Kalian tentunya pernah, atau sering melihat, meme atau kartun singkat tentang "other girls vs me". Kalau pernah melihat, kalian pasti sadar kalau dalam meme tersebut, other girls selalu digambarkan sebagai perempuan yang lebih berkilau dibandingkan me, alias diri sendiri. Contohnya,
“Cewek lain pakai dress dari brand mahal, aku mah apa atuh, udah nyaman pake kaos buluk dan jeans sobek-sobek.”
“Cewek lain jago make up, aku cukup pake bedak bayi aja.”
“Apa cuman gue yang ngga suka KPop? Di playlist gue adanya cuman The Beatles, Queen, The Doors, Rolling Stones, warisan Bokap, wkwkwk.”
Semacam itulah. Pernah lihat, kan?
Saat aku masih sekolah, konsep "other girls vs me" ini adalah sesuatu yang “aku banget”. Bahkan bisa dikatakan, agak keterlaluan.
Sunscreen? Benda apa itu? Aku bahkan lupa kapan terakhir kali pakai pelembap. Aku sama sekali tidak bisa disebut modis. Tak hanya sekali dua kali Ibu mengomeliku yang hobinya mengenakan jaket sporty yang lengannya digulung hingga siku, skinny jeans, serta sepatu kets. Rok? Selain rok seragam sekolah, jangan harap menemukan benda sejenis itu di lemari pakaianku.
Pun dengan selera musik. Aku bangga melihat tatapan takjub teman-teman cowok di kelasku, ketika mereka tahu aku penggemar berat The Beatles. Di kelasku, cewek penggemar The Beatles itu langka. Tentu saja, rasa bangga itu tidak kuakui secara terang-terangan. Sebaliknya, aku tidak bisa menikmati musik KPop. Pernah, saat aku penasaran melihat Dayu Rani, teman sebangkuku, asyik menonton MV Super Junior di Youtube. Aku yang penasaran, dengan polosnya bertanya,
“Yang mana penyanyinya?”
Dasar dodol. Tiga belas orang joget-joget ya itu semuanya penyanyi, bukan back up dancer.
Belum cukup sampai di situ. Aku yang benci make up dan baju-baju imut, seringkali menatap sinis cewek-cewek yang penampilannya bertolak belakang denganku. Tiap kali jalan-jalan ke mall, aku yang buluk ini sering membatin saat melihat sekumpulan cewek-cewek manis nan modis yang berjalan bergerombol sambil tertawa-tawa.
“Diih, apaan sih, ke mall aja dandannya gonjreng banget kayak mau joget dangdut di acara kawinan,” gumamku dalam hati. Padahal sebenarnya, cewek-cewek itu tidak semenor itu, kok. Hatikulah yang terlalu kotor yang membuat mereka seolah-olah terlihat seperti itu.
***
Aku mengoleskan sunscreen di wajahku sesuai dengan anjuran para beauty vlogger, sepanjang dua jari telunjuk dan jari tengah. Meskipun hari ini tak ada jadwal kuliah, tapi berhubung saat ini aku sedang mengetik cerpen dan posisi dudukku tepat menghadap jendela, aku tetap menggunakannya.
Yap. Sunscreen. Benda yang dulu kubenci nomor dua setelah rok. Perkara sunscreen dan tetek bengek skincare lainnya, semua berawal setelah ospek. Kegiatan yang menguras tenaga dan emosi ini ternyata sukses membuat wajahku terlihat semakin mengenaskan. Kalau saat SMA, wajahku mirip kentang, maka saat masuk kuliah, wajahku mirip kentang gagal panen. Kering, kisut, hitam pula.
Tapi sebelum memakai sunscreen, aku pastikan si Maudi tidak lewat depan kamar kosku. Maudi tidak pernah memakai skincare-ku dan aku juga bukan orang pelit, tapi aku sedang tidak ingin mendengar ocehannya...
“Ya ampun, centil banget cuman di kamar doang pake sunscreen segala!”
Tuh, kan. Baru juga diomongin, makhluknya nongol.
Kuduga, Maudi hendak menuju ke atap untuk menjemur baju-baju yang sudah dia cuci. Selain karena dia menenteng ember, posisi kamarku berada tepat di sebelah tangga yang mengarah ke tempat menjemur pakaian.
“Iya, mumpung inget,” kataku, lalu segera menyimpan tube sunscreen-ku di bawah meja lipat, jauh dari jangkauan mata Maudi. Mood-ku ambyar sudah.
