Loading...
Logo TinLit
Read Story - Depaysement (Sudah Terbit / Open PO)
MENU
About Us  

Bagian 1 - Denial

 

Depaysement. Sebuah kata yang berakar di Prancis. Arti dari kata itu adalah perasaan campur aduk yang muncul ketika seseorang tiba di sebuah tempat baru yang jauh dari rumah. 

 

Rumah. Sebuah kata yang memiliki banyak makna. Rumah bisa jadi sebuah tempat, seseorang, bahkan sebuah benda, mati ataupun hidup. Ketiadaan 'rumah' berarti kehilangan. Jarak dari 'rumah' berarti asing. Depaysement bukanlah sebuah kata untuk menunjukkan perasaan, ia adalah kata untuk menunjukkan fakta.

 

Namun, sejauh apa pun kita dari rumah, sekosong apa pun perasaan kita jika rumah itu hilang, secara takdir seluruh umat manusia punya setidaknya satu rumah yang stabil dan tetap.

 

Waktu. 

 

Kita semua terkekang oleh waktu. Oleh kehidupan dan kematian. Itulah yang membuat kita takkan bisa merasa asing atau kehilangan, karena sejauh apa pun kita melangkah, kita tak bisa melawan alur waktu. Jeda di antara kelahiran dan kematian itulah rumah sesungguhnya di dunia. 

 

Jadi bagaimana jika seseorang lahir di luar batas waktu itu? 

 

Awal kisah ini tidaklah sedramatis yang mungkin kalian duga. Orang yang dimaksud tidak lahir di luar angkasa atau menetas dari telur raksasa peninggalan dewa. Orang ini dilahirkan sebagai buah dari perkawinan di antara seorang pelaut dan seorang pedagang, pada tahun 1500-an, di pesisir kerajaan Sunda, di tanah yang nantinya akan dikenal dengan nama Indonesia. 

 

Namun buah di pohon tak selalu tumbuh sendiri. Sang ibu sama sekali tak menyangka akan mengandung lalu melahirkan sepasang anak kembar. Kedua-duanya berwajah sendu meski tertawa ketika melihat wajah ayah mereka untuk pertama kali. Berdasarkan dengan urutan waktu kelahiran mereka yang hanya terpaut sepuluh menit, si sulung diberi nama Aniara sementara adik kembarnya dinamai Diya. 

 

Sang ibu pun sama sekali tak menyangka akan memiliki seorang anomali sebagai salah satu anaknya. 

Diya mendongak dari lembaran naskah yang dibacanya dengan dahi berkerut. 

 

"Bagaimana?" desak Asa yang duduk di sisi lain meja perpustakaan yang memisahkan mereka. 

 

"Entahlah, menurutku ini terlalu dramatis. Makna kata dépaysement tidak mungkin sedalam itu," kata Diya sambil meletakkan naskah di atas meja. "Lagipula ejaanmu salah, apa kau bahkan fasih bahasa Prancis?" 

 

"Tidak," kata Asa penuh percaya diri. Ia meraih naskahnya dan membalik-balik halamannya. "Apa tadi keluhanmu, terlalu dramatis?"

 

"Ya. Menurutku, kau tidak perlu membuat awal ceritanya serumit itu. Cukup jelaskan saja kelahiranku– kelahiran kami," Diya segera mengoreksi perkataannya sendiri. Dari seberangnya, Asa menatapnya dengan pandangan yang dengan mudah berarti 'apa-kau-bodoh'. 

 

"Aku memang tidak perlu membuat deskripsi yang … 'rumit' seperti katamu, tapi aku mau membuatnya seperti itu," bantah gadis itu. "Lagipula, sentuhan romantisisme selalu bisa membuat cerita menjadi lebih artistik." 

 

Diya menghela napas. "Kau dan romantisismemu itu…," gumamnya. "Apa gunanya optimisme yang berlebihan, Asa? Pada akhirnya, toh semua manusia pasti akan merasa kecewa." 

 

Asa menyeringai dan menuding wajah Diya dengan pena. "Di situlah kau salah! Romantisisme bukan optimisme. Romantisisme adalah fokus pada emosi yang ada pada objek yang hadir sekarang di depan matamu, sedangkan optimisme berhubungan dengan harapan. Optimisme adalah berharap besok tidak hujan. Romantisisme adalah mencari sentimentalisme di balik hujan sekarang," katanya penuh kemenangan. 

 

Diya membuka mulut untuk mendebat, tetapi Asa sudah lebih dulu membuka tutup pena dan botol tinta, lalu mengeluarkan buku catatan kepercayaannya dari dalam tas. 

 

"Kita kembali ke ceritaku. Sekadar tambahan, aku tidak akan mengubah apa-apa jika keluhanmu masih tentang gaya menulisku," kata Asa sambil mencoret beberapa kata dan menambahkan catatan di pinggir halaman. Ia mendongak untuk menatap Diya lagi. "Bagaimana kelanjutan ceritamu?" 

Anomali itu tidak terdeteksi pada awalnya, karena kedua saudara kembar itu tumbuh bersama layaknya anak-anak biasa di sekitar mereka, dengan segala kebodohan dan kepolosan anak-anak yang memikat hati semua orang. 

 

Tak lama setelah kelahiran mereka, menyebar kabar bahwa ada penjelajah asing yang menepi ke sisi lain Nusantara untuk mencari rempah-rempah. Ini adalah awal dari tahun-tahun gelap tanpa harapan, tetapi tak ada yang tahu itu, termasuk sang anomali. Para penjelajah asing itu pun konon disambut dengan tangan terbuka. 

 

Di daerah tempat Diya dan Aniara tinggal, kabar itu tidak terlalu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Mereka bertani, berlayar, dan berdagang seperti biasanya. Diya, si bungsu yang penuh rasa penasaran, sering melesat ke sana kemari untuk mencari tahu bagaimana cara menanam padi yang benar atau belajar cara mengembangkan layar perahu kecil. 

 

Berkebalikan dengannya, si sulung tak selalu tertarik bergerak untuk menghampiri orang-orang. Ia senang menonton pertunjukan seni yang terkadang digelar di lapangan-lapangan luas, tetapi di samping itu dia lebih sering menyendiri, menggoreskan bentuk-bentuk yang hanya dimengerti olehnya di tanah berpasir atau kulit pohon. 

 

Meskipun begitu, kedua orang tua mereka tidak khawatir, karena Diya selalu menemani dan menarik Aniara untuk bermain dan menjelajah bersama. Setiap hari mereka membiarkan kedua saudara itu pergi keluar di pagi hari setelah sarapan, lalu sepulang bekerja menemukan keduanya terbaring di teras rumah, kotor dan kelelahan dengan pedang kayu tercecer di sekitar mereka. 

 

Tidak ada anomali. Hanya sebuah keluarga biasa yang tidak menarik banyak perhatian. 

 

Setidaknya, sebelum kerajaan mereka diserang.

 

Ketika pertempuran pecah, Aniara dan Diya telah cukup umur untuk dianggap dewasa oleh hukum adat di daerah mereka, meski kepala dua pun mereka belum sampai. Oleh karenanya mereka dipercaya untuk mampu ikut bertempur bersama sang ayah untuk membela teritori yang hendak direbut. 

 

Pada 1579, ibukota kerajaan tanah kelahiran mereka, Pakuan Pajajaran, berhasil direbut oleh pihak penyerang. Palangka Sriman Sriwacana diusung dari istana, sebagai tanda Pakuan Pajajaran takkan bisa menobatkan pemimpin baru. 

 

Ayah mereka gugur dalam peperangan, dua minggu sebelum perebutan singgasana. Aniara– 

 

Diya hidup. Sebilah belati telah dihunuskan ke dadanya, tepat di mana jantungnya berdetak, tiga hari sebelum perebutan singgasana. Aniara telah menunduk, setengah bersujud di atas Diya yang terbaring seakan melindunginya dari serangan lain. 

 

Lalu belati itu dicabut dan pendarahan berhenti seketika. Tak ada kerusakan sama sekali baik di lapisan terdalam otot maupun di lapisan terluar kulit. 

