Loading...
Logo TinLit
Read Story - Depaysement (Sudah Terbit / Open PO)
MENU
About Us  

Pagi besoknya, Aniara terbangun oleh suara knalpot motor Aditya tanpa ada ingatan sama sekali mengenai mimpinya. Atau mungkin ia bahkan tidak bermimpi apa-apa. Ia tidak begitu yakin. Semenjak Dirga bertemu dengan Diya, semua hal aneh yang terjadi berubah jadi semakin aneh – mimpi-mimpi yang kini datang tak menentu alih-alih setiap malam, kilas balik yang semakin jarang namun semakin ekstrem, dan dorongan Aniara untuk melukis yang semakin berkurang.

 

Aniara bertanya-tanya apakah jahat baginya jika ia merasa lega dengan perkembangan yang terakhir itu. Bukannya ia suka diganggu dengan mimpi buruk atau kilas balik, tetapi dorongan aneh yang menyuruhnya melukis itu adalah satu hal yang benar-benar mengubah dirinya. 

 

Ia Aniara. Ia suka menggambar, itu benar, tapi ia tidak berbakat maupun bergairah di bidang itu dan rasa haus untuk melukis yang merasukinya akhir-akhir ini terasa seperti sebuah pemaksaan. 

 

Buron yang tidur di atas perutnya terganggu oleh renungan Aniara dan membenamkan kedua kaki depannya ke perut Aniara, memperingatinya dengan sedikit cakar. 

 

"Aw, sialan Buron. Bangun kau, pemalas, jangan tidur di perutku," gumam Aniara sambil memindahkan kucing gemuk itu ke ujung tempat tidur. Buron membuka mata kanannya secelah dan mendesis, lalu kembali tidur. 

 

Aniara berdiri dan membuka tirai jendela, menyipitkan mata menantang sinar matahari yang masuk. Lagi-lagi ada awan mendung di ujung cakrawala, meskipun akhir-akhir ini justru tidak ada hujan. Mungkinkah itu tanda akan datang badai besar? 

 

Ponselnya yang sedang dicas bergetar sekali, tanda ada pesan masuk. Ia meninggalkan jendela dan menyalakan ponsel. Kontak Dirga telah ia atur sehingga namanya berada paling atas di kolom notifikasi, sehingga ia tidak perlu mencari-cari di antara pesan-pesan lain yang masuk. (Oh hei, ada tawaran santet online. Menarik….)

 

Dirga: Hei, aku dapat info. Katanya Diya tinggal di pinggir kota, dekat laut. Satu-satunya rumah di area itu.

 

Rumah terpencil di pinggir kota. Tidak bisakah Diya bersikap lebih klise lagi? 

 

Aniara: Kau dapat alamat tepatnya, tidak? 

Aniara: Ugh, tapi bakal susah sekali mengunjunginya kalau dia tinggal sendirian di tempat terpencil

 

Dirga: Alamatnya ada. Bekas temanku satu jurusan sering dikunjungi Diya karena toserbanya dekat dengan rumahnya

Dirga: Kapan kau mau datang ke sana? Aku ikut

 

Aniara: Tanya temanmu kapan saja Diya datang ke tokonya. Kita masuk ke rumahnya waktu dia tidak sedang di sana

 

Dirga: Itu ilegal

 

Aniara: Kau kaya, kita tidak perlu khawatir

 

Dirga: Aku kadang cemas dengan jiwa kapitalismu

 

Aniara tidak menjawab pesan yang terakhir itu dan kembali meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia menatap ke luar jendela. Di kejauhan, awan mendung seakan tak bergerak. 

*

Agak aneh rasanya, menyadari bahwa kenormalan sehari-hari yang biasa ia alami adalah suatu berkah. Seperti bangun tidur tanpa keringat dingin membanjiri tubuh, atau menggambar tanpa ada dorongan aneh yang nyaris menyeramkan, atau makan dan mandi tanpa memori-memori tak bertuan yang mengganggu. 

