Setelah mengantarkan Akira ke sekolah, Arzan bersiap-siap untuk berangkat ke kampusnya dengan menaiki sepeda motor. Keluarga Arzan bukanlah keluarga yang kaya raya, tapi bisa dibilang berkecukupan untuk sekedar makan sehari-hari dan membayar kebutuhan lainnya.
Di umurnya yang masih dua puluh satu tahun ini, Arzan harus dituntut menjadi dewasa. Menggantikan posisi kedua orang tuanya ketika mereka pergi keluar kota untuk bekerja, untuk menjaga Akira Adik perempuannya.
Terkadang, Arzan harus menjadi sesosok Ayah, dan tak jarang juga dia harus menjadi sesosok Bunda untuk Akira. Bahkan Arzan pun telah memprioritaskan kebahagiaan Akira di dalam hidupnya. Hanya untuk gadis kecil itu.
Sepanjang hari Arzan hanya disibukkan oleh tiga hal, belajar, bekerja dan menjaga Akira. Bahkan untuk sekedar nongkrong bersama teman-temannya saja Arzan tidak punya waktu, Arzan terlalu khawatir jika meninggalkan Akira begitu lama. Apalagi akhir-akhir ini kondisi dia semakin memburuk.
Sampai teman-temannya mengatakan kalau Arzan terlalu protektif kepada Adiknya, mereka meminta agar ia juga memiliki waktu untuk menghibur dirinya sendiri, jangan terlalu memikirkan orang lain. Arzan hanya tersenyum menanggapi semua kata-kata itu, bagaimana lagi Arzan sangatlah menyayangi Akira.
"Sebelum peri kecil ku pergi, aku ingin menjadi orang terakhir yang bisa menyaksikan senyuman manis itu."
********
"Ciee, dapet bunga lagi bro? Udah yang keberapa nih, seratus?" goda Cakra kepada Arzan yang sekali lagi menemukan sebuket bunga di dalam lemari lokernya.
"Haahh, gue gak tahu," balas Arzan mendesah, hari demi hari dia mulai merasa bosan serta risih dengan semua kiriman bunga itu. Padahal, Arzan sudah mengatakan kepada mereka kalau ia hanya ingin berteman saja, untuk saat ini dia hanya mau fokus untuk menjaga adik perempuannya.
"Eits, ada suratnya juga tuh," tangan Cakra dengan sigap langsung mengambil sepucuk surat tersebut di dalam loker Arzan. Lalu membukanya dengan senyuman menyeringai.
"Oh Arzan," Cakra mulai membaca isi surat itu , yang ternyata adalah sebuah puisi.
"Cakra!" gertak Arzan sebab suara Cakra cukup keras dan sangat mendalami ketika membacanya.
"Diriku tahu, aku hanyalah sebutir debu kecil, dibandingkan Adik perempuan mu itu yang dirimu anggap bagaikan permata."
"Sebuket bunga mawar ini aku suguhkan, untuk meluapkan rasa cinta yang menggebu di dalam dada. Kalau bukan saat ini, mungkin suatu hari nanti dirimu juga akan membalas perasaan tulus ku ini."
"Bagus sih, cuman agak alay," Cakra menyodorkan kembali selembar surat tersebut kepada Arzan yang sudah bermuka masam.
"Lo punya malu gak sih?" Arzan menyahut selembar surat itu kasar, dan memasukannya kembali bersama buket bunganya ke dalam loker.
"Dulu punya sih, tapi sekarang kayaknya sudah putus."
"Bagus deh, kalau lo sadar diri," cibirnya.
"Arzan," panggil Cakra sambil melingkarkan lengannya pada pundak Arzan.
"Hm?"
"Pulang sekolah kita ngopi yuk! Gue juga ajak anak-anak lain biar makin rame."
"Gue gak bisa," balas Arzan menolak, Cakra menurunkan lengannya dari pundak Arzan, ia sudah biasa mendapat jawaban seperti ini darinya.
"Kenapa?" tanya Cakra walaupun dia sudah tahu apa alasannya.
"Ya apalagi Cak, gue harus jaga Akira di rumah, bentar lagi gue juga harus jemput dia pulang sekolah," balas Arzan.
"Sorry."
"Ck, udahlah bro, main sebentar apa salahnya juga sih? Gak sampai satu jam kok, ngobrol sama anak-anak satu kampus di warung atau cafe kan seru."
"Lo juga butuh waktu buat diri lo sendiri Ar, gak semuanya harus lo kasih ke dia. Lagipula Adik lo pasti ngerti kok, kalau Kakaknya lagi main sama temen-temennya."
"Hm," deham Arzan nampak berpikir, ini tidak seperti biasanya Arzan harus meninggalkan Akira untuk pergi bermain.
"Bro, ngapain harus dipikir segala sih? Udah, ayo ikut gue!" Cakra langsung menarik lengan Arzan agar ikut bersamanya, tubuh Arzan sedikit tertahan tetapi Cakra terus memaksanya, untuk hari ini tidak ada kata penolakan.
********
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, Akira sudah berdiri di depan pintu gerbang untuk menunggu kedatangan Kakaknya. Seraya terus-menerus berusaha untuk menghubungi laki-laki tersebut, akan tetapi handphone Arzan tidak aktif.
"Tumben Kak Arzan gak angkat telepon aku," heran Akira menatap banyak sekali panggilan tak terjawab di layar handphonenya, sudah sepuluh kali ia mencoba tapi tidak ada jawaban sama sekali.
Mungkin Arzan telah masuk ke dalam lubang yang dibuat oleh Cakra, tahu sendiri kan kalau sudah asik mengobrol? Yang semula katanya satu jam, nyatanya bisa sampai berjam-jam. Yang awalnya satu topik, bisa menjalar kemana-mana dan akhirnya lupa waktu.
"Ish, Kak Arzan ke mana sih?" sebal Akira memasukkan handphone nya ke dalam kantong rok seragam.
Akira mengedarkan pandangannya pada jalan di hadapannya, menoleh ke arah kanan dan kiri, mungkin saja kebetulan ada angkot ataupun becak yang melintas. Daripada lama menunggu kedatangan Arzan, Akira tidak mau kalau sampai nanti tinggal dia sendiri saja yang menunggu di depan sekolah.
Gadis itu memicingkan mata, terlihat tak jauh di depan sana, Genandra sedang berhenti di tepi jalan sambil menaiki sepeda motor ninja hitam, bersama seorang gadis cantik yang berdiri di dekatnya.
"Itu Kak Genan bukan?" Pikir Akira mencoba mencermati dengan baik-baik melalui kaca kacamatanya. "Kok berduaan sama cewek sih," kesal Akira, emosinya semakin memuncak ketika tangan Genandra mendarat di atas kepala gadis tak dikenal itu.
Semangat kak yok up lagi😗
Comment on chapter Mas fiksi lebih menggoda