 

Karena takjub bercampur terkejut, Aniara membeku di tempatnya terduduk dengan belati berlumur darah di tangan dan seorang saudara yang masih hidup, sehingga ia tidak bisa menghindari sebuah– 

 

Begitulah. Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah Diya, yang terseok-seok kembali ke rumah dan didekap oleh ibunya penuh sayang, sembari air mata bertetesan ke lantai kayu. 

 

Diya tidak memberitahu ibunya bahwa seharusnya, tak ada yang bisa pulang untuk disambut. 

 

Sekian purnama setelahnya, sang ibu meregang nyawa karena sebuah penyakit yang, pada masa itu, tidak memiliki obat. Pemandangan makam ibunya sepenuhnya melenyapkan sentimen 'rumah' dari tempat itu. Diya pun pergi, menyeberangi lautan selama berhari-hari hingga ia sampai ke tepian Selatan pulau Kalimantan.

 

Ia membangun kehidupan baru di sana  sebagai salah satu nelayan yang bekerja di bawah seorang pengusaha pangan ikan. Ia melaut, melaut, dan melaut mencari ikan ketika matahari menunjukkan tanda-tanda hendak terbenam setiap harinya. Terkadang, jika ia disuruh menjual ikan ke pulau lain, ia akan dibayar lebih oleh orang-orang yang ingin diantar ke Kalimantan.

 

Perlahan, lupalah ia tentang keajaiban yang menyelamatkannya dari renggutan kematian. Setelah sekian lama tanpa ada kejanggalan di dalam hidupnya, kejadian itu ia anggap sebuah kebetulan, sebuah tanda bahwa meski ia telah berada di ambang kematian, takdirnya belum berakhir di sana.

 

"Uy, ada nang mencari'i nyawa tu nah," sapa Udin, rekan kerjanya sesama nelayan, sambil menuding ke arah sekumpulan orang yang berdiri mengelompok di dermaga. 

 

"Handak be'apa?" tanyanya, logat Banjar masih bercampur dengan Sunda di lidahnya layaknya kopi bercampur susu. 

 

Udin mengangkat bahu. "Tahu. Handak menyabarang kalo.

 

"Ayuha. Makasih, Din.

 

Udin hanya melambai dan kembali mengutak-atik jaring ikan di kapal. Diya turun dari perahu dan menghampiri orang-orang yang tadi ditunjuk Udin. 

 

Salah seorang dari mereka mengangkat kepala dari makanan di tangannya dan tanpa sengaja bertemu mata dengan Diya. 

 

Rasanya seperti melihat ke dalam cermin. 

*

Pada awalnya, itu terasa seperti sebuah mukjizat, sebuah berkah, bahwa Aniara terlahir kembali. (Ia jadi lebih muda dari Diya dan itu membingungkan, tapi Diya belajar untuk tidak banyak protes.)

 

Mereka kembali bersama, tinggal serumah dan bekerja layaknya keluarga. Aniara tidak begitu suka bekerja sebagai nelayan, sehingga ia memilih untuk bekerja di bagian pengolahan produk saja. Hidup mereka lengkap dengan adanya satu sama lain. Diya memutuskan untuk tak mempertanyakan bagaimana Aniara bisa terlahir kembali, khawatir bahwa pertanyaannya akan dianggap sebagai keluhan dan saudaranya akan direnggut lagi dari sisinya. 

 

Berkah itu berakhir ketika tahun demi tahun berlalu dan….

 

Diya tidak menua. 

 

Uban mulai tumbuh di antara rambut hitam Aniara. Kerut-kerut mulai muncul di wajahnya. Ia mulai sensitif dengan perubahan suhu dan kecepatan kerjanya berkurang drastis. 

 

Diya tak berubah sama sekali, seakan tubuhnya terjebak di fisik berumur 28 tahun tanpa uban, tanpa keriput, tanpa ada tanda-tanda melemah pada rangka tubuhnya.

 

Aniara mati untuk yang kedua kalinya karena usia tua. Ia menutup mata dengan damai di atas tempat tidurnya, dengan satu tangan digenggam erat oleh Diya. Selama ini tak ada di antara mereka yang menyinggung kejanggalan yang berlangsung dan sekarang pun keduanya tetap bungkam. 

 

"Biarkanlah menjadi rahasia Tuhan," kata Aniara pada tahun 1606, tanpa memandang ke arah Diya. Pelabuhan yang ramai seakan membentuk sebuah gelembung yang memisahkan mereka dari kerumunan.

 

"Kalau Tuhan memang ada," balas Diya, yang sudah berumur seratus tahun lebih sedikit. Dalam selang waktu itu, Aniara telah mati dan lahir kembali dua kali lagi. Setiap kali, Diya berdoa bahwa Aniara akan tetap bersamanya. 

 

Setiap kali, tak ada yang mendengarkan. 

 

Pada tahun 1653, Aniara mati karena sebuah kecelakaan nahas di tempatnya bekerja. Diya mencoba, untuk pertama kalinya, mengakhiri hidupnya sendiri dengan harapan bisa menyusul Aniara. 

 

Keesokan paginya, ia terbangun dengan tubuh tak bercela dan perasaan kosong yang dingin di dalam dada. Ia terkesiap, lalu menangis. 

Asa mengetukkan jari ke meja dengan tak sabar. "Bagaimana?" 

 

Diya meletakkan naskah di atas meja dengan perasaan bercampur aduk. Membaca kisah hidupnya dibumbui dengan prosa dan majas membuat semuanya terasa asing tetapi kelewat personal pada saat yang bersamaan. 

 

"Bagus," ucapnya sambil menghembuskan napas panjang. Ia berdiri. "Aku mau menyeduh teh." 

 

"Oo, buatkan aku teh melati!" pinta Asa tanpa tahu malu sambil menarik kertas-kertas naskah ke dekatnya untuk ditelaah ulang. "Bagian selanjutnya yang harus kutulis … ah." 

 

Diya tak menghentikan langkah menuju dapur. Ia tahu bagian hidupnya yang mana yang akan ditulis Asa selanjutnya. Jika ia harus mengingat kejadian itu lagi….

 

… Ia butuh banyak teh. 

Bagian 2 - Anger

 

'Pada awalnya'. Cerita ini akan sering dimulai dengan dua kata itu, karena dunia terus berputar dan dengan bergulirnya hari, perubahan pun tak ayal menghampiri. 

 

Sejauh ini, perubahan yang terjadi di kehidupan Diya nyaris tidak pernah baik. Setelah percobaan bunuh dirinya yang pertama, ia tidak pernah mencoba lagi. Suatu perbuatan sia-sia yang diulang adalah tanda kegilaan … atau apalah kata orang. 

 

Sejauh ini, satu-satunya hal yang menjadi tanda rasa iba dan uluran tangan dari takdir padanya yang berada di dasar sumur gelap adalah kenyataan bahwa meskipun ia harus menyaksikan Aniara – dan orang-orang lain di hidupnya, demi Tuhan – mati lagi dan lagi, setidaknya Aniara selalu kembali dan mencarinya agar mereka bisa bersama lagi. 

 

Sejauh ini, kehidupan berlangsung … baik, dalam artian paling minimal. 

 

Lalu Aniara tidak ingat padanya. 

 

"Ah–? Maaf, anda siapa? Kenapa anda kelihatan mirip dengan…?" tanya Aniara ketika mereka bertemu untuk yang kesekian kalinya. Ekspresinya penuh kecurigaan, emosi yang tak pernah sekali pun diarahkan Aniara padanya sebelum ini. 

 

Jantung Diya mencelos. Pikirannya kosong karena syok dan ia hanya mampu memberikan penjelasan dengan gagap. 

 

Untungnya, itu baru kali pertama. Setelah penjelasan singkat, Aniara mengingat kehidupan-kehidupannya yang lalu tanpa ada kerumitan. Rasa lega yang dirasakan Diya sama tak terbendungnya dengan banjir bandang. 