“Cieee, yang perawatan mulu. Biar keliatan glowing ya... Biar dilirik cowok-cowok...” Maudi masih belum puas meledek.
Nah, paham kan sekarang, kenapa tiap aku mau pakai pelembap atau sunscreen saja, aku harus sembunyi-sembunyi kayak bandar narkoba? Julidnya si Maudi itu, lho... Astagaaa, tidakkah dia mengerti, aku mulai merawat diri bukan karena ingin diperhatikan orang lain?
Maudi, teman sefakultas yang juga tinggal di kos-kosan yang sama denganku. Dua semester sebelumnya, aku tinggal sendirian di rumah milik tanteku di sebuah kompleks perumahan di Bukit Jimbaran, Bali. Setelah menikah, tanteku ikut suami bulenya tinggal di Inggris. Daripada rumah mungilnya tak terurus, aku yang ditugaskan menjaga rumahnya.
Tapi sekarang, tanteku dan suaminya sudah kembali ke Bali. Aku merasa canggung kalau harus tinggal serumah dengan mereka, jadi aku minta izin untuk pindah. Tanteku membantu mencarikanku kos-kosan, dan di sinilah aku sekarang.
Kembali ke Maudi. Awal-awal aku mengenalnya sejak satu kelompok saat ospek, lalu berlanjut ke kegiatan kuliah, dengan mudah aku melihatnya sebagai sosok yang menyenangkan. Kami tak pernah kehabisan bahan obrolan.
Tapi lambat laun, kesan menyenangkan dalam diri Maudi perlahan terkikis. Siang itu, kami berdua sedang duduk di kantin, menunggu jadwal kuliah berikutnya. Aku asyik memamah biak semangkuk bakso full micin saat Diah, teman sekelasku yang lumayan cantik, memarkir sepeda motornya di parkiran depan warung.
“Wiiih, enaknya yang lagi ngebakso,” sapa Diah ramah, sambil mematut diri di spion motornya. Aku terkekeh. Sapaan dari Diah itu tentunya ditujukan padaku dan Maudi, tapi Maudi tidak menanggapi sama sekali.
“Ayo, sini ngebakso bareng,” ajakku.
“Silakan, silakan. Tadi aku udah makan mi goreng di rumah,” Diah menolak dengan halus. “Yuk, Pyong, Maudi. Duluan, ya,” katanya lalu berjalan menuju gedung kuliah. FYI, namaku Lintang, tapi semenjak kami mahasiswa baru memakai nama-nama aneh saat Ospek dan aku diberi nama 'Pyong-Pyong' oleh senior, sampai sekarang teman-teman di kampus memanggilku begitu.
“Kamu lagi berantem apa gimana sih sama Diah?” tanyaku ke Maudi. “Disapa kok ngga nyaut.”
“Yeee, aku tadi senyum, kok. Kamu aja yang ngga liat,” jawab Maudi agak ketus, mulutnya megap-megap menahan pedas. Efek terlalu banyak menuang sambal ke kuah baksonya. “Aku orangnya ngga biasa basa-basi kayak kamu, apalagi ke Diah.”
“Emang Diah kenapa?”
Maudi menenggak air mineral dingin hingga separuh tandas. “Kurang suka aja liatnya. Dikit-dikit liat cermin, dikit-dikit benerin rambut.”
Dahiku berkerut, urung menyuapkan pentol bakso terakhir ke dalam mulut. “Trus itu masalah buatmu?”
Maudi mengangkat bahu. “Ngga suka aja liatnya.”
Aku melongo. Sungguh pola pikir yang membagongkan.
***
“Khè (kamu, bahasa Bali) kok betah sih, temenan sama dia, Pyong? Waktu ini aku denger lho, khè dibilang centil sama dia padahal cuman pake sunscreen aja. Iih, aku kalo digituin, tak kepang mulutnya,” Widhi, yang tinggal tepat di sebelah kamarku, mengomel dengan logat Bali-nya yang khas.
Belum sempat aku menjawab, Widhi melanjutkan omelannya. “Males kali aku lama-lama sama si Maudi itu, bener nih. Pernah, dia lagi ke kamarku trus ngeliat keranjang make up-ku, tau ngga dia bilang apa? ‘Iih, Wid, banyak banget make up-mu. Mau jualan, ya? Aku sih males dandan-dandan gitu, kayaknya aku bukan cewek, ya’.”
