Loading...
Logo TinLit
Read Story - Depaysement (Sudah Terbit / Open PO)
MENU
About Us  

"Apa?" Lima ratus tahun yang– "Oke, sekarang aku tahu kau cuma bercanda. Itu mustahil." 

 

Diya tidak bereaksi banyak. "Nyatanya tidak," ucapnya simpel. 

 

Aniara berusaha memahami konsep yang baru disodorkan padanya itu. Lima ratus–? Bagaimana bisa? 

 

"Aku mati dalam mimpiku…," ujarnya lambat-lambat, kepingan pazel jatuh ke posisinya yang benar satu per satu. "Aku mati di dalam mimpiku lebih dari satu kali. Kalau kau jujur, itu artinya aku…." 

 

Kengerian yang dingin mendadak menyergapnya. Serpihan ledakan yang menghunus dadanya di dalam mimpi. Teriakan perang yang didengarnya di dalam mimpi. Peluru nyasar yang mengenainya di dalam mimpi. Tatapan kosong tubuhnya yang tak bernyawa di dalam mimpi. 

 

Tapi … kalau Diya mengatakan yang sebenarnya … berarti tidak ada yang khayal dari semua itu. Semuanya bukan mimpi. 

 

Refleks, ia mencengkeram kain bajunya tepat di bagian dada, menekan dengan kuat agar bisa merasakan debar jantungnya di balik rusuk. 

 

"Aku mati," bisiknya dengan lidah kelu. Mata kosong yang ia lukis sampai membuat Dirga khawatir malam itu bukan sekadar bunga tidur yang kebetulan menyantap pikiran buruknya – itu matanya. Mata Aniara ketika ia mati. 

 

"Pernah mati," ia mendengar Diya berkata pelan. Tempat tidur yang didudukinya berderit ketika Diya ikut duduk di sana. Dengan perlahan Diya melingkarkan kedua lengannya di sekeliling bahu Aniara dan menariknya mendekat, dengan tetap memberi ruang jika Aniara ingin menepis tangannya. Aniara tidak menepis tangannya. 

 

"Jadi apa sebenarnya…? Aku hidup, 'kan, sekarang? Jantungku … paru-paruku … semuanya berfungsi," Aniara meracau sambil terus berbisik tanpa membalas pelukan lemah Diya. 

 

Diya mengeratkan lingkar lengannya sedikit. Entah mengapa, perasaan kosong di dada Aniara perlahan hilang, seperti gemetar yang diusir teh hangat. "Kau bukan mayat hidup, kalau itu yang kau takutkan. Kau … seperti yang tadi kukatakan, kau pernah mati. Lalu dilahirkan kembali. Inilah hasilnya." 

 

"Reinkarnasi?" ia hanya pernah mendengar hal itu di dunia fiksi bergandeng tangan dengan konsep dimensi lain yang ia percayai. "Jadi kita bereinkarnasi sejak lima ratus tahun yang lalu? Apa– berapa kali kita telah terlahir kembali?"  

 

"Ah. Hanya kau yang bereinkarnasi," Diya berkata dengan pelan, berusaha menyusun kata agar tidak membuat Aniara syok. "Aku tidak bisa mati." 

 

Mendengarnya, Aniara refleks mendorong saudara(?)nya menjauh. Kedua matanya lebar dan penuh kebingungan. "Hah?" 

 

"Kalau kau mau menuduhku bohong lagi, mending jangan buka mulut sekalian," Diya menyela sebelum Aniara sempat mengatakan apa-apa. "Kau selalu melakukan itu. Aku bahkan sudah hapal pertanyaanmu. Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa mati. Aku tidak tahu kenapa kau bisa mati dan kenapa kau bisa bereinkarnasi. Kita lahir kurang lebih lima ratus tahun yang lalu, sebelum Portugis masuk ke Malaka. Umurku juga lima ratus tahun. Kau sudah bereinkarnasi lebih dari sepuluh kali." 

 

Berusaha mencerna semua itu terasa seperti mencoba menelan tanah. "Kenapa kau mencuri lukisan itu dan menghindariku mati-matian?" tanya Aniara, melontarkan hal pertama yang terdorong ke ujung lidah. 

