fantasy
Sebuah kotak ajaib yang berkilau ditemukan di antara rerumputan dan semak-semak. Alsa, Indira dan Ovi harus menyelesaikan misi yang muncul dari kotak tersebut jika mereka ingin salah satu temannya kembali. Mereka harus mengalahkan ego masing-masing dan menggunakan keahlian yang dimiliki untuk mencari jawaban dari petunjuk yang diberikan oleh kotak ajaib. Setiap tantangan membawa mereka ke nega...
Simbiosis Mutualisme
312      205     2     
Romance
Jika boleh diibaratkan, Billie bukanlah kobaran api yang tengah menyala-nyala, melainkan sebuah ruang hampa yang tersembunyi di sekitar perapian. Billie adalah si pemberi racun tanpa penawar, perusak makna dan pembangkang rasa.
Anak Magang
122      114     1     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
Mendadak Pacar
9370      1900     1     
Romance
Rio adalah seorang pelajar yang jatuh cinta pada teman sekelasnya, Rena. Suatu hari, suatu peristiwa mengubah jalannya hari-hari Rio di tahun terakhirnya sebagai siswa SMA
Taruhan
59      56     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
Wanita Di Sungai Emas (Pendek)
568      383     3     
Fantasy
Beberapa saat kemudian, aku tersandung oleh akar-akar pohon, dan sepertinya Cardy tidak mengetahui itu maka dari itu, dia tetap berlari... bodoh! Akupun mulai menyadari, bahwa ada sungai didekatku, dan aku mulai melihat refleksi diriku disungai. Aku mulai berpikir... mengapa aku harus mengikuti Cardy? Walaupun Cardy adalah teman dekatku... tetapi tidak semestinya aku mengikuti apa saja yang dia...