Aku tertawa melihat cara Widhi menceritakan ulang kronologi kejengkelannya pada Maudi, bahkan sampai memonyong-monyongkan mulutnya segala. “Trus kamu jawab apa?” tanyaku.
“Ya tak jawab aja, 'Iya, kamu bukan cewek. Kamu spesies jaje uli',” jawab Widhi. Kami tertawa terbahak-bahak. Jaje uli adalah jajanan tradisional khas Bali yang terbuat dari beras ketan. Aku tidak tahu bagian mana dari wajah Maudi yang mirip dengan jajanan itu, mungkin Widhi hanya spontan saja mengucapkannya.
“Males kali aku nok. Dia tuh sok merasa paling beda sendiri. Orang suka KPop, dia bilang 'apaan tuh KPop, cowok kok joget-joget'. Liat orang baca novel teenlit, dia bilang itu buku receh menye-menye. Biarin je orang-orang sukanya apa, kok dia yang ribet? Dia ngga suka make up kek, ke kampus pake baju itu-itu aja kek, ngga pernah aku komentar apa-apa. Rage anè meli bedak jak lipstik, adi ye nè ribet (saya yang beli bedak dan lipstik, kok dia yang ribet)?” Widhi masih saja merepet.
Ya, tak hanya Widhi yang mengeluh, tapi hampir semua penghuni kos-kosan maupun teman-teman seangkatan pun mengeluhkan hal yang sama. Tapi sayangnya, kami terlalu pengecut untuk menasihati Maudi secara baik-baik, dan lebih memilih menjaga jarak dengan Maudi sambil berharap gadis itu akan sadar sendiri kalau ada sesuatu yang salah dalam dirinya, yang membuat orang-orang menjauhinya.
Bodohnya, aku termasuk golongan yang pengecut itu. Di sisi lain, bodohnya lagi, tanpa bisa kukontrol, aku selalu menyerap kejulidan Maudi ke dalam hatiku. Sampai saat ini, aku menyimpan semua skincare-ku di dalam kamar mandi, dan tiap aku ingin menggunakannya, aku masuk kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat. Maudi memang tidak akan langsung menerobos masuk ke kamarku tanpa permisi, tapi kata-katanya selama ini sudah terlalu kuat bercokol di hatiku. Aku merasa seperti diawasi olehnya, tiap kali aku ingin membersihkan wajah, aku seperti bersiap-siap untuk menerima semua ejekannya, semua tuduhannya bahwa aku merawat wajahku karena aku centil, karena aku ingin jadi pusat perhatian cowok-cowok di kampus. Padahal yang dia katakan selama ini, tak ada satupun yang benar.
Aku tiba-tiba teringat, siapa saja teman-teman seangkatan—terutama cewek—yang selama ini dekat dengan Maudi. Tidak banyak, ternyata. Secara penampilan fisik, aku biasa-biasa saja, belum pernah kudengar ada cowok yang menjadikanku "tipe pacar ideal" mereka. Aku termasuk yang lumayan dekat dengan Maudi, terlepas dari rasa jengkelku padanya yang kerap kumat. Sebaliknya, Diah sama sekali tidak masuk daftar teman Maudi. Maudi tidak pernah terlihat ramah pada cewek cantik itu, bahkan membencinya tanpa alasan yang jelas.
***
Baru-baru ini, aku melihat instastory Maudi. Biasanya dia me-repost quote atau meme yang menurutnya relate dengan dirinya. Dia hampir tidak pernah posting foto atau videonya sendiri.
Gambar kartun yang dia repost hari ini, menarik perhatianku.
Terlihat dua perempuan yang penampilannya saling bertolak belakang dalam gambar kartun yang di-repost-nya. Sebelah kiri, cewek modis dengan rambut berkilau ala bintang iklan sampo. Di atas gambar cewek modis itu, tertulis "Other girls". Di sebelah kanan, terlihat cewek yang wajahnya polos tanpa make up sama sekali, pakai kacamata bulat, rambut digelung asal-asalan ke atas. Cewek itu digambarkan memakai hoodie abu-abu kedodoran. Di atas gambar itu, tertulis "Me".
Maudi menulis caption di bawah gambar itu, “Ya aku mah apa atuh, ngga bisa dandan, pake baju cowok, sukanya baca novel-novel tebel yang bisa dipake buat nimpuk maling sampe pingsan.” Tak lupa, kalimatnya diakhiri dengan emoticon melet.