 

Diya mengerjap. Tampaknya itu bukan pertanyaan yang sering ditanyakan oleh Aniara-Aniara sebelumnya. "Itu karena setiap kali kau lahir kembali, semakin sedikit kehidupan kita yang bisa kau ingat dan setiap kali kau mengingatnya, kau tersiksa – dirimu yang sebelumnya mengatakan itu padaku. Rama menduga itu karena otakmu seperti otak manusia pada umumnya, jadi tidak kuat menyimpan dan memproses semua ingatan dari masa lalu," jelasnya. Cahaya di matanya meredup di akhir kalimat. 

 

Aniara menangkap implikasi dari penjelasan itu dengan jelas. "Tapi otakmu ingat semuanya," gumamnya. 

 

Diya mengedikkan bahu, mengalihkan pandangannya ke sisi lain ruangan. "Eh. Tidak semuanya juga. Ingatan dari masa kecil kita sebagian besar sudah kabur," ujarnya dan Aniara tahu ia sedang berusaha membuat suasana lebih ringan. 

 

Tapi di saat seperti ini, suasana yang ringan hanya akan menunda kebenaran, jadi Aniara memaksa dirinya agar tidak terlalu bersimpati. 

 

"Jadi kau mencuri lukisan-lukisanku supaya aku tidak ingat," ia menyimpulkan. "Lalu apa?" 

 

"Lalu kubiarkan kau menjalani hidupmu dengan tenang tanpa dihantui masa lalu," kata Diya tanpa emosi, tapi kedua tangannya gemetar. "Melihatmu kesakitan karena mengingat semuanya di kehidupan sebelumnya membuatku sadar bahwa lebih baik kalau hubunganmu denganku dan masa lalu diputus sepenuhnya." 

 

Suatu kemarahan yang aneh meluap di dalam diri Aniara, membuatnya mengulurkan kedua lengan dan mencengkeram kedua bahu Diya dengan kasar. "Dan kau berniat hidup sendiri dengan keabadianmu yang menyedihkan itu? Apa kau bahkan punya teman, atau apa kau terlalu sibuk menghilangkan bukti bahwa aku pernah hidup sebelum ini?" teriaknya. Ia bahkan tidak tahu mengapa ia begitu marah, tetapi membayangkan Diya hidup sendirian dengan semua memori masa lalu dan mati-matian menjaga Aniara dari memori itu membuatnya marah.

 

"Hidupmu baik-baik saja tanpa semua ini!" Diya balas berteriak. Ia menggenggam kedua lengan Aniara dan berusaha merenggutnya lepas, tapi Aniara tetap bersikukuh. "Kau sudah merasakan buktinya! Apakah menyenangkan, semua mimpi buruk itu? Semua memori kematianmu? Semua kejadian buruk yang kau alami– apakah menyenangkan, mengingatnya?!"

 

Aniara tersentak. Genggamannya pada kedua bahu Diya melonggar. Masalahnya, Diya benar. Semua mimpi, kilas balik, kebingungan, dan ketakutan yang ia rasakan … tidak ada yang menyenangkan dari semua itu. Sampai sebelum ini, satu-satunya alasannya ingin menemui Diya adalah karena ia ingin mendapatkan kejelasan dan menghentikan semua ingatan buruk yang menghantuinya. 

 

Diya benar, tapi kenapa keinginan untuk membantah, untuk mengatakan bahwa Diya tidak benar, seakan mengakar di pikirannya? 

 

Diya merespons diamnya Aniara dengan sebuah helaan napas panjang. Ia menarik kedua tangan Aniara agar lepas dari bahunya dengan pelan dan berdiri. "Kita berdua harus menenangkan diri dulu. Kau pasti masih berusaha memproses semua ini, tidak baik kalau emosimu juga meledak-ledak. Akan kusuruh Rama masuk ke sini dan membawa teh panas." Ia beranjak ke arah pintu kamar.

 

"Tunggu," Aniara menahannya. "Apa aku boleh mengatakan semua ini padanya? Dialah yang membantuku melacakmu sampai ke sini, dia pasti curiga kalau aku tidak bercerita–" 

 

"Tentu saja boleh," potong Diya. Sudut mulutnya naik sekilas, pertanda emosi positif pertama yang dilihat Aniara darinya. "Kau toh selalu bercerita padanya."

