Terdengar suara elektrodiograf memenuhi kamar pasien yang sunyi, nampak seorang gadis berkacamata bulat berparas cantik dalam kondisi terbaring lemah di atas kasur pasien.
"Kata dokter Akira mau meninggal ya Kak?" sebut saja dia—Akira Magenta Valencia, si gadis spesial pengidap kanker ganas yang tumbuh di dalam tubuhnya. Sebelum Akira pingsan, dia tadi sempat mendengar pembicaraan singkat antara Kakaknya bersama sang dokter.
"Enggak, kata dokter kamu sebentar lagi sembuh," jawab Arzan—Kakak laki-laki Akira, duduk di samping kasur pasien Adiknya sembari mengelus lembut kepala anak itu.
"Bohong, jelas-jelas tadi aku dengar sendiri dokter itu ngomong apa sama Kakak. Tubuh Akira yang sakit, tapi telinga aku gak tuli," ujar Akira meremas erat selimut yang membalut setengah tubuhnya.
"Haah," Arzan menghela napas panjang, menurunkan tangannya dari kepala Akira. "Adik Kakak pasti sembuh, dokter itu bukan Tuhan, jadi kamu gak perlu percaya sama omongan dia."
"Jangan bicara soal mati lagi ya Dek, walau Kakak ini cowok, tapi juga bisa nangis kalau soal begini," pinta Arzan menenggelamkan kepalanya dalam-dalam di tepi kasur pasien.
"Tenang aja, Kakak bakal kerja keras cari uang sebanyak-banyaknya, biar nanti kamu bisa cepat-cepat di operasi dan Akira gak bakal nahan sakit lagi," sambung Arzan tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan perasaan sedih itu dari sang Adik. Terkadang sebagai seorang Kakak, kita harus dituntut pura-pura kuat bukan?
"Haha, santai aja kali, Kakak takut banget kalau Akira pergi," tawa Akira, berusaha menghidupkan kembali suasana.
"Gimana Kakak gak takut, kalau kamu pergi siapa yang bakal bawelin Kakak lagi nanti?" gemas Arzan mencubit pipi chubby gadis itu.
"Sakit Kak! Gak kira-kira ih cubitnya," sebal Akira memegang pipi kirinya yang terasa panas.
"Bunda sama Ayah mana kak? Kok Akira gak lihat mereka datang?" tanya Akira tidak menemukan keberadaan kedua orang tuanya di sana.
"Bunda sama Ayah lagi ada urusan penting di luar kota katanya, tapi Kakak sudah kabarin kalau kamu sakit," balas Arzan.
"Gitu ya," Akira tersenyum kecut, "Bunda sama Ayah gila materi banget ya Kak, anaknya lagi sekarat aja gak diperduliin, apalagi kalau nanti Akira benar-benar pergi."
"Hush Akira, gak boleh ngomong begitu, Bunda sama Ayah itu sayang sama kita, bagaimanapun juga mereka pasti khawatir waktu dapat kabar kamu dirawat di rumah sakit," ujar Arzan.
"Sayang? Bahkan Akira butuh mikir dua kali, sebenarnya kita ini anak kandung mereka atau cuman sekedar anak pungut."
********
-Kantin sekolah.
"Ayolah bro, Mama lo sekolahin lo di sini pasti ada maksudnya, lo gak ada niatan gebet cewek satu gitu? Mumpung ada kesempatan," rayu Novan kepada laki-laki tampan bernama Genandra Mahavir Aditama, sibuk memakan semangkok bakso.
"Hm," deham Genandra tidak memperdulikan perkataan Novan.
"Udahlah Van, dari awal tadi sampai sekarang lo bahas terus soal cewek, gue jadi curiga apa jangan-jangan emang lo yang kebelet nikah," timpal Alam, kepada anak yang berjiwa buaya darat itu. Benar, sudah hampir lima belas menit laki-laki itu membahas tentang topik yang sama, apalagi kalau bukan soal wanita.
"Gue kayak gini nih karena perduli sama dia, kalau sifatnya Genandra dingin terus ke cewek, gimana dia bisa dapet jodoh nanti," balas Novan.
"Gue gak butuh cewek, cewek itu ribet," ketus Genandra lalu mengelap bibirnya dengan tisu.