 

Namun secercah ketakutan tumbuh di hatinya. Bagaimana jika ini bukan kesalahan yang terjadi satu kali? Bagaimana jika, setelah ini, Aniara akan lupa padanya dan ia harus bersusah payah mencari dan mengingatkannya?

 

Dan karena ia dibenci oleh kehidupan, ketakutannya itu menjadi nyata. (Ia tak mau berpikir terlalu lama tentang harapannya yang tak pernah terkabul. Mungkin kondisinya yang tak bisa mati ini adalah cacat dari Yang Di Atas dan cukup keberadaannya saja dianggap dosa. Mungkin. Sekali lagi, ia tak mau memikirkannya.)

 

Sejak saat itu, setiap kali Aniara terlahir kembali, ia tidak punya ingatan tentang Diya sama sekali. Lebih dari sekali, ia justru menganggap Diya hantu atau orang sinting dan kabur. Setiap kali itu terjadi, retakan sehalus rambut muncul di hatinya. 

 

(Dia tidak mengatakan apa-apa ketika Aniara ingat, terbutakan kegembiraan karena ia berhasil mendapatkan saudaranya kembali. Ia tidak mengatakan apa-apa tentang keputusasaannya, tentang tangisannya, tentang kesedihannya. Semua itu ia simpan di dalam hati, dibiarkan semakin lama semakin panas sampai mencapai titik didih.)

 

"Maaf lah, pian siapa?" 

 

(Yang terjadi ketika kau memasukkan terlalu banyak air ke dalam panci yang dipanaskan adalah ketika ia mendidih, ia akan meluap.) 

 

Kemarahan yang terakumulasi selama lebih dari seratus tahun itu tidak meluap secara tiba-tiba karena tanda-tandanya selalu ada selama beberapa tahun terakhir, tetapi rasa panas dan irasionalitas yang memenuhi indera Diya malam itu terasa seperti sebuah tamparan keras ke wajah. 

 

Dunia di sekelilingnya mulai kacau, dengan pihak-pihak Eropa yang mulai berulah semena-mena. Dunianya sudah kacau sejak lama. Sedikit sekali hal di hidupnya yang berjalan dengan benar dan–

 

Ia marah. 

 

Apa kau tahu, suara-suara tak bertubuh yang menyuruhmu untuk menikam dirimu sendiri dan keluargamu ketika kau sedang memegang sebilah pisau? Biasanya, akal sehat akan menyuruhmu menjauhkan pisau dan menenangkan diri dari pikiran-pikiran intrusif itu. 

 

Malam itu, suara akal sehat Diya hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Itu pun jika bahkan masuk. Kedua telinganya berdering amat keras meski malam di sekitarnya sesunyi pemakaman. 

 

Cocok, pikirnya kalut. Cocok

 

"Kalian benci padaku, 'kan," gumamnya sambil membuka pintu kamar Aniara yang tidak dikunci. "Itu kenapa semua ini terus berulang seperti lingkaran setan." 

 

Ia berlutut di sebelah tempat tidur Aniara dan meletakkan mata pisau di atas dadanya, tepat menuju jantung. Bilahnya berkilau kena cahaya rembulan. 

 

Namun bilah itu tak pernah menghujam. Aniara menggumam pelan, mengigau dalam tidurnya, dan Diya membeku. Api di dadanya mendingin. Ia mengangkat pisaunya dan meletakkannya di pangkuan. Tidur Aniara tak terganggu, masih selelap anak kecil. 

 

Mungkin … mungkin mengakhiri nyawa Aniara dengan tangannya sendiri akan bisa memutus lingkaran setan ini, tapi…

 

Diya menarik napas tajam, baru menyadari wajahnya bersimbah air mata. 

 

Ia berdiri dan melangkah keluar dari kamar Aniara tanpa suara, membawa keluar pisaunya bersamanya. 

*

Seakan telah menyaksikan dosa yang hampir diraup Diya malam itu, takdir memberikan seseorang yang lahir untuk Aniara semata di kelahirannya yang berikutnya. 

 

Nama belakang orang itu selalu berbeda setiap kali ia terlahir kembali. Bagaskara, Mahendra, Saputra, dan banyak lagi. Tapi nama depannya selalu sama. Dirgarama. Dirga, Aniara memanggilnya. Rama, Diya berkeras hanya untuk membuat Aniara kesal. 

 

Rama adalah teman yang sempurna untuk Aniara, seakan ia diciptakan khusus untuknya. Ia bukan manusia abadi, tetapi ia selalu terlahir kembali sehingga ia bisa menemani Aniara tanpa perlahan-lahan menjadi gila karena terjebak waktu seperti Diya. Rama takkan mencoba menikam Aniara saat tidur, itu sudah pasti. 

 

Alih-alih iri, Diya merasa … lega. Kekosongan di dadanya semakin membesar, tetapi ia lega karena Aniara tak lagi sendirian dalam anomalinya. Ia tak lagi….

 

… sendiri….

Asa menekankan pena miliknya ke kertas untuk memberi titik dan bergerak hendak menyerahkan naskahnya pada Diya. "Bagian kedua selesai. Ini, baca–" 

 

Diya menahan tangan gadis itu dan menggeleng. "Yang ini tidak perlu kubaca. Anggap saja sudah bagus," katanya. 

 

Asa memutar mata tapi tidak memaksa Diya untuk mengambil naskahnya. "Terserahmulah. Kalau nanti bukuku sudah terbit dan kau sudah berani membaca bagian ini, jangan mengeluh padaku," katanya. Ia mencelupkan ujung pena ke dalam botol tinta dan kembali menunduk untuk menulis.

Bagian 3: Bargaining

 

"Negeri ini sedang kacau-kacaunya, ya," kata Rama sambil meniup teh panas. "Kesultanan Banten dihapuskan, sudah dengar?" 

 

"Sudah," balas Diya. "Daerah kita baru saja dilepas … sekarang tinggal menunggu diserang lagi." 

 

"Kau tidak khawatir?" 

 

Diya mengisi ulang cangkirnya. "Tentu saja khawatir. Kalau ada perang lagi, Aniara akan mati lebih sering dari biasanya." 

 

Sebelah alis Rama naik. "Ah? Jadi kekhawatiranmu tidak ada sangkut pautnya dengan tempatmu tinggal?" tanyanya. Bisa saja ia bergurau, tapi Diya tak pernah pandai membaca orang dari cara mereka bicara. 

 

"Aku sudah hidup terlalu lama untuk percaya bahwa sebuah tempat dan kekuasaannya bisa permanen," kata Diya. 

 

"Aniara juga tidak permanen, tapi aku masih sering mendengarmu memohon macam-macam pada Yang Di Atas," balas Rama, tajam dan menohok seperti biasanya. 

 

Diya mengedikkan bahu dan meneguk teh, membiarkan topik percakapan itu lenyap seperti uap teh di udara.

 

"Kau sudah dengar tentang penyakit baru yang muncul di sekitaran Jawa itu?" tanya Rama setelah beberapa saat. 

 

"Sudah. Dehidrasi parah?" 

 

"Mhm." Rama akhirnya mengangkat kepala agar mata mereka bertemu. "Apa yang akan kau tawarkan demi kesehatan Aniara, Diya?" tanyanya, jelas mengejek.  

 

Diya, lagi-lagi, menghirup teh dan tidak menjawab. 

 

(Jantungnya berdebar keras. Rasa takutnya terhadap penyakit baru tidak pernah hilang sejak … oh, tiga ratus tahun yang lalu, mungkin, ketika Aniara untuk pertama kalinya mati karena sakit.)

*

"Apa yang akan kau tawarkan demi kesehatan Aniara, Diya?"

 

Apa saja. Semuanya. Karena orang beruntung seperti Rama yang bisa menemani Aniara dalam kematiannya tidak akan mengerti bagaimana rasanya–

 

(Sendirian.)

 

Diya kadang bertanya-tanya apakah kekosongan di dalam hatinya sekarang disebabkan oleh malam itu, ketika seluruh emosi yang dipendamnya meluap begitu hebat dalam semenit. Apakah … apakah meluapnya begitu banyak? Itukah kenapa ia…?