 

Agak aneh rasanya, kembali hidup dengan normal setelah kejadian selama beberapa minggu terakhir. Aniara justru merasa sedikit tidak aman dan curiga. Bagaimana jika ini hanyalah ketenangan sebelum badai besar? Bagaimana jika setelah ini, sesuatu yang jauh lebih buruk akan terjadi? 

 

Lukisannya di dinding seakan mengejeknya dengan sosok anak kecil di ayunan dan layang-layang yang mengapung di cat biru yang kering. Aniara menyapukan telunjuk ke permukaan kanvas, bertanya-tanya apa cerita sebenarnya anak di dalam lukisan itu. Ia tahu sekarang bahwa dirinya – atau versi lain dirinya, entahlah – terlibat dengan apa pun yang terjadi di dalam lukisan. Semua kebakaran itu, semua kematian itu, semua lukisan…. 

 

Tetapi dia tidak pernah mendapatkan gambaran jelas mengenai perannya. Apakah ia seorang penjahat? Pahlawan? Pelukis yang tak sengaja menyulut kemarahan orang? Seniman yang melukis hal-hal vulgar?

 

Semoga saja jika ia berhasil menemui Diya, semua pertanyaan itu akan terjawab. 

 

Ponselnya berdering kali ini, membuyarkan lamunannya. Ia beranjak dan mengangkat telepon setelah melihat nama Dirga sekilas di layar ponsel. 

 

"Hai, halo, aku dapat alamat lengkap dan jadwal keluar Diya," Dirga memulai tanpa tedeng aling-aling. "Alamatnya nanti kukirim lewat chat. Dia pergi ke toserba temanku seminggu dua kali, setiap Selasa pagi dan Jumat sore. Waktu kunjungannya selalu lebih dari sepuluh menit." 

 

Aniara mengerjap. "Ada lagi?" tanyanya dengan sarkastik. 

 

"Temanku sekarang mengira aku terlibat dengan geng gara-gara kau. Tanggung jawab," balas Dirga dengan datar. 

 

"Ogah." Aniara melirik kalender. "Hari ini Minggu. Apa kau bisa menemaniku Selasa nanti untuk datang ke sana?" 

 

"Apa sih yang tidak buatmu?" goda Dirga, masih dengan nada datar. Aniara ingin sekali memukulnya. "Tapi iya, bisa. Kau sudah harus siap jam tujuh. Perjalanan ke sana memakan waktu setengah jam kalau santai. Rumahnya akan kosong saat kita sampai." 

 

"Kalau kita ngebut, apa waktunya bisa dipersingkat?" 

 

"Nyawamu juga bisa dipersingkat, kok," kata Dirga. "Jangan aneh-aneh, Anya, aku yang menyetir." 

 

"Kau nyetir seperti kakek-kakek," gerutu Aniara. 

 

"Mending jadi kakek-kakek daripada mati muda," sahut Dirga kalem. Lalu nadanya berubah serius. "Anya, apa kau yakin mau menemuinya secepat ini? Kalau teorimu benar, berarti entah kau akan bertemu dengan diri alternatifmu atau dengan temannya – yang kedua mengimplikasikan kalau kau yang di dunia sana sudah mati. Apa kau siap?" 

 

"Aku sudah melihat wajah mayatku di dalam mimpi. Kurasa aku tidak bisa lebih siap lagi dari itu." 

 

"... Oke, kalau kau bilang begitu." 

 

Aniara melirik ponselnya, berharap tatapan menghakiminya bisa dirasakan Dirga dari sisi lain sambungan. "Kau kedengaran ragu." 

 

"Bagaimana, ya, bilangnya? Aku memang meragukanmu," kata Dirga, kejujurannya seperti balsam di emosi Aniara – panas dan tidak nyaman, tapi juga menenangkan. "Entah kenapa, aku mendapat firasat bahwa apa pun yang akan kau ketahui dari Diya, kau tidak akan siap. Kita tidak akan siap." 

 

"Aku pikir akulah yang dramatis di antara kita, dengan teori-teori fantasiku," cetus Aniara. 

 

"Dramatis atau tidak, itulah yang kurasakan. Seperti…." Dirga terdiam sejenak. "Seperti melihat bidak catur lawan yang siap memakan bidakmu tapi kau tidak bisa melakukan apa-apa karena itu gilirannya." 