"Kalau lo gak butuh cewek, terus gede nanti lo mau kawin sama siapa? Cowok? Yang bener aja lo, cakep-cakep otaknya miring," sahut Novan menanggapi perkataan Genandra sedikit emosi.
"Emang bener, cewek itu ribet, manja, egois, maunya menang sendiri, susah diatur, bawel."
"Dasar," batin Novan mengumpat, menatap kesal wajah dingin Genandra. Mentang-mentang ganteng sok-sokan ngatain cewek itu ribet.
"Hai Kak Genan!" tiba-tiba, terdengar suara sapaan dari seorang gadis yang berdiri tepat di samping tubuh Genandra, sambil membawa sekotak bekal makanan.
Atensi ketiga anak itu seketika beralih kepada siswi tersebut, terutama Genandra yang menatap gadis di hadapannya sekarang dengan tatapan tak suka.
"Ngapain lo ke sini?" dingin Genandra.
"Shht Gen, bukan gitu cara ngomong ke cewek," bisik Alam menepuk pelan punggung temannya itu, berniat untuk menegurnya.
"Aku kesini... ma-mau kasih ini buat Kakak," gugup Akira menyodorkan kotak bekal berisi makanan itu kepada Genandra.
"Lo gak lihat gue habis selesai makan?" balasnya, sekali lagi tanpa memikirkan perasaan Akira sama sekali.
"Gen, selow aja kali. Akira niatnya bagus mau kasih lo makanan gratis," tegur Novan.
"Ra sini! Duduk sama kita. Enggak apa-apa kok gak usah takut," sambung Novan lembut, seraya menepuk-nepuk tempat duduk kosong di sampingnya.
Akira tersenyum simpul melihat perlakuan baik Novan kepada dirinya, tanpa membuang kesempatan Akira pun melangkahkan kakinya untuk duduk di samping laki-laki itu, akan tetapi seketika Genandra langsung berdiri dari tempat duduknya.
"Gak perlu," sahut Genandra seraya berdiri. "Gue mau pergi, ogah gue harus satu meja sama cewek pengganggu macam dia," sarkas Genandra diakhiri dengan tatapan sinis yang tertuju kepada Akira.
Kepala gadis itu menunduk kecewa, membiarkan Genandra menyenggol kasar pundaknya, membuat tubuh mungilnya sedikit terdorong ke belakang.
"GENANDRA!!!" teriak Novan kepada Genandra yang mulai menjauh meninggalkan area kantin.
"Akira, lo... lo gak kenapa-kenapa kan?" tanya Alam khawatir, selepas menyaksikan perlakuan tidak mengenakkan tadi.
"Ra," panggil Novan merasa empati, sebab sedari tadi Akira hanya diam mematung di tempat.
"Memang aku salah ya Kak sudah suka sama kak Genandra?" tanya Akira dengan bola mata berkaca-kaca, pertanyaan itu ia tujukan kepada Alam dan Novan.
"Enggak kok Ra lo gak salah, gak ada yang nyalahin lo suka sama dia," jawab Alam.
"Mungkin dia lagi ada masalah aja, makanya gampang emosian," sambungnya.
"Owh, yaudah nih Kak!" balas Akira lemas, menaruh kotak bekal makanan itu di atas meja.
"Itu bekalnya buat Kak Novan sama Kak Alam aja, Akira udah susah-susah buatnya takut gak kemakan."
"Beneran buat kita Ra?" senang Novan tak percaya. "Makasih ya Ra, lumayan nih makanan gratis, mana gue masih laper lagi."
"Iyah buat Kakak, kalau begitu Akira pamit dulu ya Kak, mau balik ke kelas," pamit Akira lalu berbalik badan dan berjalan pergi meninggalkan kantin.
"Novan!" bentak Alam.
"Lo keterlaluan banget sih, anak orang lagi sedih bukannya ditenangin malah sibuk ngurusin makanan."
"Makanan is number one Lam, lihat wuuuiihhh ini beneran Akira yang bikin sendiri? Enak banget, coba aja itu cewek sukanya sama gue. Gue bakal betah makan ini tiap hari."
"Serah lo Van, capek gue," pasrah Alam.
Semangat kak yok up lagi😗
Comment on chapter Mas fiksi lebih menggoda