"Oh hei, kerutan di dahimu hilang! Ada bagian tertentu yang kau sukai?" desak Asa, menjeda acaranya menggasak sepiring spekuk yang disediakan Diya dengan susu panas. (Ia suka teh, tapi susu menetralkan racun, jadi ia sedikit berharap dengan dicekoki susu Asa akan jadi sedikit lebih normal.)

 

"Alinea terakhir ini bagus," ujarnya. "Dengan memberi banyak pengulangan pada kata-kata 'kosong' dan 'meluap', aku – yah, karakterku – akan terbaca seperti sebuah teko. Bukan teko harfiah, tentu saja. Tapi aku suka itu. Menarik." 

 

"Oho, kau mulai terdengar seperti aku," kata Asa sambil nyengir.

 

"Amit-amit," gumam Diya. Ia mengembalikan tumpukan kertas beserta buku catatan itu pada Asa. "Yang aku tidak paham, kenapa kau mengulangi kata 'sendiri'?" 

 

"Kau lihat saja nanti," jawab Asa berlagak misterius. Ia membersihkan tangan dari remah kue sebelum kembali mengangkat pena. 

Aniara mati karena kolera, tak lama disusul oleh Rama yang kecelakaan di laut. Keduanya lahir kembali nyaris bersamaan, tepat beberapa bulan sebelum pihak Belanda menaikkan seseorang yang tak berhak ke takhta kesultanan. 

 

Diya meramal terjadinya perang sebelum ia dimulai. Suasana sudah memanas di jalan-jalan kota, dengan protes terarah pada pemimpin baru yang dipunggungi penjajah. 

 

Ia tak tahu agama mana yang dianutnya. Ini adalah konflik batin yang kerap mengganggu pikirannya jika ia tidak sedang mengkhawatirkan Aniara. Ia telah menyaksikan pergantian agama secara massal yang terjadi, tetapi setelah melihat pergantian-pergantian itu, ia … tidak yakin, harus percaya dengan yang mana. 

 

Kendati begitu, ia tetap berdoa, berharap diberi keringanan atas keraguan dan kebimbangannya. 

 

Ketika perang pecah, doanya berubah menjadi tawaran dan penyesalan. 

 

"Seandainya aku membunuhnya dulu, dia tidak harus tersiksa, bukan?" 

 

"Seandainya dulu aku mati pada waktu itu, semua ini tidak akan terjadi."

 

"Apa ada yang bisa kulakukan untuk menghentikan semuanya? Apa saja. Berikan aku satu hal. Kumohon, pasti akan kulakukan."

 

Perang terus berkecamuk tanpa ada tanda-tanda akan berhenti di cakrawala. Sementara itu, ratapan Diya tak digubris.  

 

Mereka bertiga tak ayal ikut perang. Mau bagaimana lagi? Se-apatis apa pun Diya, ia tak tahan jua melihat orang di sekitarnya didesak oleh para penjajah. 

 

Setiap malam, jika mereka memiliki waktu beristirahat di antara serangan demi serangan, Diya akan menggumamkan sebuah lagu lama. Ibunya dulu sering menyanyikan lagu itu untuk menidurkan dirinya dan Aniara. Lirik lagu itu sudah lama tak bisa ia ingat, tetapi nadanya masih melayang lembut di dalam kepala. 

 

"Lagu apa itu?" tanya Aniara, yang tak pernah sekali pun ingat tentangnya sejak pertama kali ia bereinkarnasi. 

 

"Judulnya 'Windu'," Diya mengarang, karena satu-satunya detail yang diingatnya tentang lagu itu adalah ibu mereka mulai menyanyikannya sejak umur mereka delapan tahun. 

 

"Windu," ulang Aniara pelan sambil menggoreskan sesuatu di tanah dengan jari. "Nyanyikan lagi?" 

 

Diya bersenandung lagi, pelan, agar hanya mereka yang mendengar. 

 

Kematian Aniara dan Rama adalah sesuatu yang tak bisa dihindari. Perang berlangsung selama hampir lima puluh tahun. Keduanya mati dua kali dalam rentang waktu itu. Setiap kali, Diya melihat jasad mereka lenyap, entah dibuang atau rusak kena serangan musuh. 

 

Ketika Aniara selanjutnya kembali ikut perang (yang semakin lama semakin tidak seimbang kepada sisi mereka) ia berumur belasan tahun. Tujuh belas, mungkin, atau enam. 

 

Melihat saudara kembarmu jauh lebih muda darimu adalah sesuatu yang– aneh. Bukan hanya aneh. Rasanya seperti garis cakrawala dimiringkan beberapa derajat. Janggal. Asing. 

 

Lalu Aniara menjerit kesakitan ketika Diya menceritakan tentang kehidupannya yang lalu kepadanya dan Diya hanya mampu berdiri di sana, terdiam dalam horor menonton saudaranya menangis dan menjerit di tanah yang bersimbah darah. 

 

"Aku menduga otaknya tidak dibuat untuk mengingat memori sebanyak itu, jadi jika kau paksa menceritakan semuanya padanya, ia akan semakin kesakitan," kata Rama. "Aku tidak pernah ingat kehidupanku yang sebelumnya, cuma tahu dari cerita-ceritamu, jadi aku rasa aku aman."

 

"Kalau begitu kenapa dia terus bereinkarnasi?" tanya Diya lelah. "Kalau dia tidak bisa mengingat apa-apa, kenapa dia…?"

 

Rama meringis dan mengangkat bahu. "Entah, ya." 

 

Kosong. 

 

Dingin. 

 

Sendirian

*

Bagian 4: Depression 

 

Keadaan semakin … memburuk. Perang yang seakan tak berkehabisan tentu memiliki akhir, tetapi hanya bagi pihak yang beruntung. 

 

Mereka tidak beruntung. 

 

Tak lama setelah kesultanan Banjar dihapus oleh penjajah, salah satu pemimpin perlawanan gugur kena penyakit menular. Perbudakan dan kegiatan gerilya meningkat drastis – begitu juga dengan kematian. Berita yang datang dari luar juga tidak mengenakkan hati. Banyak daerah yang keadaannya jauh lebih buruk dari mereka, meskipun tanda-tanda pemberontakan masih bercokol di berbagai tempat. 

 

Diya mati rasa. Asap berdebu yang menyakiti wajahnya tak terasa mengganggu, begitu pula dengan tanah di bawah kakinya yang tak rata karena ... yah. Luka-luka yang tertoreh di tubuhnya lenyap secepat munculnya dan Diya tak pernah lagi merasakan sakit. 

 

Tentu, ada denyut tajam di antara kekosongan di dalam dadanya. Tapi, denyut dan kekosongan itu sudah sejak lama ada di sana, berakar seperti pohon bakau yang keras kepala, menyerap semua emosi Diya sehingga yang ia rasakan hanya dingin. 

 

Aniara tak lagi bisa diingatkan tentang masa lalu mereka tanpa kesakitan dan hal terakhir yang diinginkan Diya adalah menyakiti Aniara lebih jauh di dalam keadaan yang sudah seburuk ini. 

 

"Ingatkan aku," pinta Aniara suatu saat, setelah ia pulih dari sakit kepala parah yang membuatnya harus menyingkir ke tepi jalan. Ia mencengkeram bahu Diya begitu erat. Diya tak merasakan apa-apa. "Ingatkan aku di kehidupan selanjutnya. Jangan kau biarkan aku melupakan semuanya." 

 

Diya mengangguk, tetapi hati dan kepalanya menanyakan hal yang sama: Untuk apa? Apa gunanya? Toh kau hanya akan kesakitan, lalu mati lagi dan mengulangi semuanya. Untuk apa kau ingat, kalau begitu?

 

"Iya," katanya, dan seandainya kebohongan bisa menjadi luka, ia sudah akan bersimbah darah di tanah. 

 

Maka ia berhenti. Ia berhenti mencari Aniara ketika ia terlahir kembali. Ia berhenti mengingatkan Aniara. Ia hanya … berhenti. 