 

Dirga masuk dua menit setelah Diya keluar, membawa sebuah nampan perak – asli? – berisi sepoci teh, dua cangkir, dan sepiring biskuit. Uap panas mengepul dari moncong poci, wangi dan menenangkan. 

 

"Aku awalnya agak khawatir tehnya diberi obat aneh-aneh, tapi aku sudah minum dua cangkir dan merasa baik-baik saja," kata Dirga sambil duduk di kursi yang tadi ditempati Diya. Ia menumpukan pipi di tangan dan menaikkan sebelah alis. "Jadi? Apa dia menjelaskan semuanya padamu? Setiap kali aku bertanya-tanya padanya, dia hanya menggeleng dan bilang kalau kau harus tahu lebih dulu." 

 

Aniara mengangguk, menggenggam cangkir berisi teh panas untuk mengusir dingin dari jari-jarinya. "Jujur saja, aku sebenarnya masih mencerna apa yang dia katakan. Semuanya terdengar tidak nyata," gumamnya sebelum menyesap teh dengan pelan. Rasa manis bebungaan khas teh melati menyentuh lidahnya.

 

"Huh. Memangnya ada yang lebih tidak nyata dari dimensi alternatif?" tanya Dirga sambil mencomot sekeping biskuit dari piring. 

 

"Bagaimana dengan reinkarnasi?" sahut Aniara. Dirga menatapnya nanar.

 

"Anya, konsep reinkarnasi sudah ada di sini sejak 1600 tahun yang lalu waktu Hinduisme pertama kali mendarat. Aku sendiri tidak percaya dengan reinkarnasi, tapi konsepnya jelas lebih masuk akal daripada konsep dimensi alternatifmu," kata Dirga. 

 

Aniara meringis. "Kau harus mulai percaya kalau begitu, karena menurut Diya, itulah yang sebenarnya terjadi selama ini." 

 

Dirga menatapnya lama seperti seorang arkeolog yang sedang melihat kerangka dinosaurus yang salah disusun. "Reinkarnasi?"

 

"He-eh. Dia bilang kalau aku dan dia lahir 500 tahun yang lalu dan sejak saat itu setiap kali aku mati, aku terlahir kembali." Aniara melihat pantulan wajahnya di teh dan menggigit bibir bawah dengan bimbang. 

 

"Huh. Itu … menarik," kata Dirga dengan nada ragu. "Jadi selama ini, yang kau lihat di dalam semua mimpimu itu bukan dirimu yang mati di dimensi alternatif, tapi–"

 

"Diriku sendiri di masa lalu." Genggamannya pada cangkir teh mengerat. "Aku tidak tahu harus bagaimana." 

 

"Apa maksudmu? Kau yang sekarang masih hidup, kan?" 

 

"Tapi bagaimana dengan 'aku' yang lain?"

 

"Mereka sudah mati," sahut Dirga kalem, selalu menjadi angin tenang melawan turbulensi emosi Aniara. "Semua orang juga mati. Hanya saja kau … yah, bisa lahir kembali." 

 

"Mm." Masih ada perasaan tidak enak yang mengganggu Aniara, tetapi topik ini tidak bisa diselesaikan dengan diskusi. Ia harus merenungkannya sendiri. Jadi; "Omong-omong soal itu. Diya bilang bahwa hanya aku yang selama ini bereinkarnasi. Dia tidak bisa mati." 

 

"Hah? Kok bisa?" 

 

"Jangan tanya aku." 

 

Dirga mengambil sekeping biskuit lagi dan mencelupkannya ke teh panas. "Jadi maksudmu, saudaramu – dia saudaramu, 'kan? – adalah makhluk abadi?" tanyanya. 

 

Aniara mengangkat bahu, merasa sangat, sangat lelah. "Begitulah. Dia berusaha menjauhkanku dari semua masalah reinkarnasi ini," ujarnya sebelum mengulangi penjelasan mengesalkan yang diberikan Diya kepadanya. 