 

Sebuah perasaan yang sering dirasakan Aniara saat bermain melawan Dirga. Karena itulah ia tidak begitu khawatir. "Anggap saja impas," katanya, lalu menutup telepon. 

*

Selasa datang bagai hujan, cepat dan tak terduga meski telah ditunggu-tunggu, dengan cuaca yang sama persis. 

 

Buron bergelung di bawah selimut Aniara, memenuhi tempat tidur dan pakaiannya dengan taburan bulu kucing. Tanpa punya tenaga – dan hati – untuk mendorong kucingnya ke lantai, Aniara bangun dengan hati-hati dan masuk ke kamar mandi. 

 

Jam menunjukkan waktu 6:30 pagi. 

 

Hujan di luar semakin deras ketika ia keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut. Jika tidak melihat jam (06.45) ia akan mengira matahari belum terbit di luar. Laron-laron telah masuk selama ia mandi, mengerubungi lampu di langit-langit. 

 

Sisa bolu pemberian Dirga jadi sarapan praktis yang dihabiskan Aniara sembari memakai jaket tebalnya yang juga merangkap sebagai jas hujan. Di tengah-tengah kunyahan, ponselnya berdering. 

 

"Hmm?" sapanya dengan mulut penuh. 

 

"Kau sedang makan, ya?" balas Dirga. "Aku sudah di depan kos-kosanmu, cepat keluar." 

 

"Satu pertanyaan," sela Aniara setelah menelan bolu. "Memangnya hujan-hujan begini dia akan tetap belanja?" 

 

"Kau tidak lihat ramala cuaca? Hujannya belum sampai ke pinggiran kota," kata Dirga. "Kalau dia pergi belanja sebentar lagi, dia akan sampai di toserba sebelum hujan menyerbu rumahnya. Paling-paling ia akan terjebak sebentar di toko." 

 

"Okelah kalau begitu." Ia mengisi wadah makanan Buron, mengambil kunci rumah dari dalam laci, dan memasang sepatu. Dari jendela, ia bisa melihat mobil Dirga menunggunya dengan lampu depan menyala. 

 

Tanpa payung, ia berlari menerjang hujan selama tiga detik sebelum disambut mesin penghangat di dalam mobil. Sambil mengarahkan mobil, Dirga menyerahkan kopi panas di gelas karton padanya. 

 

"Makasih," gumam Aniara. Kopinya tidak terlalu pahit dengan banyak susu, pesanan pamungkas yang hampir setiap hari ia minum. Deru mesin mobil semakin keras dan tak lama kemudian, mereka sudah berada di jalan raya. 

 

Jalanan sepi. Warga di kota kecil seperti kota mereka tidak pernah punya alasan kuat untuk keluar dari rumah saat cuaca buruk. Tidak ada pekerjaan yang terlalu mendesak, tidak perlu panik mencari makanan karena sebagian besar memiliki sumber makanan sendiri-sendiri, ditambah lagi sekolah dan kampus tidak terlalu tegas menyangkut kehadiran jika cuaca buruk. 

 

"Suatu hari aku akan berhasil membujuk Ibu supaya mau pindah ke sini," celetuk Aniara, memecah keheningan di dalam mobil. 

 

"Menumpang di kamar kosmu atau di rumahku?" balas Dirga. Ia kelihatan agak tegang meskipun tidak sebegitunya sampai ia tak bisa bergurau. 

 

"Memangnya kau tega membiarkan Ibu tidur di kamar kosku?" 

 

"Tidak, sih." 

 

"Tuh, kan." Aniara mengamati sahabatnya sejenak, lalu menyikutnya pelan. "Kau tegang sekali. Ada apa?" 

 

"Ingat kata-kataku tentang firasat buruk beberapa hari yang lalu?" tanya Dirga, menunggu anggukan Aniara sebelum lanjut berkata, "Firasat itu tidak hilang-hilang. Kau tahu aku bukan tipe orang yang mudah cemas, jadi kalau firasat burukku bertahan selama ini … entahlah." 