 

Perbudakan dihapuskan selagi ia tidur dengan kain menutupi jendela. Perangko Hindia Belanda pertama diterbitkan di Nusantara ketika ia memperhatikan keadaan suram di luar rumah. Letusan gunung Merapi menggetarkan tanah Jawa, sementara dirinya tengah duduk di bawah naungan pohon di hutan kecil yang tak pernah dikunjungi orang lain, menutup mata dan telinga. 

 

Ia hanya berhenti. 

 

Namun ternyata berhenti jauh lebih menyakitkan dari yang ia duga. 

 

Ketika putaran dunia di sekitarnya terasa kabur karena dirinya yang stagnan, Aniara selalu berdiri di sudut matanya – berpapasan di jalan, nyaris bertabrakan di depan toko, mendengar namanya diteriakkan di jalanan – sebuah konstan di antara dunia yang berlalu bagai angin ribut. 

 

Berjalan kembali mendekati konstan terasa seperti berusaha berjalan menuju ujung terowongan yang masih jauh, sedangkan dirimu sudah berdarah-darah, terseok di tengah jalan. Namun tidak kembali pada konstan itu terasa– 

 

Menyakitkan. Diya rasanya ingin menangis terus dan menikam dirinya sendiri dengan tangan kosong. Rasa sakit itu jauh lebih buruk daripada kekosongan yang ia rasakan sebelumnya. 

 

Berhenti dan teridam bukan lagi pilihan. Maka, meskipun ia masih belum ikhlas – ia ragu ia akan mampu ikhlas bahkan di masa depan – Diya berusaha berdiri, berusaha bergerak, meski hanya seujung jari saja. 

 

Ia mungkin masih tidak mampu menghadapi Aniara, mengenal Aniara, menemui Aniara, tetapi ia masih bisa mengawasi dari jauh. Ia masih bisa mencoba menjalin kembali ikatan mereka, helai demi helai. 

 

Maka, ketika bisnis daun teh melonjak dan Diya telah bekerja di salah satu perkebunan, ia tak pernah absen mengirimkan sekantung atau dua kepada Aniara dan Rama, berharap mereka merasakan ketenangan dan kenikmatan yang sama dengan yang ia rasakan ketika meminumnya. Berharap mereka bisa merasakan kasih sayangnya pada setiap hirupan uap teh. 

 

Ketika Aniara terlahir dengan saluran pernapasan yang lemah dan menderita asma, Diya rutin mengirimkan rokok kretek berisi cengkih, sebuah temuan baru dari Jawa yang bisa digunakan untuk mengatasi gejala asma. 

 

Ketika Rama membawa Aniara pindah ke Jawa, kota di mana revolusi berpusat, Diya mengikuti mereka di kapal yang sama, menjaga jarak. 

 

Hatinya akan selalu sakit melihat Aniara menua dan mati di depan matanya, tetapi kekosongan di dadanya perlahan-lahan lenyap, dan. Yah. 

 

Diya tidak lagi berhenti. 

"Aa–h!" Asa mengerang sambil meregangkan kedua lengan ke atas, meluruskan punggungnya yang sudah tersiksa entah selama apa karena ia menunduk terus. "Akhirnya bagian yang sedih-sedih sudah selesai! Sekarang hanya tersisa bagian terakhir untuk ditulis." 

 

"Bagian itu di mana kita bertemu, 'kan? Atau apa kau memutuskan untuk tidak memasukkannya?" tanya Diya sambil membalik halaman, berhati-hati agar ujung kertas tidak tercelup ke dalam cangkir teh. 

 

"Pasti masuk!" kata Asa. "Aku satu-satunya teman baikmu selama ratusan tahun! Tidak mungkin pertemuan kita kulewatkan begitu saja." Ia menjeda dirinya untuk mencamil roti gambang yang tadinya dipesan oleh Diya. "Kalau dikatakan seperti itu, hidupmu menyedihkan juga, ya. Teman baikmu cuma anak gadis berumur enam belas yang aneh." 

 

Diya mengangkat sebelah alis. "Setidaknya aku tidak berteman dengan manusia berumur ratusan tahun yang tidak jelas asal-usulnya," ia balik menyindir. Alih-alih tersinggung, Asa justru tergelak sampai nyaris tersedak roti. 

 

Diya menatap naskah di tangannya lagi dan tersenyum. "Aku suka kalimat terakhir yang kau tulis," katanya. 

 

Asa nyengir lebar. "Aha! Bagus, bukan?" 

 

Ia terkekeh dan mengembalikan naskah gadis itu. Ekspresi wajahnya melembut selagi tangannya meraih cangkir teh. "Benar-benar bagus," ia mengiyakan. 

Bagian 5: Acceptance

 

Pada tahun 1920, ketika kemajuan dan kemunduran revolusi sedang panas-panasnya, Diya tanpa sengaja memicu ingatan Aniara dengan menyenandungkan lagu nina bobo mereka di dekatnya. 

 

"Aku banyak bermimpi," kata Aniara beberapa bulan setelahnya, mengatakan bahwa ia tidak lagi mengalami sakit kepala. "Tapi tidak semua mimpinya jelas. Kebanyakan, sepertinya, cuma campuran kacau dari ingatan-ingatan lama. Dilihat dari segi logis, mereka seperti mimpi biasa, hanya saja menyakitkan."

 

"Ah," kata Diya. 

 

"Kilas baliknya sedikit lebih jelas," lanjut Aniara, "tapi tetap saja aku tidak akan pernah mengingat semuanya dengan akurat."

 

Pada saat itu Diya hanya merasa lega mendengar Aniara tidak membencinya. Sekarang, ia baru menyadari bahwa tidak ada rasa sakit yang menjadi-jadi saat berbicara dengan saudaranya itu setelah sekian lama.

 

"Berapa lama kau tidak mengingatkanku?" tanya Aniara tiba-tiba, tatapan matanya menghakimi dari bibir cangkir kopinya. "Ada jeda panjang di mana aku tidak punya memori apa pun tentangmu. Kau pasti tidak mengingatkanku."

 

Diya menyesap kopinya – bleh – sebelum menjawab, setengah jujur. "Aku tidak suka mengingatkanmu."

 

Emosi yang terpancar di mata Aniara mendengar jawaban itu jelas-jelas sakit dan tersinggung, tapi ia tidak menyergah Diya atau semacamnya. 

 

Ia hanya berkata, "Diriku yang selanjutnya tidak akan menyukai itu, kau tahu." 

 

Dirimu yang selanjutnya tidak akan mengenalku, pikir Diya. Seakan bisa membaca pikirannya, Aniara mendongak dari cangkir kopinya dengan tatapan tajam. 

 

"Kapan Rama lulus dari STOVIA?" tanya Diya untuk mengalihkan topik pembicaraan. 

 

"Satu tahun lagi," jawab Aniara, dan pembicaraan mereka berubah arah. 

 

Rasanya seperti berbicara dengan orang asing. 

*

Pada 1942, Aniara mulai melukis, mengakui bahwa pikirannya lebih tenang jika mimpi-mimpi berisi memori yang ia dapatkan bisa diabadikan dengan cara ini. 

 

"Supaya kalau kau tidak mengingatkanku lain waktu, diriku bisa tetap ingat selama lukisan ini ada," katanya. 

 

Pada 1943, Diya mulai menjahit. Bukannya ia tidak bisa menjahit sebelumnya, tetapi ia mulai belajar menjahit motif-motif yang indah di samping hanya memperbaiki pakaian dan memambal sepatu. Ia belajar pula untuk membuat kanvas untuk mensuplai Aniara.

 

"Apa judulnya?" tanya Diya ketika ia berkunjung dan melihat lukisan setengah jadi yang tergantung di dinding. 

 

"Windu," sahut Aniara sambil menyapu keringat dari wajahnya tapi malah mencorengkan cat di sana. "Seperti lagu yang kau nyanyikan dulu." 

 

Diya merasa mual. Membuat Aniara yang ini ingat tentang kehidupan mereka yang lalu adalah sebuah kesalahan. "Ah."