 

"Tapi dia benar. Kalau kau tidak tahu apa-apa mengenai semua ini, hidupmu akan tetap normal dan damai," komentar Dirga. "Meskipun kita harus akui, sekarang sudah terlambat. Kau toh sudah terlanjur tahu. Yang kupertanyakan adalah kenapa kau marah?"

 

Pertanyaan yang bagus. Ia pun tidak tahu jawabannya. "Aku cuma, entahlah, tidak masuk akal kan? Dia mengaku saudaraku, tapi kenapa dia tidak senang melihatku? Aku lahir kembali setelah dia menyaksikanku mati – kenapa dia malah membiarkanku sendiri?" racaunya. Saringan otak-ke-mulutnya telah berhenti berfungsi seperti mesin motor terendam banjir. 

 

Dirga terlihat khawatir melihat dirinya perlahan tenggelam dalam histeris, tetapi ia tetap mendengarkan, bahkan mengambil dan mengamankan cangkir teh Aniara yang hampir terguling. 

 

"Aku tidak mengerti. Aku tahu mengingat semua hal ini tidak menyenangkan, tapi haruskah dia melakukan semua ini – bersembunyi, mencuri barang-barang yang bisa mengingatkanku pada masa lalu? Kalau aku jadi dia, aku … aku pasti merasa kesepian, beratus-ratus tahun hidup sendirian. Kalau aku jadi dia dan melihat saudaraku mati dan ternyata terlahir kembali, aku pasti akan menemuinya. Kenapa dia–" Dan oh, pemahaman itu muncul seperti sambaran petir. Suaranya memelan, dan ia baru menyadari bahwa pelupuk matanya basah. "Kenapa dia lebih memilih menyiksa dirinya hanya untuk hidupku yang pendek? Seharusnya dia memanfaatkannya kan, kesempatan untuk berdua dengan saudaranya lagi meski hanya sebentar? Jadi kenapa–?" 

 

Dirga mengerjap, lalu mendorong bibir cangkir ke mulut Aniara untuk mendiamkannya. "Berhenti bicara sebentar dan tarik napas, astaga, wajahmu sampai biru," cetusnya. Aniara ingin menendangnya karena mengalihkan topik, tapi sahabatnya itu dengan mengejutkan justru menjawab semua pertanyaannya dengan satu kalimat pendek.

 

"Dan dia melakukan itu karena dia sayang padamu," kata Dirga tenang, meski tatapan matanya tertuju ke sudut ruangan tanda ia pun masih berpikir. "Apanya yang kurang jelas? Di kehidupan yang sebelumnya, kau kesakitan setiap kali teringat pada suatu kejadian di masa lalu, 'kan? Jadi solusi yang paling jelas adalah membuat supaya kau tidak ingat, agar kau tidak kesakitan lagi."

 

Semuanya masuk akal. Semuanya. Tapi kekosongan panas di dalam dadanya tidak mendingin. "Hanya karena itu? Hanya karena itu dia lalu memutus semuanya? Berniat membawa sendiri semua ingatan itu sementara seisi dunia lupa?" ujarnya gusar. Seharusnya ia mengatakan semua itu pada Diya, tetapi tampaknya saudara kembarnya itu tidak berniat kembali masuk ke kamar dalam waktu dekat. 

 

Dirga meringis dan mengangkat bahu. "Jangan tanya padaku," ucapnya, lalu, "Lap mukamu."

 

Aniara menelan ludah. Rasa teh dan asin memenuhi mulutnya dan ia baru sadar bahwa air mata sudah menuruni pipinya sampai ke sudut bibir. 

 

"Kenapa kau bisa setenang ini?" tanyanya setelah beberapa saat. Cangkir di genggamannya sudah sedingin kaki mayat. Ia meletakkannya di atas nampan dan meraih ujung selimut untuk mengeringkan muka.

 

"Entah, ya. Aku sudah siap menerima bahwa tebakanmu benar, tentang dimensi lain, jadi begitu mendengar bahwa kebenarannya ternyata sama saja anehnya, aku tidak kaget," jawab Dirga. "Aku malah jadi penasaran apa aku juga pernah bereinkarnasi." 

 

Kata-kata Diya terngiang di kepala Aniara: "Kau toh selalu bercerita padanya."