 

"Yah, kita sedang dalam perjalanan menemui versi diriku dari dimensi lain. Itu kan seperti skenario klise di dalam novel fantasi. Dilihat dari sisi mana pun, sesuatu yang aneh pasti akan terjadi," kata Aniara.

 

"Ugh, kau benar, ini gila," gerutu Dirga sambil mengklakson motor yang menerobos di depan mereka dengan seenaknya. 

 

Pemandangan gedung-gedung dan rumah beton menipis lima belas menit kemudian, digantikan padang rumput yang pada musim ini seharusnya berwarna kuning. Titik air hujan mencipratkan lumpur ke rerumputan sehingga warnanya berubah jadi kelabu gelap. 

 

Aniara menelusuri bordiran nama 'Diya' di sweater yang diberikan Dirga padanya pada pertengahan jalan. Benda itu tidak memancing kilas balik seperti jaket yang ditemukan Rahani, tapi ada sesuatu yang terasa familier dari gaya bordirannya. 

 

"Kau tidak khawatir?" tanya Dirga. 

 

"Sedikit," aku Aniara, "tapi aku ingin penjelasan tentang semua yang telah terjadi dan kalau ini satu-satunya jalan, jadilah." 

 

"Mm, oke." 

 

Sisa perjalanan berlalu tanpa ada percakapan lain, renungan Aniara mencuri seluruh perhatiannya dan ia menduga Dirga juga melakukan hal yang sama sambil menyetir. 

 

"Itu toserba temanku," gumam Dirga ketika mobil mereka melewati sebuah bangunan sederhana dengan model kuno dan etalase yang diterangi lampu kuning temaram, menunjukkan roti dan makanan kalengan yang dijual. Hanya ada satu siluet di dalam, berarti Diya mungkin ada di rumah. Dirga tampaknya tidak sadar dan Aniara memutuskan untuk diam saja. 

 

Tidak sampai dua ratus meter setelah melewati toserba, siluet sebuah rumah yang terhalang derai hujan muncul di kejauhan. 

 

"Dan itu pasti rumahnya," kata Aniara. Jari-jemarinya mencengkeram sweater di pangkuannya sampai kusut. "Dirga, dia di rumah." 

 

Ekspresi Dirga berubah sepersekian senti. "Jadi kita batal mengejutkannya?" Ia bahkan tak bertanya bagaimana Aniara bisa tahu. 

 

"Kurasa…." Rumah itu semakin dekat. Dari jarak ini, terlihat bahwa semua jendelanya ditutup tirai dari dalam. Bunyi hujan menutupi bunyi mesin mobil. Diya tidak akan bisa mendengar kedatangan mereka. "Kurasa, mau bagaimana pun juga, dia akan tetap terkejut." 

 

"Kau mau tahu apa yang kurasa?" tanya Dirga. "Entah kenapa, kurasa kita akan sama terkejutnya." 

 

Mobil diberhentikan lima belas meter dari rumah itu. Hujan menerpa wajah Aniara ketika ia turun ke jalan setapak berbatu. Lampu mobil padam bersamaan dengan Dirga yang mematikan mesin sebelum ia ikut turun. 

 

"Kau siap?" tanyanya. 

 

Sweater yang masih ada di genggaman Aniara seketika basah kuyup terkena hantaman hujan. "Mauku begitu," jawabnya singkat. Lalu, mereka beranjak. 

 