 

Pada Januari 1944, lukisan itu selesai dan menyebabkan Aniara jatuh sakit selama nyaris satu tahun. Rama, yang sudah bergelar dokter dan doktor, sering mengeluh dengan main-main bahwa ia tidak bersekolah hanya untuk mengurus Aniara. 

 

Lukisan-lukisannya telah dititipkan pada Diya. Rama menatapnya dengan pandangan aneh kala itu, seakan ia tahu kalimat 'aku bangga padamu' yang dilontarkan Diya pada Aniara adalah sesuatu yang bisa diguyur bensin dan dibakar habis. 

 

Pada Agustus 1945, Aniara tertembak peluru nyasar. Rama dengan panik mencari dokter lain karena ia tak mampu menyembuhkan luka sedalam itu. Pada akhirnya, Aniara selamat meski napasnya sudah tipis-tipis saat operasi berlangsung. Diya terus menggenggam tangannya, khawatir namun telah kehilangan kebiasaan lamanya untuk berdoa. 

 

Umur Aniara pada kehidupan ini cukup panjang. Ia masih sehat ketika umurnya hampir mencapai kepala empat dan ia telah berpindah pekerjaan menjadi jurnalis bersama Rama yang pensiun menjadi dokter sejak penjajahan berakhir. 

 

Diya menyaksikan kematian Aniara di rumah mereka. Ia mati karena sakit, untuk yang kesekian kalinya, tetapi ia mengaku tak kesakitan dan tersenyum lemah sebelum hembusan napas terakhirnya. 

 

Diya mencium keningnya dan memegang tangannya sampai terasa dingin sebelum menghubungi Rama. 

 

Setelah itu, ia menemukan bahwa ia tak takut pada kelahiran Aniara yang selanjutnya. 

 

Ia juga menyadari bahwa penemuan itu tak semengejutkan yang ia kira. 

*

Diya bertemu seorang gadis. 

 

Ini bukan cerita romansa, dan kata yang lebih akurat sebenarnya bukanlah 'bertemu'. Gadis itu menemukannya dan pertemuan pertama mereka adalah Diya yang hampir terkena serangan jantung karena disambut seorang gadis asing berambut pendek yang sedang mencamil kue kering di dalam rumahnya ketika ia pulang. 

 

"Spada," sapa gadis itu riang. Belum sempat Diya membalas, ia keburu melanjutkan, "aku tahu 'spada' lebih tepat dikatakan di luar rumah karena artinya aku bertanya apakah ada orang di rumah, tapi 'hai' atau 'halo' kesannya terlalu biasa." 

 

Diya mengerjap. "Kau kabur dari RSJ mana?" tanyanya. 

 

Gadis itu hanya tertawa dan nyaris tersedak kue keju. Diya bergerak untuk menolongnya, tapi gadis itu meneguk air putih yang disediakan di dalam teko di atas meja dan kembali bernapas normal. 

 

"Jadi," kata gadis itu sambil menautkan jari, "kau sudah hidup selama berapa ratus tahun?" 

 

"... Maaf?" Detak jantung Diya menjadi cepat. Tanpa seizinnya, harapan yang selama ini terkubur dalam di hatinya melambung. 

 

Gadis itu mendengus. Ia melepaskan tautan jemarinya untuk mengeluarkan sebuah pena dari saku kemejanya dan menunjuk Diya dengan ujung pena itu. "Jangan sok tidak tahu. Aku bisa mengenali sejenisku dengan mudah," katanya.

 

"Sejenis–? Kau juga tidak bisa mati?" Diya berseloroh, saringan dari otak ke mulutnya tak lagi bekerja. 

 

Gadis itu memutar penanya dan tertawa riang. "Aha–! Tidak, aku ini manusia biasa. Kau, di sisi lain, baru saja mengkonfirmasi kalau kau bukan manusia biasa," ia berkata di sela-sela tawa. "Kau harus memasukkan itu ke dalam gelarmu: tertipu oleh remaja usia enam belas tahun." 

 

Harapan di dalam Diya meletup seperti gelembung sabun yang diinjak. Ia memejamkan mata dan menghembuskan napas lelah. Seharusnya ia tahu gadis ini hanya membual – ia sudah hidup sekian lama tanpa pernah mendapat satu kabar angin pun mengenai keberadaan orang sepertinya. 

 

Harapan, Diya memutuskan, adalah senjata yang mematikan. 

 

"Bagaimana kau tahu kalau aku…?" ia memulai sambil mengambil tempat duduk di sofa yang menyeberangi tempat duduk si gadis. 

 

"Ah, untung kau bertanya, aku hampir saja lupa kalau aku harus menjelaskan itu," sahut gadis itu. "Jadi, beberapa hari yang lalu aku sedang berjalan-jalan di dalam hutan untuk mencari inspirasi – aku ini penulis, kau tahu – dan aku menemukan sebuah perangkap kelinci yang berlumur darah tapi kelincinya tidak ada. Dengan niat mulia untuk mengobati hewan malang itu, aku mengikuti jejak darah yang ada sampai ke tebing kecil di tengah hutan." 

 

Oh. Diya tahu kelanjutan cerita ini. Ia tak mengatakan apa pun, berniat menunggu akhir cerita gadis itu. 

 

"Betapa kagetnya aku melihat ada laki-laki di sana, memegang kelinci yang terluka itu," si gadis melanjutkan setelah menjeda dirinya dengan menyuap satu kue keju lagi. "Awalnya kupikir ia adalah pemburu yang memasang perangkap kelinci itu, tapi pakaiannya terlalu bagus, jadi aku berasumsi saja bahwa laki-laki itu tidak berniat jahat pada si kelinci. Aku mendekat untuk memperingati laki-laki itu. Tanah yang membentuk tebing itu tidak terlalu kuat. Salah langkah sekali saja orang bisa mati. Tapi aku terlambat. Tebing itu runtuh di bawah kaki orang itu dan ia dan si kelinci terjun bebas." 

 

Diya menghela napas kesal. "Bisa langsung ke inti ceritanya?" desaknya. 

 

"Tidak," kata gadis itu. "Semua cerita harus diceritakan dengan jelas dan indah. Itu kenapa ia disebut cerita." 

 

"Itu tidak terdengar betul." 

 

"Di telingamu yang tak terdidik, mungkin." 

 

Ajaib, kesabaran yang dibangun Diya selama hampir 500 tahun bisa dengan mudah diretakkan oleh seorang remaja. 

 

"Kau ini tidak diajari tata krama atau apa?" 

 

Gadis itu tidak menyahut dan mengambil sepotong kue lagi, tapi ia tak terlihat tersinggung sama sekali. Setelah menelan, ia melanjutkan ceritanya seakan tak pernah ada interupsi. 

 

"Aku pun segera memeriksa ke dasar tebing dari bagian tanah kokoh yang tidak ikut runtuh. Tebingnya sendiri tidak tinggi, paling hanya dua, tiga meter. Namun di bawahnya ada banyak bebatuan besar yang, kalau ada orang jatuh ke sana, pasti akan melukainya dengan cukup parah. Betapa terkejutnya aku–" Gadis itu mengangkat kepala–  "ketika melihat tidak ada apa-apa di bebatuan itu. Tidak ada jasad orang bodoh yang berdiri terlalu dekat ke ujung tebing, tidak ada mayat kelinci yang malang, bahkan tidak ada bercak darah di bebatuan. Mengejutkan, bukan?" 

 

Tidak bagi Diya, tapi di mata manusia biasa, melihat seseorang jatuh ke tempat yang berbahaya seperti itu lalu menghilang pastilah seperti melihat keajaiban. 

 

"Aku pun menuruni tebing itu dengan hati-hati untuk memeriksa dengan lebih saksama. Kuakui, sisi penulisku berharap aku akan menemukan sesuatu yang mengerikan terjadi padamu – setidaknya itu bisa jadi ide cerita yang menarik. Yang kutemukan justru lebih aneh." Gadis itu menelengkan kepala ke samping. Diya seketika teringat pada Baron, kucing peliharaan Aniara yang sudah mati beberapa tahun sebelum pemiliknya. "Aku mendengar bunyi langkah kaki terburu-buru dari arah depan. Laki-laki itu ada di sana, tak terluka sama sekali meskipun pakaiannya rusak karena jatuh." 