 

"... Huh," gumamnya. "Mungkin pernah."

 

"Mm. Mau ke ruang tengah? Diya tadi berjalan ke arah sana setelah menyuruhku masuk ke sini," ajak Dirga. 

 

Aniara menatap pintu kamar yang tertutup. Ia menggigit bibirnya dan berkata, "Aku perlu secangkir teh lagi sebelum keluar." 

 

Dirga mengedikkan bahu, lalu menuang teh tanpa berkomentar. 

 

Setelah tiga cangkir teh dan sisa biskuit barulah Aniara membiarkan Dirga merebut cangkir kosongnya dan menyuruhnya berdiri. Debar jantungnya memenuhi telinga seperti gema dari hujan di luar. 

 

Dirga membuka pintu dan sebagian kecemasan Aniara lenyap seketika – pemandangan di ruang tengah tidak semengerikan yang ia pikirkan. 

 

Diya mengalihkan pandang dari sesuatu di pangkuannya untuk melihat ke arah Aniara dan Dirga. Emosi di wajahnya tak terbaca, tetapi ia tak terlihat gembira. Menilik jarak dari ruang tengah ke kamar yang ditempati Aniara, jelas bahwa Diya mendengar semua perkataan Aniara.

 

"Keadaanmu sudah mendingan?" tanya Diya,  nadanya tulus. Aniara mengangguk saja sementara Dirga langsung mendudukkan diri tanpa izin di sofa panjang yang menyeberangi sofa tempat Diya duduk. Aniara duduk di sampingnya. 

 

"Kami tidak perlu mengulangi percakapan kami barusan, 'kan?" tanya Dirga. "Dengan Anya berteriak-teriak dan dinding yang standar, aku ragu kau tidak mendengar semuanya." 

 

Diya menghela napas dan mengedikkan kepala. "Aku dengar semuanya. Percayalah, tidak ada yang mengejutkanku setelah sekian lama hidup, termasuk asumsi-asumsi kalian," katanya. 

 

"Hei, kau yang meneror temanku lewat mimpi dan tinggal di antah berantah. Asumsi kami masuk akal. Kalau mau lebih buruk, bisa saja kami menuduhmu penculik," balas Dirga. Suasana ini mengapungkan ingatan Aniara ketika ia dan Dirga duduk di kelas empat SD, dengan Dirga yang berhasil membuat anak-anak yang merundung Aniara berhenti mengganggunya dengan cara men-gaslight mereka semua, mencegah niat awal Aniara yang ingin melawan mereka semua sekaligus secara fisik. 

 

Melihat ekspresi Diya yang tetap tak berubah, tampaknya asumsi bahwa Dirga juga bereinkarnasi bersamanya benar. Dia pasti sudah kebal dengan lidah tajam Dirga jika sebelum ini pernah kenal dengannya. 

 

"Aniara," kata Diya pelan. Ia meletakkan barang yang sejak tadi ada di pangkuannya ke atas meja rendah yang memisahkan mereka dan mendorongnya ke depan Aniara. "Aku ingin kau membaca ini."

 

Terletak di atas meja adalah sebuah buku. Halaman-halamannya sudah menguning, terlihat dari sisinya, tetapi hanya itulah tanda bahwa buku itu sudah berumur. Keadaan sampul depan serta jilidannya masih rapi dan kokoh, dijaga dengan penuh kasih sayang. 

 

Aniara mengambil buku itu dan mengamatinya. Di sampul depan yang berwarna cokelat gelap elegan seperti kayu yang dipernis, tercetak judul 'Depaysement' dengan tinta pucat. Nama penulis buku itu, Asa Atmariani, telah diterakan di sana, dengan huruf-huruf kecil melingkar yang terlalu autentik untuk jadi cetakan mesin – pastilah itu tulisan tangan. Lebih kecil lagi di bawah nama itu adalah tulisan 'berdasarkan ide cemerlang D. Indramayu'.

 

D. Indramayu. 

 

Aniara Indramayu. 

 

"Ide cemerlang?" tanyanya pada Diya dengan satu alis terangkat, sedikit sinis. 