Waktu menunjukkan pukul 07:42.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rahasia
1666      1033     2     
Short Story
Persahabatan bermula dari kenyaman yang membuat kami saling melengkapi satu sama lain. The sky julukan yang menggambarkan kami semua, karena langit akan tetap menjadi langit. Kami selalu menatap langit yang sama walaupun raga kami tidak bersama. Kami bagian dari langit, lima sisi yang saling menyatu bagaikan bintang. The sky terdiri dari Galang yang selalu menguatkan juga lucu serta b...
Premium
Aksara yang Tak Mampu Bersuara
7512      1887     0     
Romance
Ini aku. Aku yang selalu bersembunyi dibalik untaian kata indah yang menggambarkan dirimu. Aku yang diam-diam menatapmu dari kejauhan dalam keheningan. Apakah suatu saat nanti kau akan menyadari keberadaanku dan membaca semua tulisanku untukmu?
Good Art of Playing Feeling
400      296     1     
Short Story
Perkenalan York, seorang ahli farmasi Universitas Johns Hopskins, dengan Darren, seorang calon pewaris perusahaan internasional berbasis di Hongkong, membuka sebuah kisah cinta baru. Tanpa sepengetahuan Darren, York mempunyai sebuah ikrar setia yang diucapkan di depan mendiang ayahnya ketika masih hidup, yang akan menyeret Darren ke dalam nasib buruk. Bagaimana seharusnya mereka menjalin cinta...
Jikan no Masuku: Hogosha
3886      1377     2     
Mystery
Jikan no Masuku: Hogosha (The Mask of Time: The Guardian) Pada awalnya Yuua hanya berniat kalau dirinya datang ke sebuah sekolah asrama untuk menyembuhkan diri atas penawaran sepupunya, Shin. Dia tidak tahu alasan lain si sepupu walau dirinya sedikit curiga di awal. Meski begitu ia ingin menunjukkan pada Shin, bahwa dirinya bisa lebih berani untuk bersosialisasi dan bertemu banyak orang kede...
Premium
MARIA
7673      2310     1     
Inspirational
Maria Oktaviana, seorang fangirl akut di dunia per K-Popan. Dia adalah tipe orang yang tidak suka terlalu banyak bicara, jadi dia hanya menghabiskan waktunya sebagian besar di kamar untuk menonton para idolanya. Karena termotivasi dia ingin bercita-cita menjadi seorang idola di Korea Selatan. Hingga suatu ketika, dia bertemu dengan seorang laki-laki bernama Lee Seo Jun atau bisa dipanggil Jun...
Archery Lovers
4528      1983     0     
Romance
zahra Nur ramadhanwati, siswa baru yang tidak punya niat untuk ikut ekstrakulikuler apapun karena memiliki sisi trauma saat ia masih di SMP. Akan tetapi rasa trauma itu perlahan hilang ketika berkenalan dengan Mas Darna dan panahan. "Apakah kau bisa mendengarnya mereka" "Suara?" apakah Zahra dapat melewati traumanya dan menemukan tempat yang baik baginya?
IMPIANKU
27043      4105     14     
Mystery
Deskripsi Setiap manusia pasti memiliki sebuah impian, dan berusaha untuk mewujudkan impiannya itu. Walau terkadang suka terjebak dengan apa yang diusahakan dalam menggapai impian tersebut. Begitu pun yang dialami oleh Satria, dalam usaha mewujudkan segala impiannya, sebagai anak Broken Home. Walau keadaan keluarganya hancur karena keegoisan sang ayah. Satria mencoba mencari jati dirinya,...
Golden Cage
488      281     6     
Romance
Kim Yoora, seorang gadis cantik yang merupakan anak bungsu dari pemilik restaurant terkenal di negeri ginseng Korea, baru saja lolos dari kematian yang mengancamnya. Entah keberuntungan atau justru kesialan yang menimpa Yoora setelah di selamatkan oleh seseorang yang menurutnya adalah Psycopath bermulut manis dengan nama Kafa Almi Xavier. Pria itu memang cocok untuk di panggil sebagai Psychopath...
Dongeng Jam 12 Malam
1488      734     1     
Horror
Dongeng Jam 12 Malam adalah kumpulan kisah horor yang menggali sisi tergelap manusia—keserakahan, iri hati, dendam, hingga keputusasaan—dan bagaimana semua itu memanggil teror dari makhluk tak kasat mata. Setiap cerita akan membawa pembaca ke dalam dunia di mana mistik dan dosa manusia saling berkelindan.
OF THE STRANGE
1082      590     2     
Science Fiction
ALSO IN WATTPAD @ROSEGOLDFAE with better graphics & aesthetics! Comment if you want this story in Indonesian New York, 1956 A series of mysterious disappearance baffled the nation. From politicians to socialites, all disappeared and came back in three days with no recollection of what happened during their time away. Though, they all swore something attacked them. Something invisible...