 

"Bisa saja dia tidak terluka karena jatuh pada sudut yang beruntung," Diya berdalih. 

 

Gadis itu mengangguk. "Kau benar. Akan terlalu bodoh bagiku jika aku mengambil konklusi dari satu kejadian itu saja, jadi aku mengikuti orang itu – ah, maksudku kau – ke dokter hewan yang mengurus kelinci itu dan kutunggu sampai kau keluar sebelum aku masuk dan bertanya-tanya tentangmu."

 

"... Apa dokter itu tahu dia melanggar privasi pasien?" tanya Diya. 

 

Ia menyeringai. "Tidak. Aku hanya perlu mengatakan bahwa aku adalah keluargamu yang tidak tahu alamatmu yang sekarang. Dokter itu orang Belanda, setua jalanan, dan punya kebutaan wajah. Tentu saja semua orang berkulit sawo matang dan berambut hitam akan dikiranya keluarga." 

 

"Hei," tegur Diya, tapi ia memutuskan untuk tidak membantah. Gadis itu mengabaikannya, seperti yang sudah ia duga. 

 

"Jadi, yah, aku bertanya-tanya tentangmu pada orang sekitar selain dokter itu. Seorang wanita berumur delapan puluh tahun mengaku pernah mengajarimu memanggang kue dan teh seduhanmu enak rasanya. Anehnya, ia juga bilang bahwa ia pertama kali bertemu denganmu waktu ia berumur empat puluhan dan dirimu yang kulihat di hutan sama sekali tidak terlihat seperti orang setengah baya." Ia menumpukan wajah di tangan yang diletakkan di lengan sofa. "Benar-benar menarik perhatianku, kau. Jadi, aku mencari alamat yang aku dapatkan dan di sinilah aku sekarang."

 

"Untuk apa?" tanya Diya, lalu telat menyadari bahwa ia tidak memberikan konteks. "Kau mencariku dan sekarang sudah menemukanku. Untuk apa?" 

 

Wajahnya ditunjuk lagi dengan pena sampai ia refleks berjengit menjauh meskipun pena itu sama sekali tidak berisiko menusuk wajahnya. 

 

"Aku ingin menulis tentangmu," kata gadis itu tanpa memberi ruang untuk bantahan. "Akhir-akhir ini ide ceritaku sedang surut, tapi melihatmu di hutan waktu itu dan mendengar cerita-cerita aneh tentangmu membangkitkan inspirasiku." 

 

Diya meringis. "Kalau aku menolak?" 

 

"Aku tahu alamatmu dan orang-orang yang mengenalmu," kata gadis itu santai. "Kau ceroboh. Jejak hidupmu ada di mana-mana. Sebenarnya aku bahkan tidak perlu mengunjungimu seperti ini, tapi kupikir, ah, menulis tentang hidup seseorang tanpa izin itu agak jahat, jadi aku berbaik hati." 

 

"Ini bukan berbaik hati, ini pemaksaan," kata Diya. 

 

Anehnya, di antara protesnya yang lain, justru kalimat itu yang membuat ekspresi tidak senang muncul di wajah sang gadis. 

 

"Aku tidak memaksa. Kau bisa bilang 'tidak' dan aku tidak akan mengganggumu lagi," bantahnya sambil bersungut-sungut. Ia menghela napas lalu berdiri. "Ya, sudahlah. Sepertinya jawabanmu sudah jelas. Aku pergi dulu, kalau begitu." 

 

Lama-lama berinteraksi dengan anak ini akan membuat leher Diya salah urat. Semua yang ia lakukan dan katakan sangat … yah, tidak membingungkan, sebenarnya. Logis bahwa ia ingin tahu tentang Diya. Tapi motifnya … untuk menulis? Yang benar saja. 

 

"Kuenya kubawa, ya, makasih banyak!" adalah kalimat terakhir dari gadis itu sebelum ia beranjak ke pintu depan. Tak lama sesudahnya, terdengar bunyi pagar dibuka lalu ditutup lagi. 

 

Rasanya seperti baru dilewati angin topan.

*

Istilah fenomena Baader-Meinhof tidak ditemukan sebelum tahun 1994. Sayang sekali, menurut Diya, karena istilah itu sempurna untuk mendeskripsikan waktu-waktu setelah pertemuan pertamanya dengan gadis aneh itu.

 

Ia melihatnya di semua tempat. Seperti digentayangi hantu atau senacamnya, hanya saja Diya tidak pernah digentayangi seumur hidupnya sebelum ini dan dia yakin hantu tidak bercokol di kafe atau di perpustakaan selama berjam-jam hanya untuk meneror Diya. 

 

Setidaknya ia tidak menguntit Diya atau apa. Ia hanya … ada, duduk di kafe atau di perpustakaan dikelilingi cemilan, tumpukan kertas, dan buku catatannya. 

 

Suatu hari, salah satu kertas gadis itu tertinggal di atas meja perpustakaan. Diya memungutnya dan, karena penasaran, membaca beberapa kalimat. 

 

Keesokan harinya, ia dengan sengaja mendatangi meja tempat gadis itu menulis dan duduk di seberangnya. 

 

"Akan kuceritakan tentang hidupku," kata Diya dengan wajah masam, "selama kau menuliskannya dengan benar." 

"Wuah…!" Asa meregangkan tubuh sampai sendi-sendinya berbunyi. "Jadi, bagaimana?" 

 

Diya mendorong naskah dari cangkir teh untuk mencegah kejadian yang tak diinginkan dan bersandar ke tempat duduknya. "Bagus. Aku masih tidak yakin dengan prosamu, tapi caramu membagi cerita dan menulis semuanya secara keseluruhan…." Ia mengakhiri jawabannya dengan sebuah senyum.

 

"Yes!" Asa mencatat sesuatu di telapak tangannya sebelum menutup pena dan memasukkannya ke dalam tas. "Akhirnya, setelah berbulan-bulan harus mengobrol denganmu sambil minum berliter-liter teh." 

 

"Kau tidak suka tehnya?" 

 

"Ah, tidak juga. Suka, kok, tapi kalau selalu disuguhi itu, ya…." Asa ikut menyandarkan punggung. Berlawanan dengan keluhan yang sedang diucapkannya, ekspresi wajahnya terlihat puas. 

 

Sejenak, mereka tidak melanjutkan pembicaraan; Diya sibuk merapikan kertas-kertas yang bertebaran dan mendecakkan lidah pada bercak tinta sementara Asa sedang mengawang-awang. 

 

"Apa kau akan menerbitkan ini?" tanya Diya setelah ia selesai membersihkan percikan tinta basah yang terakhir dari permukaan meja.

 

Asa tetap menerawang ke langit-langit ruangan sembari menjawab, "Mungkin, tapi aku mungkin hanya akan mencetak dua atau tiga jilid saja. Untukku dan untukmu. Atau hanya satu untukku, lalu kau boleh memilikinya setelah aku mati." 

 

Kening Diya berkerut sedikit. "Kau yakin? Maksudku, aku tahu kondisimu, tapi kau bisa menghasilkan uang yang banyak dengan menjual–" 

 

"Tidak, ah," potong Asa cepat, "Keluargaku tidak kekurangan uang. Lagipula, puitis bukan kalau proyek terakhirku hanya ada beberapa jilid di seluruh dunia?"

 

"Kau dan romantisismemu," gumam Diya, tapi tak ada kekesalan di dalam suaranya. "Jadi, menurut perkiraan, kapan kau–?" 

 

"Menanyakan usia perempuan, Diya? Tidak sopan," gurau Asa sambil menyeringai. Hanya sepersekian detik seringai itu bertahan, sebelum kembali luntur menjadi senyum tenang. "Setengah tahun, mungkin. Dua tahun kalau aku beruntung." 