 

Diya mengedikkan bahu. "Asa memaksa," jawabnya singkat. Setelah beberapa saat, ia menambahkan, "Aku berharap dengan membacanya, kau bisa lebih mengerti kenapa aku melakukan apa yang kulakukan." 

 

"Dan kenapa kau tidak bisa menjelaskannya sendiri? Kenapa aku harus tahu dari sebuah buku tua?" tandas Aniara. 

 

"Karena buku itu bisa menjelaskan dengan lebih baik." Diya tersenyum lemah. "Dan jika kau bisa sedikit bersimpati, bukan hanya kalian saja yang dikejutkan setengah mati hari ini. Kalau aku memaksa diri bercerita sekarang, aku hanya akan stres." 

 

"... Oh." Diya tidak salah. Kemunculan dirinya dan Dirga di depan pintunya setelah Diya mati-matian menjauhkan mereka darinya pastilah bukan kejutan yang menyenangkan. 

 

Dirga mengulurkan tangan. "Kalau kau mau ribut terus dengan kakakmu, biar aku saja yang baca," katanya. Aniara segera menjauhkan buku itu dari tangan sahabatnya. 

 

"Siapa bilang dia kakakku? Bisa saja aku lahir lebih dulu, kan?" Setelah kalimat itu terucap barulah ia sadar betapa tolol argumennya itu. Dirga menyeringai, menyadari hal yang sama dan mengabaikan pelototan Aniara padanya. Diya menutupi mulut dengan satu tangan dan batuk, tetapi kedua alisnya terangkat tanda geli. 

 

Aniara bersungut-sungut, lalu membuka buku di pangkuannya ke halaman pertama.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mysterious Call
493      328     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
Premium
Dunia Leonor
108      93     3     
Short Story
P.S: Edisi buku cetak bisa Pre-Order via Instagram penulis @keefe_rd. Tersedia juga di Google Play Books. Kunjungi blog penulis untuk informasi selengkapnya https://keeferd.wordpress.com/ Sinopsis: Kisah cinta yang tragis. Dua jiwa yang saling terhubung sepanjang masa. Memori aneh kerap menghantui Leonor. Seakan ia bukan dirinya. Seakan ia memiliki kekasih bayangan. Ataukah itu semua seke...
Sehabis Senja
1816      1076     3     
Short Story
Abimanyu Santoso telah membuang masa lalunya namun, rasa bersalah akan kematian kakaknya masih terus menghantui. Suatu hari, ia mendapatkan kesempatan untuk memutar waktu dan memperbaiki kesalahannya. Akankah dia berhasil atau malah mengulangi sejarah ?
Romance is the Hook
4481      1525     1     
Romance
Tidak ada hal lain yang ia butuhkan dalam hidupnya selain kebebasan dan balas dendam. Almira Garcia Pradnyani memulai pekerjaannya sebagai editor di Gautama Books dengan satu tujuan besar untuk membuktikan kemampuannya sendiri pada keluarga ibunya. Namun jalan menuju keberhasilan tidaklah mudah. Berawal dari satu kotak cinnamon rolls dan keisengan Reynaldo Pramana membuat Almira menambah satu ...
In Her Place
558      374     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
RISA (Adik Abang Tersayang)
962      555     5     
Short Story
Abang hidup dalam bayang Risa.
SEMPENA
3910      1287     0     
Fantasy
Menceritakan tentang seorang anak bernama Sempena yang harus meraih harapan dengan sihir-sihir serta keajaiban. Pada akhir cerita kalian akan dikejutkan atas semua perjalanan Sempena ini
Kiara - Sebuah Perjalanan Untuk Pulang
2927      1287     2     
Romance
Tentang sebuah petualangan mencari Keberanian, ke-ikhlasan juga arti dari sebuah cinta dan persahabatan yang tulus. 3 Orang yang saling mencintai dengan cara yang berbeda di tempat dan situasi yang berbeda pula. mereka hanya seorang manusia yang memiliki hati besar untuk menerima. Kiara, seorang perempuan jawa ayu yang menjalin persahabatan sejak kecil dengan Ardy dan klisenya mereka saling me...
Le Papillon
2983      1209     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...
BlackBox
1664      759     7     
Horror
"Please don't hear her voice." the mystery box is in your hands. be careful!