Sepertinya dia lupa, atau menolak mengakui, kalau di Bumi yang populasi manusianya sudah mencapai tujuh miliar ini, ada banyak cewek cerdas kutu buku yang cantik. Sebut saja, ada banyak. Maudi Ayunda (yap, nama depannya sama, kan), Najwa Shihab, Emma Watson, atau Cinta Laura sebagai perwakilan wanita-wanita cantik dan cerdas, dan yang tidak pernah repot-repot pamer di media sosial tentang betapa berbedanya mereka.
Aku benar-benar gemas bin jengkel dengan kelakuan temanku ini. Tapi anehnya, semakin besar rasa jengkelku padanya, aku seperti melihat diriku sendiri dalam tubuh Maudi. Tepatnya, diriku di masa lalu.
Dulu, aku memandang cewek-cewek yang bergerombol, memakai baju dan rok cantik, serta berdandan sebagai sosok yang menyebalkan. Secara sepihak, aku langsung menyamaratakan semua cewek yang berdandan adalah geng The Plastics di film Mean Girls. Tapi, aku tak pernah berpikir bahwa mungkin, aku yang berusaha keras untuk terlihat berbedalah yang sebenarnya lebih menyebalkan daripada cewek-cewek cantik nan centil itu.
Aku benci mengatakan ini, tapi baik aku maupun Maudi, kami sama-sama langsung memutuskan untuk membenci seseorang tanpa berusaha untuk mengenal orang itu lebih jauh. Aku dan Maudi, terdorong oleh rasa tidak percaya diri dan hasrat untuk menjadi pribadi yang 'beda' dan 'satu-satunya', berusaha keras untuk mencintai diri kami sendiri dengan cara yang salah, yaitu dengan merendahkan orang lain. Padahal jauh di lubuk hati, aku memendam hasrat ingin bisa secantik Bae Suzy dan secerdas Najwa Shihab, tapi aku tidak memiliki kedua kualitas itu. Aku di masa lalu menutupi rasa minder itu dengan cara yang salah, yaitu membenci cewek-cewek cantik, membenci rok, warna pink, dan make up, serta berusaha sangat keras untuk menjadi berbeda.
Aku tidak tahu konflik apa yang sedang bergejolak dalam diri Maudi, tapi aku yakin kami berdua memiliki masalah yang mirip.
Rasa jengkelku padanya, seketika berubah menjadi rasa kasihan.
***
“Lin, yang kemarin bareng sama kamu di depan Rektorat itu si Maudi, ya?” tanya Adelia. “Cewek yang pake kemeja garis-garis itu?”
“Iya, namanya Maudi. Kamu kenal? Kok kemarin ngga nyamperin kita?” aku balik bertanya. Adelia teman SMA-ku, saat ini kami kuliah di kampus yang sama, hanya beda fakultas.
“Iya, kemarin buru-buru mau bikin tugas kelompok jadi ngga sempat nyamperin. Berarti bener itu Maudi,” kata Adel. “Aku sama Maudi dulu satu SMP. Ngga gitu kenal, sih. Dia sekarang keliatan beda, jadi aku ragu itu beneran dia atau bukan.”
“Beda gimana?”
“Ya, beda aja. Dari cara jalannya lebih tangkas gimana gitu. Agak gemukan juga. Dulu waktu SMP kan dia jalannya suka pelan, agak nunduk gitu,” jawab Adel.
Sejak terakhir aku melihat story "not like other girls"-nya Maudi tempo hari, aku tidak mau terlibat lebih jauh lagi dengannya. Kami tidak cocok satu sama lain, itu saja. Aku tidak merasa perlu untuk mengorek penyebab kenapa Maudi jadi begitu menyebalkan, dan memilih untuk menjaga jarak dengannya. Tapi mendengar jawaban Adel barusan, aku jadi sedikit penasaran.
“Kenapa jalannya bungkuk? Dulu dia sakit?” tanyaku.
Adel menggeleng. “Dia dulu di-bully. Ngga tau gimana awalnya, dia ketauan naksir sama cowok cakep di kelas unggulan. Eh kampretnya, si cowok malah terang-terangan ngejek Maudi. Geng cewek cantik di sekolah juga ikut-ikutan nge-bully dia. Dikata-katain gitu, fotonya dicetak besar-besar trus dicoret-coret. Dia jadi minder parah, pas jam istirahat dia ngga pernah ke kantin, diem aja di kelas. Kalo jalan juga lebh sering nunduk. Kasian aku liatnya.”
Aku terperanjat, kehabisan kata-kata.
***THE END***