 

"Ah." Diya tak merasa terlampau sedih, meskipun simpati berdenyut bersama darah di dalam nadinya. Bagaimana pun juga, semua manusia selain dirinya pasti mati. "Apa kau tidak terganggu? Hal terakhir yang kau tulis bukan tentang kehidupanmu sebagaimana kau ingin diingat, tapi malah tentang diriku." 

 

"Pertama-tama, aku tidak senarsis itu," protes Asa. "Kedua, aku tidak didiagnosis mati besok, aku masih punya waktu untuk menulis hal lain. Ketiga, apa kau bahkan tahu kenapa aku menulis?" 

 

"Tidak." Bukan kebiasaan Diya untuk menanyakan hal-hal yang pribadi dan filosofis seperti itu. Mungkin ia harus mulai melakukannya. "Kenapa?" 

 

"Aku menulis untuk memahami. Pemahaman yang didapat dari sekadar pengamatan tidak akan menjadi pemahaman yang menyeluruh." Asa menggunakan telunjuknya untuk menggambar bentuk-bentuk tak kasatmata di udara. "Kalau aku pergi ke luar sekarang dan melihat ke atas, aku akan melihat langit yang biru dan bertanya-tanya kenapa begitu. Tapi jika aku menuliskan sebuah deskripsi tentang langit biru, aku akan memikirkan hal lain yang mempengaruhinya – sinar matahari, jumlah awan, suhu udara…." 

 

Ia menurunkan tangannya, membiarkan gambar-gambar tak kasatmata tadi menguap di udara, sebuah rahasia yang hanya dirinya yang tahu. "Karena itu aku menulis tentang banyak hal. Dengan menulis, aku bisa benar-benar memahami objek tulisanku entah itu langit, bumi, atau manusia." 

 

"Itu alasannya kau ingin sekali keliling dunia?" 

 

Asa ketawa. "Mimpi yang jauh dari gapaian, ya? Tapi kau benar, itu alasannya. Aku ingin menulis tentang semua tempat yang kudatangi, seandainya aku mampu bepergian jauh-jauh." Tawanya reda, meninggalkan sebuah cengiran lebar yang tidak cocok dipakai oleh seseorang yang akan mati dalam waktu dekat. 

 

Diya sudah lama menerima bahwa cocok dan tidak cocoknya sesuatu di dunia tidak mempengaruhi Asa. 

 

"Apa ada orang lain yang pernah bereinkarnasi selain saudaramu dan sahabatnya?" tanya Asa setelah beberapa saat. 

 

Diya tahu ke mana pertanyaan itu mengarah. Ia tidak pernah suka memberikan jawabannya. "Tidak. Hanya mereka." 

 

"Hmm. Aku akan berusaha jadi orang selanjutnya, kalau begitu," kata Asa. "Aku akan bereinkarnasi, supaya aku bisa tetap mengobrol denganmu dan berkeliling dunia." 

 

Diya tersenyum ke dalam cangkir tehnya. "Aku tidak akan menaruh harapan," katanya, realistis, "tapi terima kasih atas niatmu. Kudoakan kau berhasil." 

 

Sebelah alis Asa terangkat. "Kupikir kau sudah berhenti berdoa?" 

 

"Untuk kondisi spesial seperti ini, kurasa tidak ada salahnya."

 

"Huh." 

 

"Teh lagi?" 

 

Asa menghela napas dengan dramatis, tetapi tetap mendorong cangkirnya ke arah Diya dan tersenyum riang. "Ah, persetan. Tambah tehnya." 

*

Setelah Asa memberikan satu jilid buku itu padanya – pada akhirnya, ada tiga jilid yang dicetak – Diya menuliskan sebuah kalimat di halaman paling depan, di samping tanda tangan Asa. 

 

Pemberian Asa, seseorang yang mimpi terbesarnya adalah untuk memahami dunia. 


Ia ragu sejenak, hanya sejenak, sebelum menambahkan: Teman yang baik, bagiku dan siapa pun yang beruntung pernah bertemu dengannya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rekal Rara
12204      3639     0     
Romance
"Kita dipertemukan lewat kejadian saat kau jatuh dari motor, dan di pisahkan lewat kejadian itu juga?" -Rara Gleriska. "Kita di pertemukan oleh semesta, Tapi apakah pertemuan itu hanya untuk sementara?" -Rekal Dirmagja. ▪▪▪ Awalnya jatuh dari motor, ehh sekarang malah jatuh cinta. Itulah yang di alami oleh Rekal Dirmagja, seorang lelaki yang jatuh cinta kepada wanita bernama Rar...
Rahasia Kita
1965      1198     13     
Short Story
Aku tidak tahu sudah berapa hari aku terjebak di dalam lemari yang gelap dan sempit ini tanpa makanan dan minuman. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan di sini selain menahan rasa lapar dan bau mayat yang membusuk.
Kala Badai Menerpa
1296      628     1     
Romance
Azzura Arraya Bagaswara, gadis kelahiran Bandung yang mencari tujuan dirinya untuk tetap hidup di dunia ini. Masalah-masalah ia hadapi sendiri dan selalu ia sembunyikan dari orang-orang. Hingga pada akhirnya, masa lalunya kembali lagi untuknya. Akankah Reza dapat membuat Raya menjadi seseorang yang terbuka begitu juga sebaliknya?
RINAI : Cinta Pertama Terkubur Renjana
393      298     0     
Romance
Dia, hidup lagi? Mana mungkin manusia yang telah dijatuhi hukuman mati oleh dunia fana ini, kembali hidup? Bukan, dia bukan Renjana. Memang raga mereka sama, tapi jelas jiwa mereka berbeda. Dia Rembulan, sosok lelaki yang menghayutkan dunia dengan musik dan indah suaranya. Jadi, dia bukan Renjana Kenanga Matahari Senja yang Rinai kenal, seorang lelaki senja pecinta kanvas dengan sejuta war...
Operasi ARAK
340      244     0     
Short Story
Berlatar di zaman orde baru, ini adalah kisah Jaka dan teman-temannya yang mencoba mengungkap misteri bunker dan tragedi jum'at kelabu. Apakah mereka berhasil memecahkan misteri itu?
THE DAY'S RAPSODY
6558      1415     8     
Mystery
Sebuah pembunuhan terjadi di sebuah tempat yang bisa dibilang tempat teraman di kota ini. Banyak barang bukti ditemukan. Namun, pelaku masih belum tertangkap.
Violet, Gadis yang Ingin Mati
5826      1758     1     
Romance
Violet cuma remaja biasa yang ingin menikmati hidupnya dengan normal. Namun, dunianya mulai runtuh saat orang tuanya bercerai dan orang-orang di sekolah mulai menindasnya. Violet merasa sendirian dan kesepian. Rasanya, dia ingin mati saja.
IMPIANKU
27042      4105     14     
Mystery
Deskripsi Setiap manusia pasti memiliki sebuah impian, dan berusaha untuk mewujudkan impiannya itu. Walau terkadang suka terjebak dengan apa yang diusahakan dalam menggapai impian tersebut. Begitu pun yang dialami oleh Satria, dalam usaha mewujudkan segala impiannya, sebagai anak Broken Home. Walau keadaan keluarganya hancur karena keegoisan sang ayah. Satria mencoba mencari jati dirinya,...
Aldi. Tujuh Belas. Sasha.
504      289     1     
Short Story
Cinta tak mengenal ruang dan waktu. Itulah yang terjadi kepada Aldi dan Sasha. Mereka yang berbeda alam terikat cinta hingga membuatnya tak ingin saling melepaskan.
ALTHEA
103      84     0     
Romance
Ini adalah kisah seorang perempuan riang yang memiliki perasaan lebih ke manusia es batu, manusia cuek yang telah menyukai seorang perempuan lain di sekolahnya. Walaupun ia tahu bahwa laki laki itu bukan menyukai dirinya, tetap saja ia tak akan kunjung lelah untuk mendapatkan perhatian dan hati laki laki itu. Akankah ia berhasil mendapatkan yang dia mau? "Dasar jamet, bales chat nya si...